Disinilah Asya sekarang, masih duduk diam sendiri meratapi hidupnya yang malang di kamar tidur sendirian. Perasaan bersalah terus berkecamuk dalam hatinya merutuki perbuatannya dengan Gilang dua hari lalu di hotel.
Niat hati saat itu ingin menemui Gilang meminta pertanggung jawaban malah berujung pada tindakan yang kotor di ranjang. Sayangnya dia malah pasrah akan tindakan tidak terpuji Gilang itu.
"Aku nggak boleh sedih. Dia brengsek. Nggak perlu lagi aku perjuangin." Asya mengusap wajahnya dengan kasar berharap tidak memikirkan Gilang terus.
Asya mengambil ponselnya hendak mencari hiburan dengan membuka social media berharap beban pikirannya teralihkan.
Baru saja membuka social medianya, dia terkejut melihat sebuah foto seorang wanita cantik tengah bersanding dengan Gilang. Kedua mata Asya membelalak sempurna menatap seksama foto tersebut.
Deg
"Mereka akan menikah."
Ternyata foto tersebut menyertakan tanggal pernikahan kedua pasangan mesra itu yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Antara percaya dan tidak percaya dengan yang dilihatnya. Benarkah laki-laki yang ada di foto itu adalah GIlang? Tapi memang dilihat dari paras tampan dan bentuk tubuh tegap laki-laki itu sangat mirip dengan Gilang.
Tes tes
Buliran air matanya mulai merembes di kelopak matanya hendak meluncur bebas. Bagaimana bisa ayah dari anak yang tengah ia kandung itu akan menikah dengan wanita lain disaat dirinya tengah mengandung buah hati mereka. Itu sama saja laki-laki itu lari dari tanggung jawabnya. Walaupun dia sadar hubungan mereka salah hingga menghadirkan si buah hati, tapi tetap saja Gilang wajib bertanggung jawab.
"Hiksss."
"Aku nggak bisa biarin ini terjadi. Biargimanapun juga dia harus tanggung jawab bukan malah lari dari tanggung jawabnya." Asya bangkit dari posisinya dan meraih slingbag pergi.
Dengan wajah sembab dan hati yang terluka, Asya berjalan menyusuri jalan raya yang nampak ramai. Dia mengiktui petunjuk arah di handponenya dimana letak kantor Gilang. Kebetulan di social media memberitahukan siapa sosok Gilang itu yang tidak lain adalah seorang pendiri dan pemilik perusahaan Gemilang Corp.
Dengan sejuta tekad yang bulat, Asya terus melangkah sembari menyisihkan lara hatinya pada sosok Gilang. Hidupnya hancur karena harus menanggung beban sendiri saat ini. Dia benar tidak kaut bila memang harus berjuang seorang diri demi anaknya. Dia tahu anaknya pasti butuh Gilang nantinya.
"Ini tempat kerja ayahmu nak." Asya berada tepat di depan kantor Gilang.
Tidak pernah menyangka itulah gambaran isi perasaannya saat ini. Ternyata laki-laki yang pernah dilayaninya hingga membuahkan hasil di dalam perutnya adalah orang yang kaya.
"Pak saya mau ketemu sama Pak Gilang." Asya menghampiri security lengkap dengan pakaian serba hitam berdiri di pos penjagaan depan kantor Gilang.
"Saat ini Pak Gilang sedang ada meeting dengan kliennya yang berasal dari Bandung. Jadi tidak bisa ditemui." Security tersebut menatap sinis kearah Asya yang hanya memakai dress selutut yang tidak pantas datang ke kantor.
"Bentar aja pak."
"Nggak bisa mbak," tegas security itu membuat Asya takut.
Akhirnya Asya memutuskan untuk menunggu di dekat pos penjagaan. Hingga tidak terasa hari sudah semakin gelap saja. Sudah terhitung Asya menunggu Gilang hingga 3 jam dan sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore.
"Gilang!" teriak Asya melihat tubuh jangkung dan paras tampan yang tidak lain Gilang sedang keluar dari dalam kantor hendak masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di depan kantor.
Tidak butuh waktu lama Asya berjalan ke arah mobil Gilang. Tanpa memperdulikan security yang ikut mengejarnya dari belakang hendak menghentikan langkahnya.
"Stop disitu. Dia urusan saya." Gilang memberi kode lewat tangan kearah security hingga langsung berhenti dan memutar balik.
"Hah … A … aku …"
"Ikut."
Belum selesai bicara, tiba-tiba Gilang segera menghampiri Asya dan menarik tangan Asya masuk kedalam mobil mewah berwarna hitam oleh Gilang. Asya ingin melawan tapi tidak bisa.
"Gi … Gilang …"
"Tahu darimana kantorku?" Gilang sambil fokus kearah depan menyetir mobil.
"A … apa benar kamu akan menikah dengan Mona Larasati?"
Cettt
Gilang menginjak rem mobilnya mendadak hingga mobilnya berhenti.
"Eh." Asya tidak memakai seat belt terdorong ke depan hendak menabrak dashboard mobil namun ditahan tangan Gilang.
Asya bernafas lega reflek menoleh ke samping. Asya dan Gilang saling beradu pandang dengan jarak yang dekat.
"Ma … makasih," ucap Asya sedikit masih syok.
"Kenapa kamu mengurusi urusan pribadi saya? Kalau saya mau menikah ada urusan apa denganmu?" Gilang menarik tangannya dan raut mukanya berubah menjadi marah.
Laki-laki itu dikenal dingin dan tidak mau urusannya di usik orang lain. Terutama mengenai hubungannya dengan kekasihnya.
"Aku sedang hamil anak kamu Gilang. Dia butuh tanggungjawab kamu. Tapi kenapa kamu malah mau menikah dengan dia." Asya memberanikan diri mengambil tangan Gilang dengan lembut.
Settt
Tangan Asya disentak kasar oleh Gilang. Miris sekali, sudah berkali-kali Asya diperlakukan kasar dan tidak baik tapi wanita hamil itu tetap sabar demi mendapatkanya pengakuan dan tanggung jawab dari Gilang. Baginya kepetingan anaknya jauh amat penting yang harus ia perjuangkan dari sekarang walau harus mengorbankan perasannya yang lagi dan lagi disakiti Gilang.
"Berapa kali aku bilang dan tegasin, itu bukan anakku," ucap Gilang dengan menggebu-gebu sambil menunjuk ke arah perut Asya.
Tes tes
Mata Asya seketika memejam sembari meneteskan air matanya. Jujur hatinya merasa sakit sekali, entah itu bawaan anaknya atau tidak dia tidak tahu. Tapi untuk saat ini tidak ada cinta dari hatinya pada Gilang. Jadi sudah dipastikan apa yang ia rasakan saat ini adalah bawaan anaknya.
"Sekali lagi kamu muncul didepan muka saya lagi … habis kamu dan … anak kamu itu." Gilang berbisik di telinga Asya dengan penuh penekanan.
Asya seketika menegang. Nyali Asya seketika menciut.
"Kamu sakitin aku boleh. Tapi to … tolong jangan sakiti anak kita." pinta Asya dengan memohon ditengah isakan tangisnya.
"Saya nggak peduli karena itu bukan anak saya."
"Keluar." bentak Gilang.
"Memang sebelumnya kita tidak saling mengenal, tapi tidak setelah malam itu. Dia hadir setelah kita melakukannya. Jadi kita harus bersama-sama tanggung jawab," ucap Asya dengan tubuh gemetar karena takut dengan raut muka Gilang.
"Itu resiko kamu." Gilang tersenyum sinis.
"Hikss. Ya aku tahu, aku yang serahin diri ke kamu. Tapi dia darah daging kamu, Gilang."
"Sekali lagi kamu menyangkut pautkan saya dengan anak itu lagi, akan saya pastikan anak kamu lenyap dalam waktu dekat. Jangan mengatasnamakan anak kamu itu untuk mengikat saya."
"Gi … Gilang …"
"Diluaran sana banyak wanita yang mendekati saya karena uang dan … tampan. Termasuk kamu."
"Aku nggak seperti mereka Gilang."
"Sebutan apa yang pantas buat kamu mau melayani saya malam itu? Uang?" seketika air mata Asya meluncur denfan deras membasahi wajah cantiknya.
"OK. Kalau kamu memang tidak mau mengakuinya. Mungkin memang aku harus berjuang sendiri untuk anak ini."
Sungguh dia tidak kuat bila diingatkan kembali dengan kejadian di malam itu. Dimana dirinya harus rela menyerahkan kesuciannya dengan uang. Jujur sampai saat ini dia menyesal telah mengambil keputusan terburuk itu.
"A … aku pergi. Maaf sudah ganggu. Semoga kamu bahagia dengan wanita yang kamu cintai,"
"Kalau kamu sampai mengusik urusan saya lagi, ingat ucapan saya tadi." Gilang menahan tangan Asya yang hendak membuka pintu.
Setelah Asya keluar dari mobil, Gilang langsung melajukan mobil itu meninggalkan Asya seorang diri di jalan yang sepi. Asya baru sadar kalau langit sudah berubah menjadi gelap pertanda malam akan tiba.
Kesedihan yang tengah dialami Asya ternyata dapat dirasakan oleh alam semesta. Kilatan cahaya terang menyambar langit yang gelap. Dan tidak butuh waktu lama hujan turun tiba-tiba. Menambah suasana hati Asya semakin terpuruk.
"Hei kemarilah. Kamu akan basah."
Asya terkejut mendengar suara berat menghampirinya. Dengan pandangan kabur, Asya melihat sosok laki-laki bertubuh tegap dan tinggi mengulurkan tangan kearahnya.
"Siapa kamu?"
"Ayo masuk ke mobil saya. Hujan deras ini." laki-laki itu menarik tangan Asya ke mobil warna hitam.
Selama perjalanan Asya memilih diam sambil memandang keluar jendela. Dia tidak peduli dengan laki-laki asing yang sedang menyetir mobil dan memberikan tumpangan padanya. Mungkin kalau tidak dibantu laklaki itu pasti dirinya akan basah karena kehujanan.
"Ada hubungan apa kamu sama Gilang?"
Asya menoleh kaget mendengar pembicaraan awal laki-laki itu. bagaimana bisa laki-laki itu kenal dengan GIlang dan sekaligus tahu kalau dirinya tadi sempat bersama dengan GIlang, pikirnya.
"Kamu kenal Gilang?"
"Ya. sangat kenal."
"Kamu tahu kalau aku tadi sama Gilang?"
"Ya."
"Hahhh." Asya membuang muka sambil menghela nafas. Rasanya dia sudah tidak sudi lagi membahas GIlang. Mengingat Gilang sama saja membuat hatinya semakin sakit karena teringat ucapan pedas laki-laki itu.
"Kenalin saya, Mario."
"Asya." Asya lihat ada uluran tangan kearahnya dan dia langsung menjabat tangan itu.
"Kalau kamu ada masalah, bisa berbagi cerita dengan saya."
"Saya sedang hamil anak Gilang. Hikss." Asya langsung menutup matanya untuk meredam tangisnya yang hendak menggelegar.
Akhirnya Mario menghantarkan Asya sampai rumah. Setibanya di depan rumah Asya langsung disambut Budi. Budi yang nampak khawatir campur panik karena Asya belum kunjung pulang seketika merasa lega ketika Asya sudah pulang.
"Ayah? Hikss." setibanya di rumah, Asya menghambur memeluk Budi sambil menangis.
"Pak Mario." Budi terkejut melihat laki-laki yang berjalan di belakang Asya yang tidak lain adalah Mario.
"Pak Budi."
Brughhh
Tiba-tiba Asya limbung jatuh tidak sadarkan diri dipelukan Budi. Budi dan Mario nampak panik. Buru-buru mereka membawa bumil itu masuk kedalam rumah.