Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 7 - Sebentar Lagi

Chapter 7 - Sebentar Lagi

Di dalam mobil yang ia kemudikan sendiri, Laras masih berusaha untuk meredam segala kekalutannya. Memang keadaannya tidak seburuk tadi pagi. Meski sebelum berangkat, ia sempat muntah-muntah hebat ketika mencium aroma parfumnya sendiri. Hal itu membuatnya tak berhenti menggigiti kukunya bahkan sampai terluka.

Beruntung, dirinya masih bisa mengemudi dengan baik. Walau sesekali ia membenturkan keningnya pada setir saat terjebak macet. Tapi, sejauh ini, masih baik-baik saja. Dulu sekali, Laras pernah mengemudi dengan keadaan cemas seperti ini, bukannya sampai tujuan, malah ia yang dilarikan ke rumah sakit sebab terlibat kecelakaan dengan sebuah truk bermuatan besar.

Ironi.

Orang-orang di sekitarnya menganggap Laras adalah perempuan dengan kehidupan sempurna. Kedua orang tuanya termasuk keluarga berada dengan bisnis milik sendiri yang bisa dibilang lebih dari sukses. Lalu, wajah cantiknya yang membuat Laras sering mendapatkan previllage dalam berbagai hal. Ditambah lagi dengan adanya Randi, laki-laki nyaris sempurna yang selalu ada di sampingnya. Memperlakukannya bak ratu, tidak pernah menyakitinya barang sekali saja.

Namun siapa sangka, di balik kesempurnaan itu, Laras selalu rutin mengalami serangan panik berlebihan. Tak sekali dua kali juga ia mengalami gejala yang bisa dianggap sebagai menyakiti diri sendiri. Itu semua karena orang yang ada di masa lalunya. Orang itu selalu mendatangi Laras juga sang ibu. Meminta banyak sekali hal aneh yang bahkan tidak bisa dilakukan Laras. Hingga akhirnya, Laras hanya bisa menahan ketakutan itu sendirian. Sebab, sebisa mungkin ia bersikap biasa saja di hadapan semua orang. Berusaha keras untuk membuktikan bahwa memang benar hidupnya sesempurna ini.

Tak terasa, mobil Laras sudah memasuki pelataran rumah Randi. Pagar besar yang sengaja dibiarkan terbuka itu memudahkan Laras untuk masuk tanpa harus mendorong pagar berat itu terlebih dahulu.

Laras meremas kuat tangannya. Melampiaskan rasa takut yang terus menyerang kepalanya. Menghembuskan napas berat, akhirnya Laras mengetuk pintu rumah Randi.

"Permisi?!" teriaknya. Sebab tahu rumah besar ini tak mungkin bisa ditembus oleh suara kecilnya.

Sekitar satu menit Laras berdiri akhirnya pintu itu terbuka. Menampakkan seorang wanita paruh baya dengan balutan piyama merah muda yang sangat pas di tubunhya.

Ratih, ibunda dari Randi.

"Hei? Laras? Aduh, sayang, bunda kangen banget sama kamu."

Kekhawatiran Laras sedikit luruh kala tubuhnya diraih dalam dekap hangat wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya ini. Kehangatan yang menyerupai pelukan ibunya sendiri, membuatnya larut dalam kenyamanan. Hingga tak terasa jika mereka sudah berpelukan hampir satu menit lamanya.

"Laras kangen banget sama bunda," ucap Laras saat pelukannya terlepas.

"Bunda juga kangen banget sama Laras. Maaf, ya, sayang, bunda gak bisa hadir di pemakaman kedua orang tua kamu. Habisnya bunda baru pulang dari Bogor buat jenguk kakeknya Randi." Ratih menangkup wajah Laras dengan kedua tangannya. Mengusap kulit lembut itu dengan tulus. Berharap usapannya bisa sedikit saja menghilangkan raut wajah sendu yang masih bersarang pada wajah ayu sang calon menantu.

"Gak papa, Bunda. Laras udah baik-baik aja."

Ratih tahu, gadis di depannya ini tengah melakukan sebuah kebohongan. Kebohongan atas dirinya sendiri. Perihal keadaannya yang jelas tidak baik-baik saja, namun mengaku seolah semuanya aman terkendali. Namun, Ratih tak menghiraukan hal itu. Ia tahu, butuh waktu untuk seseorang bisa melupakan kepergian orang yang disayanginya. Terutama orang tuanya sendiri.

"Yuk, masuk. Bunda ada buat donat coklat kesukaan kamu."

Laras menurut saja saat Ratih mengiringnya agar masuk ke dalam rumah. Rumah yang sangat hangat dengan kasih sayang yang selalu mengelilingi setiap anggotanya.

"Duduk dulu, Bunda ambilkan donatnya sebentar."

Laras hanya mengangguk saja. Dalam hati, ia ingin segera bertemu dengan Randi. Ia butuh pelukan hangat dari laki-laki itu, atau sekedar ucapan 'gak papa, aku ada di sini.'

"Ini, ayo cobain."

Laras mengambil sebuah donat dan langsung melahapnya dengan antusias. Lebih tepatnya, antusias yang dibuat-buat. Karena sebenarnya, perutnya sedang tidak baik-baik saja. Beruntung saat ini ia tidak dilanda mual hebat atau tiba-tiba muntah-muntah tak karuan seperti tadi pagi.

"Randinya mana, Bun? Aku nyari dia. Tadi kita udah janjian buat ketemu di sini." Laras langsung mengucapkan tujuannya. Karena jika tidak, Ratih akan selalu menahannya dengan segudang cerita yang bisa dibilang membosankan bagi Laras.

"Oh, ya? Tapi Randinya belum pulang, tuh. Dia gak kabarin kamu kah?" Bahu Laras terkulai lemas setelah mendengarnya.

"Nggak, Bun. Tadi dia bilang lagi di jalan, mungkin kejebak macet kali, ya?" Laras mengucapkannya sebagai penenang bagi dirinya sendiri.

"Iya kayaknya. Kamu mau tunggu? Tapi sayang banget Bunda harus pergi ke rumah tetangga. Kita ada arisan. So, kamu gak papa Bunda tinggal sendirian? Papahnya Randi lagi di luar kota, pembantu rumah kita juga lagi libur." Ratih berucap dengan nada bersalah. Ia mengelus surai hitam Laras dengan sayang. Menatap netra coklat milik gadis itu dengan sorot mata hangat.

"Gak papa, Bunda. Aku tungguin sendirian."

"Ya udah, yuk, nunggu Randinya di kamar dia aja. Sekalian kamu istirahat."

Aroma bellagio menguar begitu kuat sesaat setelah Ratih membuka pintu kamar berwarna putih gading milik Randi. Kamar luas dengan cat berwarna cream, sangat rapih untuk ukuran anak laki-laki. Tapi wajar saja, karena ini Randi. Laki-laki perfeksionis yang selalu mengutamakan kerapihan dalam segala hal.

"Nah, Laras tiduran aja gak papa. Tungguin Randi, ya, kalau mau minum ambil sendiri di dapur, oke?" Laras mengangguk disertai senyuman. Ia sedikit terharu ketika Ratih bergerak mendekat, untuk mengecup pelipisnya dengan sayang. Persis seperti seorang ibu pada anak kandungnya.

"Ya udah, Bunda berangkat, ya?"

Pintu itu ditutup dengan rapat. Menyisakan Laras yang langsung menghirup aroma milik Randi dalam-dalam. Aroma candu yangs selalu berhasil menenangkannya. Berjalan perlahan menuju meja belajar milik Randi, hingga ia menemukan sebuah figura berisikan dirinya juga Randi yang tersenyum lebar menghadap kamera. Foto itu diambil saat mereka berdua wisuda SMA. Momen manis yang tak pernah bisa Laras lupakan begitu saja.

Laras mengambil figura itu, dipeluknya bingkai foto persegi berukuran kecil itu. Kemudian, ia berbaring di ranjang besar milik Randi. Membuat hidungnya bisa mencium lebih kuat aroma bellagio dari sana.

"Randi, aku berharap apapun yang akan terjadi pada hubungan kita, kamu tetap bisa menepati janjinya sendiri. Di mana, laki-laki itu akan tetap bertahan di samping Laras, apapun keadaannya. Sehancur apapaun realitanya."

Dinginnya temperatur AC, juga aroma yang menenangkan, membuat Laras larut dalam lamunan keruh. Hingga tanpa sadar, ia terpaku pada bayang semu. Sampai akhirnya ia menutup mata, guna memasuki mimpi di mana ia berkelana di dalamnya.