Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 25 - Permintaan Maaf

Chapter 25 - Permintaan Maaf

Hawa dingin terasa seakan menusuk kulit Laras. Selimut tebal yang membungkus tubuhnya juga tidak bisa menghalau dingin itu. Kepala yang pening juga tenggorokan yang terasa seperti tercekat masih dirasakannya. Bahkan ketika matanya terbuka perlahan, memperlihatkan pemandangan langit-langit kamar, yang tentunya bukan kamar miliknya.

"Kamu udah bangun, Nak?" Laras reflek memundurkan tubuhnya ketika Widia mendekat dan duduk di samping ranjang.

Selimut tebal ia naikkan hingga ke batas leher. Raut wajah penuh ketakutan masih tersemat dalam paras Laras. Membuat Widia kembali berdiri dari posisinya sekarang.

"Maaf, Tante hanya mau cek keadaan kamu. Gimana? Masih pening?" Laras mengangguk pelan. Matanya memendar ke sekeliling kamar. Masih rapih, padahal seingatnya ia telah menciptakan kekacauan dengan melemparkan gelas juga guci sebelum akhirnya tumbang.

"Maaf, ya, kalau memang Panji lancang membawa kamu ke sini tanpa seijin kamu. Dia hanya buru-buru karena ada rapat di sini tadi sore. Terpaksa dia bawa kamu ke sini dulu, niatnya dia mau langsung mengantarkan kamu ketika rapatnya selesai." Widia berusaha menyelami netra coklat gelap milik Laras. Masih tersirat trauma di sana.

Widia tahu betul, terlepas dari dirinya yang memang sempat menganyam pendidikan sebagai psikolog, dia juga tahu apa yang dialami Laras selama ini hingga berujung pada trauma dalam.

"Panji nggak akan temuin kamu, tenang aja. Sekarang kamu makan dulu, minum obat, lalu istirahat. Tante akan antar kamu pulang besok, Tante juga sudah kabarin bibi kamu." Laras meluruh, ia mulai menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya. Membiarkan Widia menyuapinya dengan telaten. Walau sebenarnya ia tidak enak dan ingin makan sendiri, tapi itu terlalu sulit karena tangan Laras masih gemetaran.

Selepas minum obat, yang tentunya dibantu oleh Widia, Laras hendak kembali tidur. Namun sebelum itu, Widia sempat memeluknya sebentar. Menghantarkan rasa hangat yang menjalar dari ketulusan ibu dari Panji ini. Entah kenapa, Laras merasa bahwa Widia menyayanginya. Terlepas dari rencana perjodohan itu.

"Selamat tidur, Laras." Widia mengucapkan itu, sebelum mematikan lampu dan menutup pintu.

Laras sempat membalas senyumnya meski samar. Rasanya, Laras ingin pindah ke mari saja.

***

Pagi hari, ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh, Laras terbangun. Ia tak lantas keluar untuk mencari Widia dan pamit pulang. Yang ia lakukan justru berjalan menuju balkon. Menyingkap gorden panjang yang menutupinya, hingga nampaklah pemandangan ibukota di pagi hari. Meski rumah Panji berada di kawasan elit, namun letaknya yang tidak jauh dari jalan raya besar membuat pemandangan sangat mudah dilihat bahkan dari balkon kamar saja.

Laras merindukan ini, ketika ia membuka mata, ia akan melihat mamah yang sudah sibuk dengan taman penuh bunga miliknya. Mamah akan menyirami semua tanaman miliknya, dari mulai berbagai bunga juga beberapa tanaman yang entah apa namanya. Sudah lama pemandangan menyejukkan itu tak dilihat Laras. Ada rindu yang menjalar di dadanya. Memberontak seolah ingin dilepas. Tapi Laras sendiri tidak tahu bagaimana caranya.

"Laras?"

Sedikit terlonjak, Laras membalikkan tubuhnya ke belakang. Ada Panji yang tengah menunduk, menatap ubin-unbin putih di bawahnya. "Ya?"

"Saya mau minta maaf." Panji beralih menatapnya dengan sorot mata penuh penyesalan. "Maaf karena saya lancang membawa kamu ke rumah saya, membawa kamu ke kamar saya. Maaf kalau tindakan saya membuat kamu takut. Lain kali, saya tidak akan melakukan sesuatu tanpa seizin kamu."

Laras membuang pandangannya. Ia tak kuasa ditatap sedemikian hangatnya. Padahal kalau dipikir lebih dalam lagi, Panji tidak bersalah apa-apa. Malah Laraslah yang seharusnya minta maaf. Untuk tidak mau fitting baju sehingga Panji harus sendirian sampai-sampai laki-laki itu terlambat rapat. Laras juga harus minta maaf karena telah melemparkan gelas juga guci yang hampir mengenai wajah Panji. Tapi, alih-alih minta maaf, Laras hanya mengangguk tanpa berucap lebih.

Entahlah, lidahnya kelu.

"Kalau kamu bersedia, kamu bisa ikut sarapan dulu dengan kami." Laras tak langsung menjawab, membuat Panji dengan cepat melanjutkan kalimatnya. "Nggak hanya dengan saya, ada mamah dan papah. Kebetulan mereka juga mau mengantarkan kamu pulang. Jadi, sekalian saja."

Hening.

Laras tak menjawab apa-apa. Hingga Panji kembali bertanya. "Kamu mau?"

"Iya, aku mau."

Suasana meja makan sangat hening. Bahkan tidak ada suara sendok yang berdenting sebab beradu dengan piring. Semuanya makan dalam senyap, membiarkan sepi melahap habis keramaian. Tidak ada yang membuka suara, sebelum Satya menenggak habis teh dalam gelasnya.

"Laras?" panggilnya. Membuat Laras segera menelan roti bakar yang tengah ia kunyah. "Iya?"

"Sebelumnya, saya minta maaf sekali. Atas perbuatan Panji yang dengan lancangnya membawa kamu ke sini tanpa sepengetahuan dan seizin kamu sendiri. Maaf, sekali lagi. Mungkin baik Widia maupun Panji sendiri sudah menjelaskan. Tapi saya mau memperjelas lagi. Bahwa memang benar, Saya menelpon beberapa kali pada Panji ketika kalian sedang fitting baju. Bukan karena apa-apa, hanya saja rekan-rekan kami sudah datang semua. Jadi, akan kurang enak jika Panji tidak ada di sini padahal dia juga bertanggung jawab atas ini." Satya menjeda ucapannya, ia melirik Panji. Di mana laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya.

"Kalau perihal Panji yang menbawa kamu ke sini, itu memang inisiatif dia sendiri. Tapi tentu saja dengan atas izin saya. Jadi, Laras, tolong maafkan saya juga Panji, ya?"

Laras sempat melirik Panji yang masih menundukkan kepalanya. Iba rasanya melihat laki-laki sebaik Panji harus diperlakukan bak pelaku kejahatan. Padahal ia sama sekali tak melakukan itu.

"Iya, Om. Saya sudah memaafkan Panji." Kalimat Laras mampu membuat Panji mengangkat wajahnya. Menatap Laras dengan sorot mata penuh kelegaan.

"Terima kasih, Laras," ucapnya dengan tulus.

"Aku juga minta maaf karena udah gak sengaja lempar Panji dengan gelas sama guci. Maaf banget, itu semua di luar kendali aku."

"It's okay, Laras. Kami mengerti apa yang kamu rasakan. Jangan merasa bersalah begitu, ya?" Widia menenangkan, ia bahkan mengelus punggung tangan Laras dengan lembut. Seolah ingin mengatakan bahwa ia tidak bersalah.

"Guci yang tadi malam aku lempar, mau aku ganti aja. Berapa harganya, nanti ak--"

"Hush! Udah, jangan pikirin guci itu. Lagian itu bukan guci penting, cuma pajangan aja. Nggak perlu dipermasalahkan, ya?"

"Jadi?" Satya menggantung kalimatnya. "Selesai, ya, ini? Laras sudah memaafkan. Jadi, Panji nggak perlu merasa bersalah lagi. Begitu, ya, Laras."

"Iya, Om."

"Ya sudah, berhubung sudah selesai semua. Sarapan juga sudah habis, jadi, ayo, Laras. Om sama Tante akan antarkan kamu pulang."

"Eh, gak usah, Om, Tante."

"Jangan menolak, sudah kewajiban kami untuk antar kamu."

"Bukan gitu, aku mau diantar pulang, tapi sama Panji."

"Hah?"