Sesampainya di dalam rumah, Gilang menghempas tangan Asya yang sedari tadi dicengkram paksa masuk rumah. Isakan tangis dan wajah sembab terlihat jelas di wajah Asya. Namun Gilang seolah tidak peduli sedikitpun.
"Kumohon …"
"Berani keluar, saya jamin nyawa orang itu terancam."
Damn
Seketika Asya terdiam memaku di tempat dengan nafas tercekat dan hatinya teriris. Ayahnya sendiri tidak dianggap sang suami bahkan sampai memberikan kata kasar berupa ancaman. Seharusnya Gilang tidak berlaku dan berkata sekasar itu mengingat ayahnya adalah ayah mertua.
Berasa hujaman pisau menusuk ke dalam hatinya. Rasanya sakit sekali mendengar ucapan Gilang pada ayahnya.
"Tuan tolong jangan sakiti ayahku. Hiks." Asya memohon mengatupkan kedua tangan di depan wajah.
"Hanya buang waktu dan tenaga saja, mengurusi orang tua macam itu." nada menghina keluar sebelum Gilang beranjak meninggalkan Asya seorang diri di ruang tamu.
Asya buru-buru lari ke arah jendela, menatap lurus ke halaman depan. Air matanya mengucur deras melihat ayahnya diseret paksa orang suruhan Gilang keluar dari halaman rumah.
"Ayah … Hiks." Asya berteriak dengan suara tertahan. Dari lubuk hatinya yang paling dalam masih ingin bertemu dengan ayahnya tapi sayang tidak bisa.
Brughh
Tubuh Asya meluruh jatuh ke lantai. Ketidakberdayaannya diiringi keperihan menyayat hati seiring kehamilannya yang terus bertambah besar. Semakin kesini justru hanya kesakitan fisik dan batin yang tidak berkesudahan yang ia dapat selama tinggal bersama Gilang. Dan itu sungguh menyiksanya.
"Apakah waktunya untuk aku menyereh?" Asya bertanya pada dirinya sendiri.
Suasana malam beradu hawa dingin menyelimuti seorang laki-laki tengah duduk menyendiri di sofa ruang keluarga. Hanya diam membisu dengan tatapan kosong ke depan dengan pikiran entah berkelana memikirkan apa.
"Hahh." Gilang menjambak rambutnya dengan kasar ditengah kefrutasiannya menghadapi masalah yang terjadi hari ini. Rasanya kepalanya ingin pecah, satu masalah belum terselesaikan muncul masalah baru.
Drett
Lamunannya seketika buyar terganggu kala suara nyaring dari ponsel memenuhi ruang keluarga. Niat hati ingin menenangkan diri malah tidak bisa.
"Apa ada masalah di malam begini?"
"Kita apakan Pak Budi, Tuan? Sedari tadi tetap melawan ingin masuk dan bertemu dengan nona Asya." Ternyata diluar rumahnya, Budi masih melakukan perlawanan pada anak buahnya demi bertemu dengan Asya.
"Lumpuhkan dia sampai berhenti meronta …"
"Tolong jangan sakiti ayahku, Tuan." Asya berteriak memohon mendengar kata kejam sang suami ditujukan untuk ayahnya. Dia tidak sengaja mendengar percakapan suaminya ketika dirinya hendak memberikan teh hangat untuk suaminya yang baru pulang.
Sorot mata penuh kebencian terlilhat jelas dari sorot mata Gilang mendapati Asya tiba-tiba muncul di hadapannya menyela perkataannya. Dia paling tidak suka ada orang menyela perkataannya. Apalagi kedatangan Asya saat itu tidak di harapkannya sama sekali.
Melihat tatapan mematikan dari sang suami, membuat Asya diam memaku di tempat dengan tubuh gemetaran. Ingin sekali mundur dan menjauh tapi ia urungkan demi menyelamatkan ayahnya.
Gilang tidak ingin banyak bicara, reflek mengarahkan ponsel mewahnya mengarah ke Asya yang sudah berdiri di sampingnya. Asya sadar diri, dirinya tidak berani menyentuh ponsel itu.
"A … Ayah, ini Asya. Jangan khawatirin Asya disini. Asya dan adek bayinya juga baik dan sehat …"
Belum selesai bicara, Gilang langsung menjauhkan ponselnya dan mematikan panggilan itu sepihak. Raut muka kesal dan marah masih kentara beradu jadi satu di wajah tampan suaminya. Asya hanya bisa menggigit bibir bawahnya karena takut.
"Semoga ayah baik-baik saja disana."
"Apa saya meminta minuman padamu?" Gilang menatap Asya masih berdiri membawa minuman panas yang masih mengepulkan asap.
"Maaf, permisi Tuan." Masih dengan wajah sembab yang belum hilang kini Asya harus menelan rasa kecewa. Niat baiknya untuk melayani sang suami yang baru pulang kerja walau tidak diminta, membuatkan teh panas justru hanya penolakan yang ia terima.
Dengan berat hati, Asya membawa kembali teh yang dibuatnya dengan sepenuh hati ditengah suasana hatinya yang masih tercabik-cabik. Meskipun sudah diperlakukan buruk oleh sang suami tapi ia berusaha untuk tegar. Dan ia masih menggenggam teguh pendiriannya untuk tetap bertahan dan menjalankan tugasnya sebagai istri.
Meskipun sampai sekarang usahanya tidak sedikitpun berarti di mata sang suami. Namun jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam berharap cinta dan sayang Gilang untuknya bisa muncul dengan seiring berjalannya waktu. Agar anak yang ia kandung juga bisa hidup bahagia di tengah harmonisnya hubungan kedua orangtuanya. Walau sampai sekarang dia juga berusaha mencintai Gilang.
"Letakkan diatas meja." Langkah Asya terhenti ketika hendak menjauh meninggalkan sang suami.
Asya berbalik, berjalan mendekat dan meletakkan kopi buatannya di atas meja tepat di depan tempat duduk Gilang. Asya menatap sekilas terdapat beberapa lembaran kertas putih berserakan disana.
"Pasti dia ada masalah. Semoga cepat terselesaikan, sudah malam. Kasihan." Asya bisa merasakan rasa lelah suaminya pada larut malam begini masih berkutat pada pekerjaan kantor. Sampai sekarang Asya belum tahu jelas mengenai pekerjaan Gilang. Tapi yang ia tahu, Gilang adalah orang kaya dan juga berasal dari keluarga kaya.
"Kau pakai parfum apa?"
Gilang yang tadinya tidak menggubris keberadaan Asya, sontak menatap wanita berbadan mungil dengan perut membuncit di balik pakaian terusan sebatas lutut berwarna cream berjalan di depannya. Diam-diam, Gilang mengendus aroma wangi bunga yang begitu menusuk indra penciumannya kala Asya lewat di depannya.
"Parfum?" Asya terlihat bingung. Perasaan dia tidak memakai parfum ketika di rumah.
Manik mata bening Asya bersibrobrok dengan mata elang Gilang. Melihat Asya yang tidak menjawab membuat Gilang menggeram kesal.
"Sa … saya tidak memakai parfum apapun Tuan. Dengan polosnya Asya mencium pakaian terusannya sendiri dengan hidungnya untuk memastikan parfum apa yang ada pada tubuhnya.
"Aneh."Gilang memutar bola matanya kesal dibuat kesal oleh Asya.
"Kemari. Pijat kepalaku." Gilang memejamkan matanya daripada kembali berdebat dengan wanita seperti Asya. Namun tidak ada salah juga memanfaatkan tenaga Asya untuk memijat kepalanya yang serasa sudah tidak lagi berkutat dengan masalahnya seharian ini.
Perintah Gilang bagaikan titah seorang raja yang harus ia turuti. Dengan cepat dia mengusir kebingungannya masalah parfum yang di singgung Gilang barusan dan segera beralih memijat kepala sang suami.
Grep
Asya terkejut disaat dirinya berjalan tepat di depan tempat duduk Gilang, tiba-tiba ada tangan kekar menarik pinggangnya. Seketika tubuhnya tertarik paksa dan berdiri menghadap tepat di depan Gilang.
Posisi keduanya sangat intim dengan wajah Gilang tepat berada di depan dada Asya. Dan tangan kekarnya masih melekat di kedua pinggang Asya.
"Tu … Tuan." Nada bicara Asya gugub kaget dengan posisi seintim itu.
"Pijat sekarang. Atau hukuman yang kamu dapat."
Asya menggeleng cepat reflek mengangkat kedua tangan mungilnya ke atas kepala Gilang. Tangannya langsung bergerak memijat entah benar atau tidak dia terus menggerakkan tangannya sebisa mungkin.
Sedangkan Gilang kini tengah memejamkan matanya, menikmati pijatan tangan mungil Asya di kepalanya. Ada sensasi aneh yang ia rasakan di kepalanya. Sentuhan jari jemari kecil Asya di kepalanya serasa menggelitik namun menenangkan, membuatnya terdiam larut ketenangan yang tercipta. Tanpa disadari Asya, sentuhan tangannya mampu menenangkan Gilang.
Dia sendiri tidak tahu kenapa mengizinkan Asya yang notabennya selama ini selalu di perlakukan tidak manusiawi dan di benci, menyentuh kepalanya.
"Kenapa aroma ini begitu menenangkan." Batin Gilang sembari menghirup aroma wangi khas bunga menguar dari tubuh Asya yang tepat di hadapannya.
Grep
Saking nikmat dan harumnya aroma dari tubuh Asya, membuat Gilang tidak mau jauh dan terus mengendus aroma wangi itu tanpa henti. Tidak peduli lagi akan perasaannya selama ini yang begitu membenci Asya, kedua tangannya justru semakin menarik paksa pinggang Asya agar semakin dekat.
Asya tersentak, menunduk melihat Gilang yang tengah memeluk erat tubuhnya dengan posisi Gilang duduk di sofa dan Asya masih berdiri. Gilang menenggelamkan wajahnya di dada Asya . Hembusan nafas hangat begitu terasa di dadanya. Apalagi pakaian terusannya terbuat dari bahan tipis hingga bisa merasakan hembusan hangat keluar dari hidung Gilang.
Tubuh Asya seketika menegang dengan pikiran meremang. Merasa darahnya berdesir dengan irama detak jantung yang tak karuan membuat dirinya kalang kabut sendiri. Desiran aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi Asya paham dibalik desiran aneh itu terselip perasaan bahagia bercampur sakit hati.
Tiba-tiba air matanya jatuh tanpa permisi, dadanya mulai sesak. Bukankah tadi Gilang sudah menorehkan kembali luka di hatinya. Dengan memisahkan dirinya yang baru bertemu dengan ayahnya. belum lagi sudah mengancam ayahnya juga.
"Hikss." Tangan Asya mengepal. Rasanya Gilang begitu mempermainkan perasaannya. Bukankah tadi Gilang sudah menyakiti hatinya lantas kenapa sekarang tiba-tiba memeluknya.
"Kenapa aku nggak bisa melawan. Dan kenapa ada perasaan tidak rela untuk melepas pelukannya." Asya mulai merasa dilema. Satu sisi dia ingin marah melihat sikap Gilang yang seenaknya sendiri.
"Tubuh ini lagi dan lagi buatku candu. Dan semua rasa kesal dan lelah seolah sirna dengan aroma tubuhnya." Gilang terus mengendus dan menikmati pelukannya dengan Asya.
"Ayo ke kamar." Gilang melepas pelukannya dan beranjak dari sofa sambil menarik tangan Asya menuju kamar. Gilang tidak sabar melepas semua beban pikiran dan hatinya dengan meneguk kenikmatan lebih dalam bersama Asya.
"Tu … Tuan?"
Gilang melangkah tidak sabaran dengan hasrat menggebu. Sedangkan Asya hanya bisa pasrah bila Gilang sudah on nafsunya. Menolak pun tidak bisa, bila tidak ingin tubuhnya kembali memar lagi.