Pagi ini langit diselimuti dengan mendung tebal, tapi entah kenapa hujan tak kunjung turun. Bau wangi tujuh macam bunga tercium semerbak tatkala tangan kurus itu menaburkannya di atas dua gundukan tanah yang basah.
Isakan tertahan masih terdengar bersahutan diiringi doa dari para peziarah berbaju serba hitam. Dua gundukan tanah dengan nisan kayu di atasnya menjadi penyebab kenapa mereka berkumpul sepagi ini di pemakaman. Untuk merayakan pedih dalam tangis yang menyertai kepergian dua insan secara bersamaan.
Larasati sebisa mungkin berhenti untuk terisak terus-menerus. Karena tenaganya seolah tersedot habis tanpa sisa ketika matanya menatap prosesi pemakaman di mana tubuh kedua orang tuannya dimasukan ke dalam tanah.
Yang tabah, kata orang-orang. Tapi apakah mereka tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dua orang yang paling disayang dalam waktu bersamaan?
Menyakitkan, tak dapat dideskripsikan bagaimana rasanya.
Sekali lagi, doa dipanjatkan oleh orang-orang sebelum meninggalkan pemakaman. Tepukan di bahu dirasakan berkali-kali oleh Larasati. Seolah mereka semua ingin memberikan kekuatan lebih melalui gerak itu. Padahal nyatanya, seberapa banyak tepukan itu juga tidak mempengaruhi apapun. Kedua orang tuanya sudah tidak ada, meninggal, dikubur dalam tanah, dan tak dapat bangkit kembali.
Lantas? Apakah Larasati sendirian? Tidak.
Seorang laki-laki dengan pakaian yang juga serba hitam dengan kacamata senada di matanya, duduk berjongkok di sebelahnya. Merangkul bahkan membiarkan Laras bersandar di bahunya. Menepuk-nepuk pelan punggung kecil itu, seolah menenangkan bahwa dia tidak sendirian.
"Aku sendiri," lirih Laras. Masih dengan diiringi derai tangis yang tak kunjung reda. "Mamah sama papah pergi, berdua, tanpa ngajak aku."
Randi Prasetya, kekasih Laras selama dua tahun belakangan ini, masih setia mendengarkan ratapan lara dari gadisnya. Tangis pilu juga jeritan kuat sudah sering ia dengar semenjak tadi malam. Tepat ketika ia hendak pamit pulang, dua polisi datang ke rumah Laras. Membawakan kabar tak mengenakan, bahwa orang tua Laras terlibat kecelakaan beruntun yang mengakibatkan keduanya meninggal di tempat.
Awalnya Laras tertawa terbahak-bahak, menganggap bahwa dua polisi yang datang adalah polisi gadungan yang hendak meminta sumbangan. Tetapi ketika bibi Laras datang, gadisnya itu langsung menjerit histeris. Berteriak bohong kepada semua yang ada di sana. Isakan mulai terdengar kuat seiring dengan turunnya hujan lebat saat Laras melihat sebuah cuplikan video berisikan keadaan jalan tempat kecelakaan terjadi. Gadis berambut hitam sepinggang itu juga hampir tumbang ketika wajah kedua orang tuanya disorot kamera.
Wajah ayahnya mungkin masih bisa dikenali sebab hanya terluka dibagian dahi. Tetapi wajah ibunya, nyaris tak dapat dikenali karena hampir seluruh sisinya terkena pecahan kaca yang membuatnya berlumuran darah.
Paginya, dua peti berisikan jasad datang menggunakan ambulan. Teriakan Laras menggema, menyalahkan Tuhan atas takdir yang begitu jahat padanya. Ia mengatakan, kedua orang tuanya ingin dinas ke kota Malang bukan ke langit. Lagi, mereka hanya pergi untuk beberapa hari, bukan untuk selamanya.
"Aku sendiri, Ran," ucap Laras lagi. Kini tangisnya mulai berhenti.
"Ada aku," kata Randi.
"Aku nanti sama siapa?" tanyanya lebih tepatnya bertanya kepada diri sendiri.
Yuni, bibi Laras mendekat ke arah mereka. Ikut berjongkok menatap gundukan tanah basah bertabur bunga yang menjadi atensi kedua anak manusia di sampingnya. Ia sempat mengelus surai hitam Laras sebelum memegang tangan dingin sang ponakan.
"Kamu gak akan sendiri, Ras. Ada bibi, kamu bisa tinggal di rumah bibi." Laras masih diam. Ia menarik kembali tangan yang dipegang Yuni.
Mata sembabnya menatap nisan bertuliskan nama ibunya. Dulu, ibunya sering bilang agar tidak perlu terlalu akrab dengan bibi. Entah dengan alasan apa, ibunya selalu membentangkan jarak pada adiknya ini.
Laras kemudian menggeleng, ia menatap wajah Randi. "Aku mau sama kamu aja, boleh, ya?" Randi diam. Ia berusaha mencerna makna tersirat dari ucapan Laras.
Mau sama kamu, artinya hidup bersama Randi. Berdua, dan harus ada ikatan supaya tidak ditentang orang. Kesimpulannya, Randi harus menikahi Laras.
Oh, tidak.
Dia masih berusia dua puluh tahun juga Laras yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun kemarin. Masih terlalu dini untuk keduanya terikat pada status pernikahan. Lagi, jika keduanya memaksa untuk menikah, aja jadi apa rumah tangganya?
Randi memang terkenal pandai juga aktif organisasi di dalam lingkungan kuliah, setidaknya itu sedikit menjamin masa depan laki-laki itu. Tapi, masih jauh. Randi belum mendapatkan penghasilan sendiri. Ia masih bergantung kepada kedua orang tuanya. Lantas, akan dikasih makan apa anak orang nantinya?
"Jangan nyusahin Randi, Ras. Dia masih banyak tanggungan selain menjaga kamu," ucap Yuni.
Wanita setengah baya itu menaburkan bunga tepat di atas makam sang kakak. Wajahnya sendu, tapi hebatnya tak menangis sama sekali. "Ibu kamu, menitipkan kamu sama bibi."
Laras menatap Yuni seolah menuntut penjelasan lebih. "Maksud bibi?"
Tangan Yuni beralih membuka tutup botol, disiramnya gundukan tanah basah yang sekarang menjadi tempat peristirahatan terakhir dari sang adik. "Mungkin firasat." Ada helaan napas berat diiringi dengan setetes air mata yang mulai membasahi pipinya sebelum kembali berucap. "Ibu kamu nitip Laras, katanya. Jaga dia, jangan sampai dibuatkan sendirian."
Laras memalingkan wajahnya. Sungguh, ia bersumpah tidak ingin menangis lagi, tapi kenapa semudah ini ia mengingkari sumpahnya sendiri. "Kapan mamah bilang gitu?"
"Satu jam sebelum mereka berdua berangkat. Di saat perjalanan juga ibu kamu nelpon bibi supaya nginep di rumah. Katanya, supaya kamu nggak sendirian."
"Jadi, Ras, tolong bantu bibi supaya bisa menunaikan amanat dari mendiang ibumu. Ayo ikut, tinggal di rumah bibi. Toh nanti kamu juga bisa sering bolak-balik rumah kan?"
Laras menatap Randi seolah meminta saran. Dari balik kacamata hitamnya, Randi menatap Laras dengan risau. Entah kenapa, perasaannya jadi tak enak. Namun, karena tak ada pilihan lain, akhinya ia mengangguk saja. "Gak papa, kamu tinggal sama bibi, ya?"
"Tapi--" Laras hendak menyanggah, namun urung ketika Randi menyela ucapannya. "Nanti aku juga akan sering berkunjung."
"Iya, Ras. Rumah bibi juga gak terlalu jauh dari rumahmu kan? Sama rumah Randi juga searah, gak akan jadi masalah." Yuni terus meyakinkan keponakannya.
Dengan berat hati, Laras mengangguk. "Ya udah, Laras mau."
Yuni tersenyum lebar. Ia merangkulkan lengannya ke pundak Laras. Menggantikan tangan Randi yang sengaja ia tepis pelan tadi. Sementara Randi, ia nampak mencurigai tingkah Yuni. Setahunya, keluarga Laras dengan keluarga Yuni pernah terlibat konflik mengenai perusahaan. Tapi, kenapa tiba-tiba Yuni jadi baik begini pada Laras.
Lagi, jika memang Yuni tulus dengan Laras, ke mana perginya suami dari Yuni. Kenapa di saat adik dari istrinya meninggal, dia tidak datang?