Chereads / MALAM KELAM TAK DIINGINKAN / Chapter 12 - 12. Berusaha Bertahan

Chapter 12 - 12. Berusaha Bertahan

Langit gelap bertaburan penuh bintang menjadi saksi bisu kehidupan baru Asya yang menyedihkan saat ini. Di tengah hembusan angin malam yang terasa menusuk sampai ke tulang, tak sedikitpun menyurutkan perhatiannya untuk mengadu kepada sang pencipta.

Tak terasa kelopak matanya mulai digenangi cairan bening. Nestapa menghampirinya bertubi-tubi, perlakuan kasar sang suami yang selalu ia terima setiap hari. Baru tinggal dua hari semenjak sah dinikahi Gilang, bukan kebahagiaan yang ia terima melainkan siksaan yang ia terima.

Setelah sah menjadi seorang istri, Asya pindah untuk ikut tinggal di rumah Gilang. Berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya yang akan tidur sekamar dan seranjang, namun itu tidak berlaku bagi Asya. Gilang menempatkannya di sebuah kamar pembantu yang ada di belakang rumah, yang berukuran 3 x 3 meter. Kamar itu hanya hanya berisi satu buah kasur busa yang muat ditiduri satu orang dan sebuah almari. Gilang sengaja melakukannya karena tidak mau berdekatan dengan Asya. Pernikahan mereka hanya untuk menutupi aib mereka saja di hadapan orang banyak. Sedangkan kenyataannya, tidak ada perasaan kasih sayang diantara mereka berdua.

"Hikss … hikss."

Niat hati bisa hidup bersama dengan Gilang membesarkan sang buah hati yang masih di kandungan, malahan sampai sekarang Gilang tidak mengakui keberadaan anak yang tengah ia kandung.

"Mbak Asya nggak tidur? Udah malam." Asya yang sedang duduk di ambang pintu kamar yang kebetulan bersebalahan dengan kamar Bi Asri tidak sengaja diperhatikan. Di belakang rumah terdapat dua kamar pembantu.

"Nanti bi," jawab Asya sembari tersenyum paksa.

"Mbak itu lukanya, mari bibi obati." Bi Asri menunjuk kearah wajah Asya yang semakin hari semakin banyak luka lebamnya.

Wajah cantik dengan kulit berwarna putih susu itu begitu kontras dengan warna lebam yang menempel di wajah Asya. Menorehkan perasaan kasihan bagi siapapun yang memandang, termasuk Bi Asri sebagai pembantu di rumah itu sekaligus menjadi saksi dari kejamnya sang majikan, Gilang pada Asya yang dilakukan setiap hari.

"Nggak papa kok bi." Asya menunduk sembari meneteskan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi.

"Yang sabar ya mbak." Bi Asri memeluk tubuh mungil Asya yang sedikit terhalang dengan perut buncit. Dan benar saja baru dipeluk, Asya langsung terisak dalam pelukan Bi Asri. Bi Asri hanya bisa menenangkannya sembari mengelus punggung Asya yang tengah bergetar hebat.

"Bibi sakit? Badan bibi panas." Bi Asri menggeleng. Asya merasakan kulit Bi Asri panas.

"Bibi buatkan kopi!" teriak Gilang di dapur yang jaraknya dekat dengan kamar belakang.

"Biar Asya aja yang bikini kopi. Bibi istirahat saja." Asya mencegah Bi Asri yang hendak beranjak.

"Jangan mbak."

"Bibi harus istirahat. Biar saya saja." Asya menuntun Bi Asri masuk ke dalam kamarnya sendiri dan membantu merebahkan di ranjang. Bi Asri sudah dianggap seperti ibu sendiri oleh Asya. Karena yang ia punya dan peduli di rumah itu adalah Bi Asri saja. Bahkan Bi Asri begitu memuliakannya disana.

Selesai membuatkan kopi di dapur, Asya menuju ke ruangan kerja Gilang. Kebetulan ruang kerja Gilang yang terletak di lantai satu dekat ruang keluarga dekat dapur, pintunya terbuka. Pertanda Gilang sedang ada disana.

Tok tok

Asya menyembulkan kepalanya di pintu. Melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi tengah berdiri menatap kaca jendela di tengah temaramnya ruangan itu karena lampu tidak menyala dan hanya sinar pantulan dari bulan menembus kaca jendela yang menyorot masuk ke ruangan itu. Diperhatikan lamat-lamat, ternyata Gilang tengah memandang indahnya langit malam yang bertaburan banyak bintang.

"Ternyata ayah kamu juga sama menatap langit seperti mamah tadi nak." Asya mengulas senyum tipis mengingat apa yang dilakukannya tadi. Dia merasa ikatan batin sang anak dengan Gilang cukup kuat juga.

Perhatian Gilang tidak sedikitpun teralihkan, meski pintunya tadi diketuk cukup keras.

"Tuan, ini kopinya," ucap Asya dengan lembut sambil mendekat kearah meja, Gilang langsung menoleh dengan tatapan tidak suka setelah mendengar suara yang dibenci menghampirinya.

"Siapa suruh kamu buatin kopi saya!" bentak Gilang dengan keras hingga membuat Asya tersentak. Untungnya gelas kopinya tidak jatuh ke lantai.

"Maaf. Bi Asri sedang demam. Ja … jadi saya yang buatin kopi."

Asya hanya bisa menunduk sambil menahan ketakutan dan menutupi tubuh gemetarnya, tanpa berani menatap wajah penuh murka Gilang. Semua yang dilakukannya selalu salah di mata sang suami.

Asya melihat sekilas melalui ekor matanya, Gilang berjalan kearah meja dengan cepat dan lebar.

Byurrr

"Awwss. Aduh panas. Sakit."

Tiba-tiba Gilang mengambil cangkir di atas meja kemudian disiramkan kearah Asya. Seketika Asya merintih kesakitan menahan rasa sakit bercampur perih di kulit putih mulusnya.

"Saya tidak sudi minum kopi buatan, kamu!"

Prangg

Belum puas menyakiti Asya, Gilang melempar kopi yang sudah kosong ke lantai hingga menimbulkan suasana gaduh. Asya tersentak melihatnya. Dia tidak menyangka niat baiknya malah disambut emosi Gilang. Lantai yang tadi nampak bersih kini sudah kotor dengan pecahan beling cangkir tersebut.

Asya menelan salivanya dengan kasar sembari menahan isakan dan sakit di kulitnya yang sudah memerah serta takut.

"Jangan berusaha ambil hati saya. Sampai kapanpun saya tidak akan menganggap kamu sebagai istri." Gilang mendorong tubuh Asya hingga jatuh ke lantai.

"Nak, kamu harus kuat." Asya berusaha melindungi perutnya agar anaknya tidak kenapa-napa dengan menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan pertama kali saat mendarat ke lantai. Membuat tangannya terkilir sakit.

"Gara-gara kamu dan anak sialan itu. Saya sama Mona batal menikah."

"Saya pastikan disini akan menjadi neraka untukmu."

"Ta … tapi aku sedang mengandung anak tuan."

Plakkk

Gilang melayangkan tamparan keras tepat mengenai pipi Asya hingga wajahnya menoleh sempurna ke samping. Lagi dan lagi tamparan dari sang suami yang ia dapat. Tidak ada rasa kasihan sedikitpun padanya dengan luka lebam di wajah.

Asya hanya bisa menangis dan menangis. Harapannya bisa bersama-sama Gilang menyayangi anak mereka meskipun sadar mereka hanyalah orang asing yang dippertemukan dalam keadaan salah. Justru siksaan tiada henti yang ia dapat dari sang suami.

"Jangan hubungkan saya dengan anak harammu itu!" bentak Gilang hingga suara kerasnya memecah keheningan di ruangan itu.

Deg

Asya tersentak bagai tertusuk ribuan pisau menghujami jantungnya. Nafasnya serasa tercekat merasakan sesak dada yang begitu dalam.

"Ini bukan anak haram, tapi anak kita." Asya menatap lekat manik Gilang yang tengah berdiri di hadapannya dengan gagah tanpa merasa bersalah atas ucapan yang baru terlontar.

Plakk

"Saya sampai kapanpun tidak akan menganggap anak itu, anak saya."

"Setelah anak itu lahir, saya akan menceraikanmu!"

Asya hanya bisa tergugu menangis di lantai. Tidak cukup kekerasan fisik yang ia dapatkan dari Gilang, namun verbal juga. Rasanya sakit sekali hatinya. Bagai di remas-remas hingga tak berbentuk. Apalagi itu menyangkut sang buah hati yang belum lahir yang tidak berdosa sedikitpun kehadirannya ditengah mereka.

"Tuan, boleh sakiti aku. Tapi tolong jangan sakiti anak kita. Hikss." Asya memohon.

"Saya tidak sudi mengakui anak kamu itu" Gilang melayangkan tangannya hendak menampar Asya lagi karena membuatnya kesal.

"Stop. Kendalikan emosimu, bos."

Gilang tiba-tiba beringsut mundur ke belakang dengan tangan tertahan menjauh dari Asya. Itu semua karena ulah Riko yang datang mendadak dan menjauhkannya dari Asya.

"Lepas!" Gilang menepis tubuh Riko yang tengah menguncinya.

"Ingat dia istri kamu," ucap Riko sambil menatap manik Gilang.

"Saya tidak peduli."

"Kamu bisa di hukum atas tindakan penganiayaan dan kekerasan pada perempuan." Riko berusaha menyadarkan apa yang dilakukan Gilang itu salah. Asya merasa lega sedikit karena kedatangan Riko membantunya terhindar dari amukan Gilang yang semakin kesini semakin tidak terkendali saja padanya.

"Hahhh." Gilang menyugar rambut hitam legamnya kebelakang dengan kasar.

Riko berbalik menghampiri Asya yang masih terisak di lantai dan membantunya berdiri. Riko kasihan sekali melihat penampilan Asya yang tidak baik-baik saja. Dimana pancaran wajah cantik dan kulit putih Asya nampak memar dimana-mana.

"Makasih." Asya melepaskan uluran tangan Riko setelah membantunya berdiri.

"Kamu nggak papa?" bodoh Riko menanyakan itu pada Asya. Jelas-jelas di depan matanya hanya rupa kesakitan saja yang ia lihat. Riko bisa membaca gerak gerik termasuk karakter Asya lewat dari cara wanita itu menatap dan berbicara padanya.

"Hmm." Asya mengangguk.

"Sa … saya permisi." Asya memberanikan untuk mendongak melihat Gilang sebentar sebelum berbalik untuk pergi dari hadapan mereka.

"Mona, kamu kemana sayang," ucap lirih Gilang namun bisa didengar Asya dan Riko.

Asya keluar dengan perasaan hancur ditambah sesak di dada. Perkataan kasar nan menyakitkan lagi dan lagi ditujukan padanya membuat langkah kakinya terasa berat. Namun tetap ia langkahkan. Ditambah lagi isakan tangis mengiringi setiap langkahnya.

Ceklek

Brughh

Setelah pintu ruangan kerja suaminya tertutup, tubuh Asya seketika merosot di depan pintu. Tangisnya langsung pecah disana. Sesekali tangannya mengepal memukul dadanya yang terasa sesak sekali sembari melepas beban batin yang tengah ia tanggung.

"Ini baru dua hari tinggal bersama dia. Tapi perlakuannya sungguh tidak manusiawi. Bagaimana nanti ? Hikss."

"Sabar Asya. Kamu harus kuat demi anak kamu." Asya hanya memikirkan nasib anaknya dan berusaha menepis perasaannya yang sakit karena selalu diperlakukan buruk oleh Gilang. Sampai sekarang dirinya tidak ada niatan untuk mundur dan berpisah dari Gilang. Karena baginya, dia harus bertahan dan kuat menghadapi Gilang demi masa depan anaknya agar bisa mendapatkan kasih sayang dari Gilang. Meskipun sampai sekarang Gilang tidak mengakui anak yang tengah ia kandung anaknya, tapi ia yakin suatu saat nanti Gilang akan menerimanya dan anaknya.