Brakkk
Gilang menendang sebuah pintu yang tertutup rapat membuat orang di dalam tersentak kaget. Dialah Mario Alexander, pengusaha muda yang tidak kalah popular dari Gilang yang namanya melejit karena usahanya yang sukses. Konsentrasinya buyar seiring kegaduhan yang ditimbulkan Gilang disana.
"Tamu tidak diundang dan beretika menyelinap masuk kesini." Mario menatap tajam dan tidak suka akan kedatangan Gilang.
"Tidak usah basa-basi. Sialan, brengsek kalian. Berani bermain denganku."
Gilang melangkah lebar tanpa malu dimana dirinya sedang menginjakkan kaki di perusahaan Mario setelah kegaduhan yang diciptakannya.
"Keluar dari sini! Pengkhianat tidak pantas berada disini." sindir Mario ditujukan pada Gilang duduk di singgasananya.
"Pengecut. Ternyata kamu dan Daniel yang sudah menghancurkan hubunganku dengan Mona."
Brakkk
Mario bangkit dari singgasananya sambil menggebrak meja dengan kasar. Sudah waktunya dia meluapkan kepedihan hatinya yang menjelma menjadi kebencian. Ditambah lagi Gilang sudah berani memulai peperangan di kantornya disaat dirinya sibuk bekerja.
Falshback
"Cepat jelaskan!"
"Saya, kakaknya Mario." Gilang mendelik tidak percaya menatap Daniel yang memiliki paras berbeda dari Mario. Dimana Daniel memiliki tingkat ketampanan masih dibawah Mario dan berkulit agak gepal daripada Mario, itulah pikirnya.
Meski dirinya sudah pernah menjalin persahabatan dengan Mario, tidak pernah sekalipun bertemu dengan kakak Mario yang bernama Daniel itu. Yang ia tahu hanyalah Mario punya kakak saja tapi tidak pernah berjumpa.
"Saya sudah tahu hubungan kalian yang dulu sahabatan tapi harus putus di tengah jalan karena pengkhianatan dibalik cinta. Sebagai kakak jelas tidak terima. Hingga rasa kebencian saya tidak terbendung lagi kala hotel itu jatuh pada tuan. Hingga akhirnya saya memutuskan membalaskan rasa benci saya dan sakit hati adik saya dengan memberikan obat perangsang untuk menghancurkanmu. Itu tidak sedikitpun Mario terlibat disana. Dia hanya meminta tolong mencari bukti mengenai gadis yang telah kau sewa. Dan kebetulan saya punya." Gilang hanya diam sambil memejamkan mata mendengarkan pengakuan Daniel.
"Kau apakan kakakku?" teriak Mario tidak terima segera beranjak dari kursi dan menghampiri Gilang kemudian menarik kerah kemeja dengan kasar.
"Lepas." Gilang menepis tangan kekar Mario.
"Sampai terjadi apa-apa pada kakakku, tak kan ku biarkan kau hidup tenang." Mario menatap manik Gilang dengan dekat penuh ancaman.
"Seharusnya kamu sadar dan berterima kasih karena sekarang kamu bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Asya yang sedang hamil anakmu." Gertak Mario menatap mata tajam Gilang.
"Tahu apa kamu! Justru karena ulah bodohmu, pernikahanku dengan Mona gagal. Dan itu bukan anakku."
Bughh
Gilang terhuyung ke belakang, tiba-tiba Mario mendaratkan pukulan keras mengenai keningnya. Tubuh gagahnya limbung dan jatuh menyentuh lantai.
Mario sudah kehabisan kesabarannya menghadapi sikap Gilang yang sungguh tidak punya perasaan. Sudah memiliki istri yang tengah hamil tapi masih menyimpan hati dan mengharapkan pada wanita lain. Sebagai mantan sahabat, jelas berharap Gilang bisa benar-benar bertanggung jawab atas Asya setelah perbuatannya di masa lalu. Tapi melihat keadaannya sekarang membuatnya jadi emosi dan tidak terima memaksanya untuk berlaku seperti itu.
"Brengsek. Jelas-jelas itu anak kamu."bentak Mario mendekat kearah Gilang yang masih terduduk di lantai.
"Dia wanita murahan dan anak itu bukan …"
Brughh bughh
Lagi dan lagi Gilang mendapatkan pukulan lagi dari Mario. Terbesit dalam benaknya, Gilang ingin membalas pukulan kembali pada Mario. Namun lagi dan lagi dirinya tidak kuasa bila mengingat sosok laki-laki di hadapannya itu pernah menjadi sahabat lamanya dan pernah ia sakiti karena merebut Mona. Dia memilih diam walau hatinya sakit melihat mantan sahabatnya sudah brutalnya memukulnya tanpa ampun.
Tanpa diketahui Gilang, apa yang dilakukan Mario padanya itu adalah ungkapan perhatian dan kepedulian yang masih ada. Tapi Gilang mengartikan dengan hal yang berbeda.
"Aku diam bukan berarti mengalah. Tapi karena aku masih menganggap dirimu sahabat walau itu dulu." ucap Gilang sambil berdiri.
"Dan apa yang aku lakukan padamu karena masih peduli. Jangan kau sia-siakan wanita sebaik Asya," ujar Mario ditatap Gilang mengernyit bingung. Tahu apa Mario tentang Asya.
Setelah mengungkapkan isi hati, keduanya terdiam sambil menyelami perkataan masing-masing. Jujur perkataan Mario barusan membuat perasaan Gilang tercubit. Emosinya yang sudah meletup seketika sirna begitu saja entah kemana.
"Aku harap ini terakhir kalinya kamu campur tangan akan hidupku." tekan Gilang sebelum meninggalkan Mario.
"Asya, wanita baik-baik sebelum tragedi kecelakaan menimpa kedua orangtuanya. Hingga dia rela mengorbankan harta berharganya demi mendapatkan uang supaya nyawa ayahnya tertolong dan tidak mau kehilangan seperti ibunya yang sudah meninggal." Jelas Mario dengan suara sedikit keras.
Meski Gilang terus berjalan menjauh namun telinganya masih bisa menangkap jelas apa yang diucapkan Mario di belakang. Penjelasan Mario ternyata sama seperti yang diucapkan Riko padanya beberapa hari lalu. Mendengar itu, tiba-tiba ada perasaan aneh menghinggapi hatinya.
"Semoga kamu sadar" batin Mario menatap nanar punggung Gilang sudah mulai menghilang.
Di tempat yang berbeda, Asya sedang menjalankan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga meski dirinya tidak pernah diperlakukan layaknya seorang istri oleh Gilang. Dia menikmati kesehariannya dengan bersih-bersih rumah milik suaminya sambil di bantu oleh Bi Asri.
Jujur dia merasa bosan harus di rumah terus, tapi apalah dayanya yang tidak bisa pergi kemana-mana karena diluar dijaga ketat oleh orang suruhan suaminya. Ditambah lagi kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan berada di luar, dimana banyak luka lebam di tubuhnya yang bisa saja membuat orang terganggu olehnya.
"Asya!" teriak seseorang dari luar rumah.
"Ayah? Itu suara ayah?" Asya yang sedang menyapu di ruang tamu kaget mendengar suara yang tidak asing baginya.
Tanpa pikir panjang Asya segera beranjak keluar, meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
"Ayah," teriak Asya tidak menyangka bercampur bahagia melihat Budi sedang berdiri di depan rumah suaminya namun sambil di tahan dua orang penjaga.
"Asya, ayah kangen sama kamu nak." ujar Budi dengan keras sambil meronta agar tubuhnya terlepas dari cengkraman penjaga rumah.
Asya buru-buru menghampiri Budi dan memeluknya. Dengan kuat Budi meronta hingga terlepaslah cengkraman kedua tangannya dari penjaga disana.
Budi memeluk Asya begitu erat begitupun sebaliknya. Pelukan itu mengisyaratkan kerinduan yang teramat mendalam setelah lama tidak berjumpa. Semenjak menikah dengan Gilang, keduanya tidak pernah bertemu. Mengingat Asya yang harus ikut tinggal bersama Gilang. Dan itu tentu membuat keduanya harus saling menahan rasa rindu.
Kedua interaksi mereka tidak luput dari mata-mata Gilang yang berada di sekitar rumahnya. Tapi baik Asya dan Budi tidak memperdulikannya.
"Awss." Rintih Asya merasakan sakit ketika lebam di lengannya tersenggol tangan ayahnya.
"Ada apa nak? Astaga!" kedua mata Budi membelalak tidak percaya dan kaget melihat banyak luka dan lebam di sekujur tubuh Asya yang berwarna merah dan keunguan. Siapapun melihatnya merasa kasihan dan ngilu. Pasti sakit itu, pikirnya.
"Ini kamu kenapa? Siapa yang sudah membuatmu begini?" Budi sampai berkaca-kaca tidak kuasa melihat apa yang terjadi pada tubuh anak satu-satunya itu.
Asya terdiam sembari menahan rasa sakit dan sesak di dada. Ingin sekali mulutnya menceritakan semua yang ia alami selama tinggal bersama Gilang. Tentunya tentang perlakuan Gilang padanya yang tidak pernah sedikitpun memperhatikan dan menyayanginya walau di dalam tubuhnya sedang tumbuh dan berkembang buah hati Gilang. Hingga saking tidak kuasanya, hanya tetesan air mata mulai meluncur deras dari kelopak matanya.
"Siapa suruh dia masuk!" teriak seseorang dari belakang membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara termasuk Asya dan Budi.
Niat hati ingin istirahat di rumah setelah banyak masalah yang sudah di lewati, justru disambut pemandangan yang tidak terduga. Dimana Asya tengah di datangi oleh Budi yang tidak lain adalah ayah mertuanya. Namun dalam benaknya tidak ada secuil perasaan menganggap Budi sebagai mertua.
Deg
Asya mematung di tempat dengan detak jantung berdegub kencang melihat Gilang, suaminya sudah pulang dan menatapnya dengan tatapan tajam. Dirinya dilanda ketakutan hingga membuatnya gemetar sendiri.
Suasana malam menjadi mencekam meski angin dingin mengelilingi tubuh mereka. Perasaan bahagia seketika lenyap dari hati Asya.
"Masuk!" bentak Gilang menatap tajam Asya.
"Kamu jangan sakiti anak saya." Tidak mau kalah, Budi membentak Gilang.
"Selayaknya istri harus patuh pada suami." Gilang dan Budi beradu pandang dengan tajam.
"Tangkap dia." Gilang memberi kode pada bodyguardnya menahan Budi.
"Lepaskan ayahku. Jangan sakiti ayah." Asya memohon pada Gilang.
"Ayo masuk." Gilang menghampiri Asya dan membawa masuk ke dalam rumah secara paksa.
"Lepaskan anakku. Kembalikan dia padaku, jika memang kamu tidak menyayanginya," teriak Budi pada Gilang yang tetap menyeret Asya.
"Ayah, aku nggak papa. Ayah pulang saja."
"Akan aku laporkan perbuatanmu pada polisi." Gilang menghentikan langkahnya mendengar ancaman Budi. Asya menubruk punggung Gilang karena berhenti mendadak di depannya.
"Tolong tuan, lepaskan ayahku." Gilang menatap sebentar Asya kemudian menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
"Berani lapor polisi, akan kupastikan nyawanya terancam begitupula denganmu."
"Ayah, aku disini tidak apa-apa. Ayah pulang saja. Jangan lupa, jaga kesehatan," ucap Asya sambil menteskan air matanya yang kembali diseret masuk Gilang. Tidak menyangka pertemuannya dengan ayahnya hanya menyisakkan sesak di dada.
"Asya!"
"Ayah!"