Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 19 - Ditangkap Polisi

Chapter 19 - Ditangkap Polisi

Laras hanya diam saja ketika tubuhnya dibaringkan perlahan oleh wanita paruh baya yang sepertinya pemilik tempat ini, Ratna. Bidan ilegal yang sangat terkenal di kalangan muda-mudi Jakarta yang haus akan pengalaman. Nama Ratna akan mencuat pertama kali jika menanyakan siapa orang yang bisa mengugurkan kandungan.

Di sinilah Laras berada, pada sebuah kamar kedap suara yang hanya berisikan satu set kasur sederhana. Berdua dengan Ratna, membuatnya merinding setengah mati.

"Saya akan kasih kamu bius tapi tidak bisa menghilangkan rasa sakit sepenuhnya." Sebuah suntik dikeluarkan dari sakunya. Membuat Laras merinding, ingin segera lari dari tempat ini.

"Saya suntik, ya?" Perlahan, jarum tajam itu hendak menusuk lengan Laras, namun urung dan malah terjatuh ketika pintu tiba-tiba didobrak dengan kuat.

Brakk!!

"Jangan bergerak!!" Tiga orang polisi menodongkan pistol.

Wanita bernama Ratna itu langsung berdiri, sementara salah seorang polisi itu langsung meringkusnya. Laras sendiri tidak tahu harus apa, ia hanya diam sebelum seorang wanita menarik lengannya dengan keras. "Ayo, ikut kami!!"

"Saya gak terlibat!!" Laras berteriak saat tubuhnya diseret keluar oleh perempuan yang bernama Sindy itu. Usut punya usut, dia adalah seorang polwan yang menyamar sebagai wanita hamil untuk mengelabui petugas.

Dua mobil polisi ternyata sudah terparkir di ujung jalan setapak, tepatnya di pinggir jalan raya. Laras dapat melihat Nindy yang tengah berdiri di tepi mobil polisi, sepertinya dia sedang diinterogasi. Pantas saja ketika Laras masuk ke dalam Nindy tidak menyusul, ternyata dia sudah diamankan terlebih dahulu oleh polisi.

"Gue bilang juga apa! Jangan pernah berurusan sama hal-hal ilegal, Ras! Apalagi sampe gini, lihat sendiri kan akibatnya." Nindy terus mengeluarkan emosinya saat mereka digiring untuk masuk ke dalam mobil polisi.

"Ini kalau kita ditangkap terus terbukti bersalah, hukumannya apa, ya?" Laras mengabaikan omelan Nindy dan malah melontarkan pertanyaan.

"Sepuluh tahun kayaknya."

***

Plak!!

"Belum cukup kamu permalukan nama baik keluarga, sekarang malah mau menjerumuskan diri ke penjara? Saya benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran kamu. Kamu itu maunya apa, sih?!" Yuni berteriak keras usai menampar pipi Laras dengan kuat. Wanita itu datang dengan wajah dipenuhi amarah, lalu tanpa aba-aba mendaratkan sebuah tamparan di pipi sang keponakan. Hal itu tentu saja mendapat perhatian banyak orang, terlebih lagi para wartawan yang tengah meliput berita.

"Bi, please. Jangan di sini," mohon Laras.

"Jangan di sini apa?! Kamu malu, iya?!" Laras menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kuku jarinya tak bisa berhenti untuk melukai kulit tangannya hingga berdarah.

"Saya hanya mengikuti informasi dari internet, Pak. Selebihnya saya tidak tahu apa-apa." Laras berujar ketika polisi meminta keterangannya.

"Jadi, kamu belum melakukan tindakan itu?" Laras menggeleng.

"Lalu, apakah Saudari Ratna melakukan sesuatu pada Anda? Seperti menyuntikkan cairan atau sebagainya?" Laras menggeleng lagi

"Tadi saya sempat hendak disuntik, tetapi gagal karena polisi sudah datang." Polisi itu mengetikkan jawaban Laras di dalam komputer.

"Kenapa bisa kamu mau menggugurkan kandungan kamu?" Adalah pertanyaan yang paling sensitif sekarang. Sebisa mungkin Laras menahan getaran di tangannya. Keringat dingin yang mulai bertetesan dari dahi, juga kepala yang diserang pening. Sungguh, jika Laras tak bisa mengontrol diri, mungkin dia sudah menangis dan berteriak bak orang gila di sini.

"Saya tidak bisa menjawab." Laras berujar demikian. Daripada berujung tangisan, Laras lebih baik tutup mulut.

"Baik, setelah dianalisis, ternyata kamu hanya korban dari informasi yang beredar. Jadi, kamu bisa pulang." Laras mengangguk. Dengan sedikit gontai, ia keluar dari ruang pemeriksaan.

Nindy yang sedari tadi hanya bisa menggigit bibirnya sebab risau, kini bisa bernapas lega ketika melihat Laras keluar. Ia langsung memeluk tubuh sang sahabat, mengelus punggung tegang Laras dan berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Gak papa, semuanya udah selesai."

"Selesai dari mana?" Yuni menyela. Wanita itu berdiri dan menatap Laras dengan pandangan rendah.

"Perempuan seperti kamu ini memang tidak pernah dididik dengan baik. Sampai-sampai bisa memiliki pemikiran rendah kayak gini." Laras hanya diam saja. Ia ingin melawan, menyanggah bahwa orang tuanya, terutama sang ibu selalu mendidiknya dengan benar. Tapi ia urung membantah, sebab ini memang kesalahannya sendiri.

"Kalau saja kamu bukan keponakan saya satu-satunya, tidak akan sudi saya membayar pengacara mahal untuk menghentikan kasus kamu."

Ah, begitu. Ternyata Yuni menyewa pengacara. Pantas saja sehari selesai. Laras kira masalah ini akan berbuntut panjang hingga seminggu.

"Hari ini kamu ikut pulang, jangan menginap di rumah teman kamu. Berhenti menyusahkan orang lain, cukup saya saja yang kamu susahkan."

Laras terpaksa harus melepaskan tautan tangannya dengan Nindy ketika Yuni menyeret tubuhnya untuk segera keluar. Akhirnya, rasa itu kembali lagi. Pikiran keruh mengenai bagaimana hidupnya ke depan, nasib dirinya juga sang anak yang di ambang batas antara pergi dan bertahan.

Apakah Laras akan kembali melakukan hal bodoh seperti dulu? Seperti meminum obat dengan dosis tinggi atau menyayat tangannya dalam-dalam sampai tak sadarkan diri selama tiga hari?

***

"Kamu bodoh, sangat bodoh. Padahal kamu bisa saja manfaatkan saya untuk membantu masalah kamu. Tetapi kamu malah memilih menyelesaikan sendiri dan berujung kacau balau." Iwan berucap tegas, dengan sedikit memaki tentunya.

Yuni sudah kembali ke kantor, katanya wanita itu tidak bisa pulang malam ini sebab meeting yang harus diikuti. Jadi, hanya ada Iwan juga wanita simpanannya yang tengah asik berleha-leha, dengan kaki yang sengaja dinaikkan ke atas meja. Sementara Laras, malah duduk di lantai dengan kepala menunduk.

"Kamu mau tahu Randi di mana?" Laras kontan mendongak, menatap Iwan dengan mata melotot. "Om tahu?"

Iwan mengangguk dengan jumawa. "Mudah bagi saya untuk mencari keberadaan seseorang. Apalagi dia meninggalkan jejak yang masih ada di kota ini."

"Siapa? Apa Randi masih ada di kota ini? Di mana dia? Kasih tahu aku! Aku mau ke dia!" Laras bertanya dengan tak sabaran, ia bahkan menggoyangkan lengan Iwan yang malah berakhir ditepis menyebalkan oleh Mirna.

"Tenang, Laras. Semuanya belum berakhir, kamu jangan depresi dulu." Laras memejamkan mata untuk meredam kekesalannya yang memuncak hebat.

"Maksud Paman apa?"

"Kamu tidak perlu khawatir perihal masa depanmu. Akan ada laki-laki yang bertanggung jawab atas kamu dan calon anak kamu nantinya."

"Paman, tolong bicara yang jelas. Apa Randi akan tanggung jawab?" Iwan malah tertawa. Tawa yang terdengar sangat menyebalkan. "Sebegitu berharapnya kamu dengan Randi?" Laras jelas mengangguk mantap. Hatinya mengatakan bahwa Randi tidak akan meninggalkannya begitu saja. Dia pasti kembali.

"Jadi, kapan Randi datang ke sini untuk tanggung jawab?" tanya Laras.

"Nanti juga kamu tahu."