Hari ini dengan tekad bulat, Asya keluar dari rumah tanpa meminta izin dari ayahnya. Ayahnya yang pulang sampai sore dimanfaatkannya untuk pergi diam-diam. Dia pergi ingin mencari Gilang.
Semalaman dia terus kepikiran akan pertemuan tidak sengajanya dengan Gilang di hotel. Itu berarti Gilang tinggal di Jakarta. Hari ini dia berencana untuk menemui Gilang dan memberitahu akan kondisinya yang tengah mengandung buah hati Gilang. Dia berharap Gilang mau bertanggung jawab pada anaknya. Meskipun dia melihat sendiri ada seorang cewek cantik yang sedang dekat dengan Gilang. Tapi demi masa depan anaknya dia akan berusaha.
"Doakan mamah ya nak, semoga bisa menemukan ayah kamu." Asya mengelus perutnya yang sudah tidak rata tertutupi dressnya berwarna navy.
Ditengah perjalanan yang tidak tentu arah, Asya dikejutkan dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan hotel. Entah kenapa atensi perhatiannya tersita hanya pada satu mobil itu saja. Tidak berselang lama turunlah seorang laki-laki dari dalam mobil itu.
"Gilang. Itu beneran Gilang?" Asya terkejut melihat Gilang turun dari mobil mewah tersebut.
Asya masuk kedalam hotel. Kebetulan bagian penjaga depan hotel tidak ada, dimanfaatkan Asya mengendap masuk ke dalam hotel untuk memastikan apa yang tadi dilhatnya adalah Gilang. Namun dengan langkah biasa agar tidak terlihat mencurigakan.
"I … itu Gilang."
Tanpa disadari Asya, ada gejolak perasaan bahagia bercampur lega memenuhi hatinya saat ini. Seperti sedang mendapatkan hadiah besar yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Asya langsung membuntuti Gilang dari belakang. Ternyata di hotel itu Gilang langsung disambut beberapa laki-laki berpakaian formal dan berbincang-bincang serius disana.
"Dia mau kemana?" Asya melihat Gilang tiba-tiba berlalu pergi setelah berbicang cukup lama. Asya membuntutinya.
"Kemana dia?" Asya mencari Gilang menoleh ke depan dan belakang bergantian. Tiba-tiba Gilang hilang dari peredaran pandangannya.
"Eh," pekik Asya kala tangannya tiba-tiba ditarik hingga tubuhnya ikut tertarik mengikuti kemana tarikan itu.
Asya terkejut tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah kamar hotel. Dia tidak menyangka tangan yang menariknya tadi telah membawanya masuk kedalam kamar yang ia tidak tahu itu kamar siapa.
"Kamu siap …"
"Kenapa kamu ngikutin saya?"
Asya tersentak hingga tidak bisa bicara lagi melihat siapa sosok yang ada dihadapannya saat ini yang tidak lain menarik tangannya. Tubuhnya yang tinggi dan gagah dengan paras yang tampan tidak pernah luntur sedikitpun tentunya. Ya dialah Gilang Danurendra.
"Gi … Gilang itu kamu?"
"A … aku kangen kamu."
Gilang mengerutkan dahi sembari sinis. Dia sadar kalau dirinya tampan dan juga kaya. Jadi tidak heran banyak perempuan yang naksir padanya. Namun tetap saja di hatinya hanya ada Mona Larasati seorang saja. Sedangkan Asya yang barusan berkata manis padanya merupakan segelintir dari banyaknya wanita yang menggandrungi paras tampannya. Dan itu membuat Gilang merasa biasa.
Penampilan Asya tidak luput dari pandangan Gilang. Meski hanya baru bertemu sekali di Bandung, tapi dia merasa ada perubahan pada tubuh wanita di hadapannya itu. Yaitu ada tonjolan di bagian perut wanita itu yang tidak terlalu kelihatan karena tertutupi dress warna navy yang gelap itu.
"Sekali lagi saya tanya, kenapa kamu ngikutin saya?"
Asya kaget dan baru tahu kalau Gilang ternyata dingin orangnya. Terbukti dari gaya bicaranya tadi padanya.
"Aku Asya, wanita yang pernah kamu tiduri dulu."
"Lebih tepatnya kamu jual diri kamu sendiri ke saya," tegas Gilang dan tidak dibantah oleh Asya. Walau perasaannya bak tercabik-cabik akan ucapan Gilang barusan.
"A … aku kesini mau minta tanggung jawab sama kamu. Aku hamil anak kamu." Asya menunduk menatap perut buncitnya yang diikuti sorot mata Gilang juga mengarah pada perut buncitnya.
"Apa?" Gilang kaget.
"Saya hamil anak kamu."
"Kamu kira saya percaya. Kamu sendiri saja yang menjual diri kamu sendiri ke saya, kemungkinan kamu juga akan menjual diri ke laki-laki lain."
Deg
Jantung Asya serasa berhenti berdetak. Sungguh apa yang dikatakan Gilang barusan tidak benar. Dia tidak pernah begitu, hanya sekali dia bermain dengan laki-laki yaitu hanya dengan Gilang seorang.
"Nggak Gilang. Aku nggak begitu. Aku hanya berhubungan dengan kamu, dulu."
"Nggak. Aku nggak percaya. Itu pasti bukan anak aku. Itu anak laki-laki lain …"
Plakkk
"Asal kamu tahu, aku melakukan itu hanya dengan kamu saja. Jadi ini anak kamu." tegas Asya dengan keras.
Hati Asya serasa tercabik-cabik saat mendengar pernyataan Gilang yang mentah-mentah menolak anaknya hingga tangannya reflek menampar pipi Gilang.
"Berani kamu nampar saya. Kamu itu nggak jauh sama jalang diluaran sana. Main sama banyak laki-laki. Giliran hamil langsung bingung cari pertanggung jawaban."
"Ja … jalang kamu bilang?" Asya merasakan sesak di dada menahan gejolak lara hati di hatinya. Sudah tidak diakui kini direndahkan pula.
"Ya."
Plakkk
"Kamu jahat. Aku kesini hanya minta pertanggung jawaban dari kamu atas anak ini saja. Dan bukan menerima caci makian kasar begitu." tangis Asya pecah membasahi pipi mulusnya.
"Kamu dengar baik-baik, saya nggak akan mengakui anak itu sebagai anak saya. Karena itu bukanlah anak saya."
Tes tes
"Dasar laki-laki brengsek. Berani berbuat tapi tidak mau tanggung jawab. Miris sekali anak ini harus memiliki ayah seperti kamu." Asya berlinangan air mata saat berbicara.
"Sadar? Kamu yang menyerahkan diri sendiri melayaniku."
Deg
"Ya, aku memang salah. Tapi aku juga terpaksa …"
"Tapi kamu nggak menolak kan?" Asya seketika diam. Keadaannya saat itu menuntutnya untuk pasrah dan menerimanya.
"Tapi perbuatan kita dulu sudah menghadirkan ini." Asya mendekat membuat badannya dan badan Gilang hendak bersentuhan.
"Rasakanlah. Ini ada anak kamu disini." Asya mengambil dan meletakkan tangan kekar Gilang di perutnya.
"Nggak." Gilang langsung menghempas tangannya menjauh dari perut buncit Asya.
"Sejahat itukah kamu sama anak yang nggak bersalah ini atas perbuatan kita di masa lalu. Dia butuh kamu …" Asya berusaha kuat meskipun dirinya sudah tidak kuasa melihat penolakan Gilang yang kasar itu.
Gilang terdiam. Laki-laki itu tahu setelah mereka bergulat meninggalkan jejak noda darah yang tentunya itu adalah darah Asya. Jadi sudah pasti Asya baru melakukan itu hanya dengannya.
"Itu bukan anakku. …"
Plakkk
Satu tamparan keras kembali mendarat kearah Gilang.
"Kamu berani menamparku lagi?"
"Ya. Karena kamu jahat. Kamu, laki-laki bejat. Kamu nggak layak hidup. Kamu berani berbuat tapi nggak mau tanggung jawab …"
Hmmpttt
Asya yang terus mengeluarkan sumpah serapah kasarnya membuat Gilang murka hingga langsung menarik tengkuk Asya kemudian dibungkamnya bibir Asya yang merah muda itu.
Asya reflek meronta agar dilepaskan. Sudah cukup malam itu saja dirinya pasrah atas perbuatan tidak senonoh yang dilakukan GIlang padanya. Dia tidak mau kejadian itu terulang kembali.
"Hahh Hahh Dasar gilahhh." ciuman itu terlepas, Asya langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Tok tok
Gilang seketika sadar akan perbuatannya. Menyesal tidak bisa mengontrol diri hingga kembali menyerang perempuan di hadapannya itu lagi. Mungkin kalau tidak ada ketukan pintu dari luar, Gilang bisa berbuat lebih jauh pada Asya.
Asya tidak menyia-nyiakan kesempatan Gilang membuka pintu itu untuk pergi dari kamar hotel itu. Dia tidak mau mengulangi perbuatan kotor tuk kedua kalinya dengan Gilang.