"Kenapa baru kelihatan." Gilang menatap datar Riko yang baru terlihat batang hidungnya setelah ikut andil menggagalkan pernikahannya dengan Mona dengan memberikan kesaksiannya akan kebenaran bukti yang Mario berikan pada keluarga besarnya. Hingga membuat Gilang tidak bisa menghindar dari tanggungjawabnya untuk menikahi Asya sekaligus menutupi pembatalan sepihak yang dilakukan keluarga Mona atas pernikahan mereka.
"Maaf bos."
Bughh
Gilang meninju tepat mengenai wajah dingin tampan Riko. Seketika Riko roboh ke lantai karena tidak tahu Gilang menyerangnya tiba-tiba.
Riko hanya bisa menghela nafas pasrah melihat emosi bosnya membara. Dia tahu kesalahan yang sudah diperbuatnya. Dia sudah paham bagaimana menghadapi bosnya itu bila sedang marah, pasti tidak lepas untuk main tangan. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam sambil menahan rasa sakit di wajahnya.
Gilang adalah laki-laki dingin yang tidak suka kehidupannya diusik orang lain. Apabila itu terjadi Giang tidak segan-segan untuk memberikan hukuman berupa kekerasan fisik dengan tinjuan tangannya yang kokoh itu. Hingga membuat siapapun lawannya tumbang.
"Sialan. Elo udah khianatin gue. Kalau elo nggak jujur ke keluarga gue kemarin, pasti semuanya nggak akan begini!" gertak Gilang menahan rasa kecewa teramat mendalam pada orang kepercayaannya yaitu Riko.
"Maaf bos. Nggak ada niatan buat bocorin semuanya. Tapi Mario nyekap gue dan maksa gue ngaku, kalau nggak …"
"Apa ini semacam ancaman?" Gilang terkekeh melihat seorang Riko bisa tunduk akan ancaman Mario, mantan sahabatnya.
"Dia akan nyakitin adik gue yang sedang kuliah di luar kota jika nggak jujur padanya kemarin. Maafin gue bos, selama ini yang gue punya hanya adik gue saja. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama dia disana. Gue nggak bisa jagain dia setiap hari." Riko menjelaskan dengan muka tertunduk tersirat perasaan menyesal dan berharap Gilang memakluminya akan posisinya yang hanya tinggal bersama sang adik perempuannyasaja. Sebagai kakak laki-laki jelas punya tanggungjawab untuk melindungi sang adik perempuan, bukan.
Gilang terdiam sesaat mengingat kehidupan Riko.Sudah dua tahun ini Riko bekerja dengannya jadi tahu kalau sedikit tentang kehidupan Riko. Dimana RIko hanya tinggal bersama sang adik perempuannya yang kini tengah menimba ilmu di bangku kuliah di Yogyakarta. Dan laki-laki itu sangat menyayangi sang adik karena hanya sang adek lah yang keluarga dia punya. Sedangkan kedua orangtuanya sudah meninggal, jadi dia bisa dibilang sebagai kepala keluarga bagi sang adek.
"Hahh. Mario. Kau mengibarkan bendera perang lagi diantara kita." geram Gilang menatap nyalang ke arah kaca jendela sambil mengingat rasa kesal dan kecewanya pada Mario.
"Mona sudah pergi. Itu semua karena Mario. Dan wanita sialan itu yang mengaku-ngaku mengandung anakku."
"Bos sebaiknya jangan sering main tangan sama nona Asya."
"Udah pusing gue. Jangan bahas wanita sialan itu." sungut Gilang sambil melempar buku seadanya yang ada diatas mejanya kea rah Riko.
"Cepat apa yang ingin kamu sampaikan?" Gilang duduk di kursi sembari menunggu apa maksud dari kedatangan Riko ke ruangan kerjanya.
Riko berusaha berdiri sambil mengelap sudut bibirnya sekilas dengan menggunakan ibu jarinya. Sekilas dia melihat aura Gilang yang nampak masih acuh padanya.
"Duduk," titah Gilang pada riko sambil dan dituruti Riko duduk menghadapnya yang hanya dipisahkan .
Pukkk
"Ini hasil penyelidikan saya selama di Bandung." Riko mengeluarkan dan meletakkan beberapa lembar foto di atas meja tepat dihadapan Gilang.
Gilang mengernyitkan dahi sambil mengambil salah satu dari beberapa foto itu yang terdapat 4 lembar foto. Namun semua foto itu hanya berisi foto Asya dan orangtua Asya.
"Maksud kamu apa? Saya nggak ada waktu buat bahas wanita sialan itu." Gilang menyenderkan punggungnya ke kursi. Terlihat ekspresi Gilang yang sedang frustasi beberapa hari ini, tentunya memikirkan nasib hubungannya dengan Mona.
"Bukankah kemarin bos menyuruh saya menyelidiki nona Asya? Ini hasil penyelidikan saya, bos." Riko mengeluarkan secarik kertas akan biodata sekaligus perjalanan hidup Asya. Gilang mengernyit sambil mengingat. Tak butuh waktu lama, Gilang jadi teringat akan perintahnya itu.
"Dia, Asya Anastasya, anak tunggal dari budi dan Rina. Dia dikenal anak yang baik dan sopan serta tertutup terutama masalah lelaki. Semenjak lulus dari SMA, waktunya habis di rumah, membantu kedua orangtuanya bekerja di toko bangunan peninggalan kakeknya yang sudah di turunkan pada orangtuanya. Namun sayang, lima bulan lalu tepatnya ketika bertemu dengan kita, kedua orangtuanya terlibat insiden kecelakaan …"
"Sudah cukup. Saya tidak mau mendengar kehidupan wanita itu." Gilang mengangkat tangannya memberi kode untuk Riko berhenti membahas kehidupan Asya. Dia merasa bosan dan buang-buang waktu saja. Meskipun semua ucapan Riko terekam jelas di kepalanya.
"Sekarag saya mau kamu cari keberadaan Mona. Bawa bodyguard yang lain juga untuk memudahkan dan menemukan Mona pergi." Gilang sangat berharap pada Riko.
"Tapi bos …"
"Tidak ada bantahan. Kerjakan titah gue, kalau elo masih sayang sama hidup elo." ketus Gilang sambil berdiri dan berlalu menatap tajam kearah Riko.Tatapan membunuh itu membuat Riko kicep tidak bisa apa-apa selain diam.
Riko memandang nanar punggung Gilang yang mulai menjauh meninggalkannya seorang diri di ruangan kerja itu. Tidak menyangka kalau kejadian singkat di malam itu, berbuntut masalah panjang yang menyisakan dua hati wanita tersakiti. Bahkan harus melibatkan gadis polos dan sebaik Asya menanggung beban besar dengan hamil sekaligus menerima perlakuan buruk dan kasar Gilang.
"Semoga elo cepat sadar dan berhenti memperlakukan kasar ke istri elo walau tidak ada cinta diantara kalian. Dia wanita baik-baik yang sedang mengandung buah hati elo." Riko memasukkan beberapa foto dan beberapa lembar kertas mengenai biodata Asya ke dalam laci meja kerja Gilang. Berharap suatu saat nanti Gilang mau membacanya.
Gilang kembali ke kamarnya yang ada di lantai atas. Dia tidak sabar mengistirahatkan pikiran dan hatinya yang sudah lelah beberapa hari ini karena sibuk memikirkan Mona yang hilang tanpa kabar. Belum lagi masalah pekerjaannya yang banyak terbengkalai karena tidak bisa konsentrasi kerja karena memikirkan Mona terus.
"Dia tertutup sama lelaki. Jadi cuma gue, laki-laki yang menyentuhnya? Pantas berkali-kali gue nyentuh dia selalu sempit dan ...nikmat." batin Gilang menyeringai puas. Gilang sekilas mengingat ucapan Riko di ruangan kerja.
"Jadi pengin nikmati tubuhnya lagi."
"Hikss.Hikss. Bi, sakit." rintih Asya dipelukan Bi Asri yang segera menghampirinya ketika menangis di dalam kamar. Kebetulan Bi Asri yang sedang istirahat di kamarnya tepat berada di sebelahkamar Asya mendengar suara derap langkah kaki cepat dan isakan tangis Asya, langsung menghampiri Asya. Dan Asya langsung memeluk Bi Asri sambil menangis.
"Yang sabar ya mbak Asya." Bi Asri memeluk sambil mengelus punggung bergetar hebat Asya.
"Kasihan anak ini bi." Asya menunduk dan mengusap perut bucitnya.
Bi Asri merasa tercubit melihat wajah Asya, istri majikannya semakin bertambah lebam banyak wajahnya. Sudah pasti Asya habis di kasari oleh Gilang. Rasanya ngilu melihat wanita hamil harus merasakan kesakitan dari sang suami sendiri.
"Sini biar bibi olesi luka lebamnya." Asya nurut.
Bi Asri dengan sabarnya mengolesi obat pada luka lebam, meski dalam hatinya merasa ngilu. Pasti perih dan sakit itulah yang dirasakan Asya saat ini. Sedangkan Asya hanya bisa diam sambil meringis menahan sakit.
"Mas, mau sampai kapan kamu memperlakukan aku begini. Aku nggak papa kalau kamu giniin asalkan jangan anak kita." batin Asya terus memejamkan mata dengan buliran air mata tidak bisa berhenti.