Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 16 - Jogja

Chapter 16 - Jogja

Baju sudah diganti, rambut juga sudah setengah kering. Secangkir teh manis hangat tersaji di atas nakas. Dengan tubuh yang dibungkus selimut tebal, Laras hanya bisa menatap kosong jendela yang menampakkan pemandangan hujan dari luar sana.

Terima kasih kepada Nindy yang menyiapkan semua ini untuknya. Kalau tidak ada Nindy, mungkin Laras masih duduk mengenaskan sembari menangis di depan rumah Randi.

"Gimana? Masih pusing gak?" Nindy datang, dengan semangkuk bubur ayam di tangannya.

"Nggak, makasih." Hanya itu yang bisa Laras sampaikan. Bukan apa-apa, hanya saja ia seperti tidak memiliki tenaga lagi bahkan hanya untuk berbicara sekalipun.

"Lo jangan sendirian pokoknya, harus sama gue terus."

Laras membuka mulutnya tatkala Nindy menyuapkan sesendok bubur. Pahit, tentu saja. Harusnya Laras masih berada di rumah sakit. Namun gara-gara Yuni, ia harus menelan pil pahit lagi dengan kembali datang ke rumah Randi.

Setengah porsi bubur sudah habis. Laras menggeleng, sudah tidak kuasa menelan benda encer itu ke dalam mulutnya. "Udah."

Nindy menatap Laras dengan iba. Tidak pernah ia sangka sebelumnya jika sahabatnya yang selalu diperlakukan bak ratu oleh kekasihnya ini malah berakhir mengenaskan seperti tubuh yang tak memiliki jiwa. Nindy penasaran, bagaimana bisa Laras menyerahkan kesuciannya begitu saja pada Randi?

Bukan maksud Nindy menganggap Randi tidak bertanggung jawab di samping perlakuan laki-laki itu yang selalu lembut. Tapi sekarang lihat? Di mana dia ketika Laras diguncang sendirian? Padahal akar permasalahannya adalah dia, tapi laki-laki sialan itu malah kabur dan pindah rumah?

"Gue gak habis pikir sama Randi. Bisa-bisanya dia pergi gitu aja dengan keadaan lo yang gak bisa dibilang baik-baik aja." Nindy bersuara.

"Gue juga gak tahu harus apa." Laras berucap pelan. Kepalanya pening bukan main, matanya pedih sebab terlalu banyak menangis.

"Lo mau gue cari dia?" Laras menggeleng. "Gak usah, dia gak akan mau tanggung jawab."

"Kok lo pasrah gini sih? Terus anak lo gimana? Lo mau dia lahir tanpa ayah?"

Laras sempat terdiam sebelum mengucapkan sesuatu yang membuat Nindy tertegun mendengarnya. "Gue bahkan gak mau dia lahir."

***

Malam ini tampak temaram, dengan cahaya dari sinar bulan yang menerangi permukaan bumi yang gelap. Pada balai bambu, di depan sebuah rumah gaya klasik, Randi duduk termenung sendirian, hanya ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin sebab tidak kunjung diminum sedari tadi.

Kopi tubruk kesukaannya, buatan nenek. Kini sudah tidak besar lagi atensinya pada Randi, sebab pikiran laki-laki itu tengah penuh. Penuh nan keruh dengan satu nama yang terus berputar sedari ia datang ke mari.

Randi memutuskan untuk pindah, baik rumah maupun tempatnya berkuliah. Jogja juga kehidupan sederhana di dalamnya, mungkin akan jadi suasana baru yang akan Randi temui ketika membuka mata pertama kali saat bangun tidur. Tidak ada lagi suara keheningan di pagi hari, sebab sang kakek yang selalu memainkan musik-musik acak drai radio tua miliknya. Tidak ada lagi asap pekat dari kendaraan ketika ia melintasi jalan menuju kampus. Hanya akan ada sapaan-sapaan hangat dari para penduduk asli sana.

"Eh, Randi? Lagi main, toh?"

"Randi ndak kuliah? Oh, atau lagi libur, ya?"

"Walah! Nambah ganteng poll. Sudah lama ndak mudik, Mas?"

Begitu kira-kira isi sapaannya.

"Ganteng banget kamu."

"Kok rambutnya dipotong? Kenapa gak bilang?"

"Udah sarapan belum? Ke kantin, yuk?"

Randi tidak akan lagi mendengar pertanyaan-pertanyaan basic nan rutin yang selalu Laras lontarkan padanya. Sebab, ketika Randi mengatakan 'iya', atas pertanyaan sang ayah, itu artinya Randi menyetujui bahwa hubungannya dengan Laras berakhir tanpa kata pamit.

Jangankan pamit, maafpun tidak pernah Randi sampaikan pada perempuan itu. Padahal, dirinya adalah akar utama dari permasalahan yang Laras alami. Tapi dengan egoisnya, Randi memilih lari. Tanggung jawab yang seharusnya ia emban dengan menikahi Laras juga membesarkan anak mereka, tidak akan pernah terlaksana.

"Ayah tahu kalau kamu masih mencintai dia. Tapi, Randi, masa depanmu itu harapan banyak orang. Jangan kecewakan keluarga besar kita dengan menikah dengan gadis itu."

"Tapi, Yah, Laras begitu karena aku. Gak mungkin aku lepas tanggung jawab gitu aja. Bukannya ayah selalu ngajarin aku untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang aku perbuat?"

"Memang iya."

"Lalu, kenapa sekarang ayah nyuruh aku buat pergi ninggalin dia? Bukannya hal itu hanya akan dilakukan oleh seorang pengecut?"

Pria dengan jas hitam itu menghela napas, tangannya terulur untuk memeluk pundak sang istri yang masih terisak kecil. "Untuk sekali ini saja, jadi pengecut bukanlah masalah besar."

Begitulah, akhirnya Randi berakhir di sini. Baik nenek maupun kakek tidak tahu menahu perihal Laras. Karena pasangan suami istri lansia itu hanya tahu, Randi adalah anak baik-baik yang sellau memikirkan pendidikan. Tanpa sekalipun tertarik pada hubungan asmara.

"Bunda tahu ini susah, tapi mau gimana lagi? Ini resiko, Randi. Kamu mau mengecewakan Laras saja, atau ingin mengecewakan seluruh keluarga kita?"

Pertanyaan Bunda masih terngiang di kepala. Pertanyaan menusuk yang terpaksa ia jawab dengan kebohongan besar. Sejujurnya Randi ingin bertanggung jawab atas Laras. Menikah dengan perempuan itu, meski mereka sedang kuliah. Jika memang keluarga tidak ingin semua orang tahu, Laras bisa ajukan cuti sampai melahirkan. Tetapi, apa daya, Randi adalah laki-laki yang tidak pernah membantah aturan keluarga. Meski kadang dirinya sendiri yang menjadi korban, tidak apa. Asal mereka semua puas, urusan hati dan kesenangan bisa belakangan.

"Jauh-jauh dari Jakarta ke sini cuma buat lihatin bintang." Randi menoleh, mendapati nenek dengan mukenah yang melapisi tubuhnya.

"Nenek dari musholla?" Randi mengabaikan teguran nenek.

"Iya, nggak kayak kamu, selalu nunda shalat." Randi tersenyum getir.

"Yang penting kan dikerjain, gak harus tepat waktu juga gak papa kan?"

"Nggak papa, asal jangan ninggalin kewajiban. Dosa besar itu namanya." Randi merasakan elusan lembut di puncak kepalanya. "Nenek ke dalem dulu."

Meninggalkan kewajiban itu dosa besar. Artinya, Randi sudah dicoreng dari daftar calon penghuni surga sebab dia telah mengabaikan kewajiban besar. Meninggalkannya sendirian tanpa pamit, maaf atau bahkan pertanggungjawaban.

Ayah dan Bunda memang masih tinggal di Jakarta. Mereka hanya pindah rumah, jauh dari komplek itu agar tidak terdeteksi keberadaannya oleh siapapun. Tapi, bukankah sepandai apapun kita menutupi bangkai, akhirnya akan tercium juga kan?

Suatu saat nanti, Laras akan bisa menemukannya di sini. Memberikan entah tamparan atau tendangan keras sebagai pelampiasan. Di hari itu, Randi berjanji akan memeluk Laras seerat mungkin. Menyalurkan rasa maaf serta sayang sedalam-dalamnya pada perempuan itu. Walau Randi tidak yakin Laras akan menerimanya, tapi Randi akan tetap menunggu hari itu tiba.

"Ras, aku tunggu tamparan dari kamu."