Bagai tersambar petir di siang bolong melihat kepulangan Gilang di siang hari. Asya memaku di tempat dengan tubuh gemetar dan mata membelalak tidak percaya. pasalnya Gilang sering pulang kerja hingga larut malam.
Hawa sejuk dan tenang di taman belakang mendadak berubah menjadi mencekam dan tegang. Pancaran emosi begitu kentara pada wajah Gilang. Membuat siapapun disekitarnya menjadi ketakutan.
"Apa orang digaji hanya untuk istirahat dan membicarakan urusan orang? Apa itu yang namanya kerja?" Gilang menatap Bi Asri penuh intimidasi.
"Maaf, tuan. Maafkan saya."
"Kembali bekerja, atau saya pecat sekarang juga."
"Maaf Tuan. Tolong jangan pecat saya." Bi Asri memohon bersimpuh mengatupkan kedua tangan di depan wajah.
"Pergi! Kembalilah bekerja sana." titah Gilang peniuh emosi. Bi Asri buru-buru bangkit sambil menundukkan kepala merasa bersalah.
"Apa begini kelakuanmu selama saya bekerja!" teriak Gilang membuat Asya memejamkan mata.
"Kau memang wanita pembawa sial. Masalah datang bertubi-tubi semenjak ka datang di rumah ini. Akan saya beri hukuman yang pantas untukmu sudah membuat hidupku kacau." Seringai tajam Gilang menyiratkan sesuatu buruk akan dilakukan laki-laki itu.
Sudah terbayang akan apa yang dilakukan Gilang padanya yang tentunya menyakiti tubuhnya, namun disaat Asya hendak memohon keburu Gilang menghampirinya dan menarik tangannya dengan kasar.
"Sa … sakit. Lepasin, Tuan." rintih Asya ditengah kepasrahannya tangannya di tarik kasar Gilang.
Asya berjalan terseok-seok dengan tangan satunya memegangi perutnya. Suara histeris bercampur rintihan Asya menguar seisi rumah. Bi Asri yang berada di dapur hanya bisa mengintip dengan rasa kasihan bercampur iba. Tidak semestinya wanita hamil seperti Asya mendapatkan perlakuan kasar setiap hari dari sang suami. Semakin kesini Bi Asri semakin tidak tahu karakter majikannya yang tiba-tiba berubah layaknya monster karena selalu marah dan berlaku kasar.
Gilang tidak peduli sedikitpun akan rintihan bercampur kesakitan yang tengah dirasakan Asya. Tangannya terus menarik pergelangan tangan Asya hingga memerah menuju kamar kecil Asya.
"Hikss … Sakit." linangan air mata mengiringi langkah kaki Asya yang terseok-seok dengan tangan satunya memegangi perut buncitnya.
"Awss." Asya terjatuh ke lantai setelah Gilang menghempas tangannya dengan kasar.
"Aws. Sakit sekali. Hikss." Asya merasakan rasa sakit pada perutnya.
"Tolong bertahanlah." Asya memohon dalam hati pada anak yang di dalam kandungannya.
"Wanita pembawa sial." Dengan langkah gontai Gilang menghampiri Asya kemudian menarik rambut Asya dengan kasar hingga wajah cantik bercampur buliran air mata mendongak ke atas.
"Semua kacau karenamu." Bentak Gilang tepat di depan muka Asya.
"Apa lagi salahku." Batin Asya di tengah derai air mata yang tidak bisa berhenti membanjiri pipi mulusnya.
"Mona hilang entah kemana, kini giliran perusahaanku bermasalah. Itu semua karena kamu hadir di kehidupan saya yang tak pernah sudi menerimamu sampai kapanpun." Gilang menghempas rambut Asya.
"Hikss … hikss."
"Maaf. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud …"
"Maaf, kamu bilang. Maafmu tidak akan bisa mengembalikan semuanya menjadi seperti semula. Kamu hanyalah pembawa sial yang pantas di beri hukuman. Saya dan keluarga saya tidak sudi menerimamu disini."
Tidak bisa diungkapkan lagi betapa hancur dan menyedihkan hidupnya sekarang. Ditengah perjuangannya bertahan akan pernikahannya bersama Gilang demi anaknya, tapi nyatanya hanya rasa sakit hati dan fisik yang ia terima. Sungguh ingin rasanya dia menyerah sekarang juga.
"Sekarang, nikmatilah hukuman yang pantas kamu terima," ucap Gilang sambil mengendurkan ikat pinggangnya berwarna hitam dan mewah itu. Asya tahu hukuman yang akan ia terima yaitu melayani Gilang di ranjang. Bukankah selama ini Gilang selalu menghukumnya dengan berolahraga panas bertukar keringat di atas ranjang.
Gilang tiak beranjak dari posisinya seperti yang sedang dipikirkan Asya kalau Gilang akan memaksanya untuk melayani suaminya itu. Justru Gilang memukulkan ikat pinggangnya ke lantai berkali-kali hingga menimbulkan suara nyaring di telinga. Aura mencekam sungguh terasa disana, membuat bulu kuduk Asya berdiri.
Ctarr
"Tolong jangan sakit … Awss."
Sudah ada bayangan akan apa yang dilakukan Gilang dengan sabuk itu. Cambukan, itulah yang tengah ia pikirkan sekarang. Sebelum itu terjadi, Asya memohon untuk menghentikannya namun ternyata terlambat. Tubuhnya sudah menjadi sasaran dari benda itu.
"Ahhh sakit." teriak Asya setelah merasakan keras dan sakitnya untuk pertama kalinya dirinya merasakan cambukan di tubuhnya.
Tidak terlihat sedikitpun rasa kasihan ddan bersalah sedikitpun terpancar dari wajah Gilang justru hanyalah seringai puas dan kejam nampak jelas di wajah suaminya itu. Sungguh manusia yang tidak punya hati menyiksa tubuh wanitanya sendiri dengan tidak berperikemanusiaan itu.
Ctakkk
Cambukan untuk yang kedua mendarat di punggung Asya yang tertutupi pakaian terusan berbahan tipis. Hingga menimbulkan rasa sakit begitu tarasa disana. Bahkan tubuh putih mulus Asya begitu terlihat kontras dengan timbulnya warna merah panjang hasil cambukan.
Tidak henti-hentinya Gilang memukulkan ikat pinggangnya mengenai tubuh Asya. Dia meluapkan rasa benci dan kesalnya akibat masalah kantor dan pribadinya dengan menyiksa Asya tanpa henti. Rasanya dia puas melakukan itu. Karena menurutnya Asya adalah orang yang membuat posisinya jadi begini.
Sedangkan Asya hanya bisa pasrah menerima segala kesakitan yang ditorehkan Gilang padanya. Ditengah kepasrahan itu, dia berusaha melindungi buah hatinya yang masih di dalam perut dari kebrutalan dan keganasan sang ayah sendiri.
"Ahhh. Hikss."
"Sakitt. Hiksss."
Kini kamar kecil Asya terdengar suara nyaraing perpaduan suara cambukan dan teriakan histeris kesakitan menyayat hati bagi yang mendengarnya. Tidak ada satupun orang yang bisa menghentikan suara nyaring nan menyayat hati itu. Mengingat di dalamnya sedang ada majikan dengan teganya menyiksa istrinya sendiri tanpa ampun.
"Aws. Hikss." Asya sudah lemas dengan kulit penuh lebam akibat di cambuk berkali-kali oleh Gilang.
"Disaat begini tubuhnya mampu membuat bagian tubuhku menegang." Gilang mengumpat melihat pundak polos Asya karena lengan pendek pakaian terusannya melorot. Itu karena kerasnya cambukan Gilang tadi.
"Ampun, Tuan." Lirih Asya berharap Gilang menghentikan siksaan atas tubuhnya.
"Sudah cukup siksaannya. Kini giliran menyiksanya di ranjang." Gilang maju mendekat.
Dret
Dering ponsel di saku celananya membuyarkan niatan Gilang yang sudah dikuasai nafsu. Langkah Gilang terhenti dan tangannya meraih ponselnya.
"Halo Riko."
"Bos, suruhan kita di Bandung sudah menemukan dalang dibalik minuman di club itu."
"Siapa?" Fokus Gilang tetap tertuju pada Asya dengan hasrat yang masih menggebu. Meskipun begitu emosinya semakin bertambah kala mengetahui siapa pelaku di balik mabuknya dulu di Bandung hingga tidak bisa mengendalikan nafsu dan berakhir di ranjang dengan Asya.
"Daniel Atmadja, sekarang sudah tiba di Jakarta. Nanti akan dikirim lokasinya ke bos."
"OK. Dia harus menerima balasan atas apa yang telah dilakukan."
"Bagaimana kabar Mona, kekasihku?"
"Maaf bos, ini kita masih mencari keberadaan Nona Mona. Ini saya masih mencari …"
"Kalian bisa bekerja atau tidak. Cari kekasihku sampai sekarang belum menemukan juga." emosi Gilang kembali lagi.
"Maaf bos."
"Tidak bisa diandalkan!" umpat Gilang kecewa.
Gilang langsung mematikan sepihak panggilan Gilang itu. ini perhatiannya terkecoh sehingga tak lagi berhasrat pada Asya lagi.
"Semua ini gara-gara kamu." Gilang menendang tubuh bagian belakang Asya.
Gilang meninggalkan Asya begitu saja dengan banyaknya luka memar di tubuh sang istri. Buru-buru dia meninggalkan kamar itu menuju lokasi yang di kirimkan Riko padanya, tidak sabar memberikan pembalasan dan hukuman pada pelaku yang telah membuat hidupnya hancur, karena harus kehilangan Mona.
Bi Asri yang sedari tadi mengintip dari kejauhan melihat Gilang sudah pergi memberanikan diri memasuki kamar Asya.
"Mbak Asya." Bi Asri membelalakkan kedua matanya kaget melihat tubuh Asya tidak sadarkan diri di lantai dengan lebam warna merah di sekitar kedua tangan.
Bi Asri bergegas memberikan pertolongan pertama. Dia tidak berani menelepon dokter bila tanpa persetujuan sang majikan. Mengandalkan hati nuraninya kasihan berusaha memberikan pengobatan apa adanya mengandalkan apa yang ia bisa untuk Asya. Diambilnya kotak obat dan dibaringkannya tubuh Asya di atas ranjang.
"Maaf mbak. Lekas sadarlah."