Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 10 - Kabur

Chapter 10 - Kabur

"Ran, aku hamil."

Dunia di sekitar terasa seperti berhenti bergerak. Detik pada jarum jam juga teras berhenti seketika saat Laras keluar dan mengatakan sebaris kalimat yang mampu melumpuhkan denyut nadinya. Jantung Randi melemas, juga dengan tubuhnya yang luruh, hingga terduduk di atas dinginnya lantai malam ini.

Melihat Laras keluar dengan raut wajah yang sulit ditebak, juga di tangannya yang menyodorkan tiga buah testpack yang menunjukkan dua garis.

Randi tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti apa maksudnya. Dua garis, yang artinya positif.

Laras mulai terisak, ia ikut duduk bersimpuh di samping Randi. Menyandarkan kepalanya pada bahu lebar sang kekasih sembari terus menangis pilu. Randi sendiri seperti belum bisa sadar sekarang. Terbukti ketika Laras berucap, ia hanya mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan dirinya ketika malam penuh dosa itu terjadi.

"Aku gak akan buat kamu hamil. Ini cuma sekali, gak akan bisa buat hamil."

"Gak papa, nanti bekasnya hilang."

"Gak akan sakit, aku ngelakuinnya pelan-pelan."

Dan masih banyak kalimat penenang yang ia lontarkan kepada Laras, yang juga berakhir hanya sebuah omong kosong belaka. Karena nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Laras hamil, anak dari dirinya sendiri. Laki-laki yang selalu berjanji akan menjaganya sampai mati. Tapi sekarang, janji itu agaknya sudah tidak berlaku karena sekarang, Randi telah merusak gadisnya sendiri.

"Aku udah duga ini bakak terjadi, Ran. Makanya aku selalu ngeluh takut, takut dan takut. Bukan apa-apa, tapi aku udah ada gejalanya sendiri. Dan saat orang tuaku meninggal, rasanya aku pengen ikut mereka aja. Karena aku takut di saat-saat seperti ini, aku malah sendirian." Laras berucap sembari terisak kuat. Punggungnya bergetar hebat. Ia juga membiarkan air matanya tumpah, membasahi kemeja Randi.

"Ras, kamu bisa pulang nggak, sekarang?"

Laras tersentak, ia menghentikan tangisannya lalu menatap Randi dengan tidak percaya. "Apa?"

"Tolong pulang, sekarang. Aku mau sendiri dulu."

Tidak ada penjelasan maupun kata maaf yang terucap pada mulut Randi. Yang ada hanya raut wajah datar, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi saat ini. Hal itu membuat Laras naik darah. Ia berdiri, menatap tajam Randi yang masih duduk di bawahnya.

"Gila! Di saat aku hampir depresi karena perbuatan kamu, kamu malah nyuruh aku pulang? Kamu ngusir aku, Ran?" Suara Laras melirih di akhir.

"Aku nggak ngusir kamu. Besok aku bakal datengin kamu, tapi tolong, untuk sekarang, tinggalin aku sendirian dulu. Aku butuh waktu, Ras. Mohon pengertiannya."

Mendengar ucapan Randi, Laras malah tergelak sinis. Menertawakan sang kekasih yang bertingkah seolah dia adalah korban. Walau pada kenyataannya, dia pelaku dan Laraslah korbannya. Tapi lihatlah bagaimana Randi memperlakukan Laras? Layaknya benda sekali pakai, jika sudah rusak, hanya bisa dibuang begitu saja. Tidak dipedulikan keberadaannya.

"Dari awal aku memang gak seharusnya jatuh sama kamu. Bodohnya aku, aku malah jatuh, sejatuh-jatuhnya sama kamu sampai-sampai aku rela kehilangan kesucian aku demi kamu. Dan akhirnya apa? Aku juga yang dibuang."

Laras beranjak dari kamar Randi, meninggalkan laki-laki itu tenggelam dalam pikiran keruh dengan jangka waktu yang panjang.

***

"Randi? Kenapa tidur di lantai, Nak?" Randi merasakan bahunya diguncang pelan. Ia membuka mata hingga bisa melihat dengan sedikit buram wajah Ratih.

"Bunda?" tanyanya dengan linglung. Lantas tanpa menunggu, ia meraih tubuhnya agar berpelukan dengan sang bunda. Menumpukkan wajahnya pada bahu kurus milik wanita yang telah melahirkannya itu.

"Kamu kenapa?" Randi memilih untuk tidak menjawab. Ia hanya menggeleng, kemudian tak lama, ia merasakan usapan lembut pada punggungnya.

Di saat seperti ini, rasanya Randi ingin menangis keras-keras. Mengatakan pada Ratih bahwa ia telah merusak hidup seorang gadis yang sangat ia sayangi. Namun, tidak mungkin Randi memiliki keberanian sekuat itu. Maka yang bisa ia lakukan hanya terus memeluk Ratih dalam diam, merasakan kasih sayang yang tersalur melalui pelukan hangat ini.

Lima menit lamanya, ibu dan anak itu saling memeluk satu sama lain hingga akhirnya Randi melepaskan diri. Ia menatap wajah Ratih yang selalu menatapnya dengan lembut. Seberkas sinar selalu ia rasakan jika menatap netra hitam kelam milik sang ibu.

"Kamu kenapa tidur di lantai begini? Udah makan belum? Itu Bunda ada siapin kamu nasi goreng di bawah, yuk makan."

Pada dapur dengan pencahayaan remang, Randi menemukan sepiring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Terlihat menggoda harusnya, tapi entah kenapa nafsu makannya hilang seketika. Padahal sepulang dari kampus tadi, ia sudah merencanakan untuk meminta Ratih memasakan nasi goreng untuknya.

"Ayo dimakan, kok malah bengong."

Meski sulit menelan, Randi berusaha tetap menghabiskan satu porsi penuh nasi goreng buatan sang ibu. Rasanya memang enak, sangat enak seperti biasanya. Tapi yang namanya tidak nafsu, walau makanannya enak sekalipun, tetap saja tak bisa menikmati.

"Eh, tadi Bunda arisan sama tetangga, sekalian pesta piyama gitu. Terus temen-temen Bunda pada nanya, kamu mau ambil S2 di mana? Bunda jawab aja beluk tahu. Orang kamunya aja belum lulus S1 kok udah tanya mau S2 ke mana." Ratih berucap dengan sesekali menggigit apel yang ia pegang.

Sementara Randi, entah kenapa rasa dari nasi goreng yang ia makan menjadi hambar sepenuhnya. Tidak ada sedap seperti tadi, hambar, seperti makan nasi putih. Mendengar ucapan Ratih, ia tahu, ada pesan tersirat dari ucapannya. Perihal pendidikan yang akan Randi ambil. Wanita itu mau Randi menjejaki langkah sang ayah agar bisa berkuliah di universitas ternama di dunia. Setidaknya sampai S2 saja.

Lalu, bagaimana reaksi Ratih jika Randi mengatakan bahwa ia tak bisa melanjutkan pendidikan sebab dirinya harus bertanggung jawab atas hidup Laras juga anak yang dikandung perempuan itu?

Membayangkannya saja, Randi tak sanggup.

Terlahir sebagai anak tunggal membuatnya harus rela menanggung beban begitu besar. Harapan keluarga ada pada dirinya. Banyak cita-cita yang bahkan belum ia jalankan prosesnya. Dan sekarang ia harus terjebak bersama seorang perempuan dan harus merelakan cita-citanya tertelan oleh takdir yang begitu memuakkan?

Tidak. Randi tidak akan rela.

"Bunda, kalau aku milih buat pindah kampus untuk semester depan, Bunda akan setuju nggak?"

"Kenapa nanya gitu? Emangnya kamu mau pindah kenapa?"

Randi tak langsung menjawab, ia hanya memandangi nasi berwarna coklat di depannya yang tersisa setengah. Apa ini waktu yang tepat untuk memberitahukan yang sebenarnya? Bahwa Ratih sebentar lagi akan menjadi seorang nenek bagi anak yang tidak diharapkan kehadirannya?

"Ran, hei? Kok diem? Bunda tanya, kenapa?"

"Aku mau pindah kuliah ke dekat rumah eyang aja, Bunda. Mau rawat eyang, kasian dia sendirian."

"Kamu mau pindah ke Jogja?