Laras menuruni tangga dengan tergesa. Sedikit berlari sebab takut jika Ratih muncul secara tiba-tiba. Juga sedikit berharap jika semesta membuatnya terjatuh dari tangga ini. Kepalanya terhantuk ke lantai, lantas mengalami amnesia. Agar ia bisa memulai hidupnya dari awal. Bebas, tanpa beban juga pemikiran-pemikiran keruh yang seringkali membunuhnya.
Dengan air mata yang sesekali masih menetes, Laras mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lagi, ia berharap jika semesta membuatnya terlibat kecelakaan beruntun hingga membuatnya kehilangan janin sialan yang kini ada di rahimnya. Atau jika memang Laras tak pantas bahagia, bolehkah ia meminta agar mati saja? Menyusul kedua orang tuanya yang sudah tenang di atas surga sana?
Sayang, meski Laras menabrak sebuah gerobak bakso, dirinya tidak mengalami cidera apapun. Bahkan sekedar kepala yang bisa saja terhantuk ke setir mobil juga tidak dialaminya. Yang ia dapat hanya caci maki dari si penjual bakso yang ditabraknya. Lantas dengan lunglai, ia keluar dari dalam mobil.
"Kamu ini nyetir sambil mabuk, ya? Lihat gak gerobak saya jadi hancur begini? Ya Allah, Nak, besok pagi saya mau dagang pakai apa kalau gerobaknya hancur begitu?"
Pria paruh baya dengan topi merah juga handuk kecil yang menggantung di lehernya itu berjongkok, meraih beberapa mangkok yang tidak pecah di bawah sana. Laras sendiri belum mengatakan apa-apa. Ia hanya diam sembari memandangi kekacauan akibat perbuatannya.
Beberapa bakso mentah yang menggelinding hingga masuk ke selokan, mangkuk-mangkuk yang pecah akibat terbentur keras pada jalan raya. Gerobak dengan cat biru tua itu juga masih tergeletak di jalan, belum dibetulkan sebab si pemilik malah sibuk membuka laci guna mengambil uang dari sana.
"Saya gantiin, berapa?" Laras bertanya langsung pada poinnya. Jujur saja, sekarang ia tengah menahan tangis. Matanya sudah berkaca-kaca, namun untungnya air mata sialan itu tidak luruh seperti biasanya.
"Kamu tanya berapa jumlah yang harus kamu ganti tanpa minta maaf? Apa itu yang diajarkan orang tua kamu?" Suara berat itu bukan berasal dari pedagang bakso. Pria itu masih memunguti uang recehan yang bertebaran di bawah sana.
"Kamu siapa?" Laras bertanya dengan nada ketus saat seorang pria muncul entah dari mana asalnya.
"Tidak perlu tahu saya siapa, yang saya tahu, kamu nabrak bapak itu dan tidak minta maaf sama sekali. Malah kamu menanyakan berapa ganti rugi yang harus kamu bayar. Nona, kamu pikir kata maaf bisa dibayar dengan sejumlah uang? Apa orang tua kamu tidak mengajarkan sopan santun?" Pria yang sepertinya seumuran dengan Iwan itu bertanya dengan nada tegas. Bak seorang ayah yang memarahi puterinya yang telah melakukan kesalahan.
Shit, Laras malah semakin ingin menangis saja rasanya. Pria itu hanya menambah rasa sesak yang mendera dadanya. Karena perawakan dari pria berjas hitam ini mengingatkannya pada Sang ayah.
"Hei, kenapa diam? Ayo minta maaf sama bapak ini," titah pria itu. Laras dapat melihat gurat ketulusan dari matanya. Bagaimana dia meraih tangan si pedagang untuk berdiri tegak.
"Maaf," kata Laras. Ia berucap dengan suara bergetar. Sedikit lagi saja, mungkin isakannya akan terdengar.
"Gak papa, Neng. Udah atuh, jangan nangis. Maaf deh kalau saya tadi marah-marah sama Neng."
Runtuh sudah pertahanan Laras. Ia berjongkok, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Meredam suara isakannya yang terdengar jelas meski suara lalu lalang kendaraan masih ramai.
"Maaf, Pak. Maaf, saya gak sengaja. Sekali lagi maaf," ucap Laras sembari menangis. Ia tidak berani untuk membuka mata. Ia masih menutup wajahnya dengan tangan.
"Maaf, Pak. Saya janji bakal tanggung jawab, tapi tolong jangan sekarang. Saya takut." Laras semakin terisak. Hingga sepertinya pria seumuran Iwan itu ikut berjongkok. Mensejahterakan wajahnya dengan Laras.
"Kamu kok nangis? Kamu takut sama saya? Tenang saja, saya tidak akan memenjarakan kamu asal kamu minta maaf." Nada bicara pria itu melembut, juga tangannya yang mengelus pelan bahu Laras yang bergetar.
"Saya takut, Om. Tolong pergi, tinggalin saya sendiri. Saya takut!!!" Pria itu hampir terjerembab ke belakang sebab Laras yang tiba-tiba berteriak.
"Kamu kenapa?!" Pria itu membelakakan matanya tatkala melihat Laras yang tiba-tiba bangkit dan kembali berjongkok di depan gerobak yang terbalik. Ia memunguti pecahan mangkuk yang berceceran. Tidak peduli dengan darah yang menetes dari tangannya, perempuan itu masih berkutat pada pecahan mangkuk. Sesekali Laras menyeka air matanya dengan tangan yang bersimbah darah.
Hal itu tak luput dari perhatian pria yang kini hanya bisa melongo di tempatnya jongkok. Menepuk sebelah pipinya, lantas mengeluarkan segepok uang dari saku jas. "Pak, ini untuk ganti rugi gerobak juga bakso Bapak yang ditabrak anak ini. Tolong segera pergi, ya, Pak. Biar saya yang tangani dia."
Pedagang itu hanya mengangguk dengan wajah pias. Ia takut melihat tetesan darah yang ada di gerobaknya. Lantas setelah menerima amplop coklat berisikan sejumlah uang, ia berlari hengkang dari sana.
"Berhenti, hei?!" Pria yang kini berada di samping Laras itu menarik tangan gadis gila yang melukai dirinya sendiri.
"Kamu ini kenapa? Tangan kamu berdarah, tapi malah diteruskan untuk membereskan mangkuk ini. Kalau kamu tidak bodoh, seharusnya kamu tahu kalau tindakan kamu ini sia-sia. Ayo bangun?!"
"Saya Satya, kalau kamu mau sebut nama saya." Pria yang mengaku bernama Satya itu menyela sebelum Laras membuka mulutnya.
"Maaf, Om. Saya minta maaf, saya pulang dulu." Laras menyeka wajahnya dengan tangan yang berlumur darah.
"Kamu mau ke mana? Hei?!" Laras tidak memperdulikan teriakan Hendra. Ia berlari cepat menuju mobilnya. Menyalakan kendaraan itu dengan tergesa lantas melaju cepat meninggalkan Hendra yang masih terus meneriakkan namanya.
Membuang napas berkali-kali lalu memukulkan kepalanya pada setir mobil adalah yang Laras lakukan sekarang. Matanya masih basah sebab air mata, juga bibirnya yang bergetar sebab isakan yang tertahan di sana. Laras juga sempat melirik spion dan menemukan wajahnya yang penuh dengan noda darah di beberapa bagian.
"Mamah?!!!"
TIN!!!
TIN!!! TIN!!!
Laras berteriak seraya memencet klakson berkali-kali. "Gak, aku gak boleh mati sekarang." Laras memperingati dirinya sendiri saat sekelebat ide gila muncul di benaknya. Untuk menabrakan mobil ini pada truk besar yang baru saja lewat.
"Oke, Ras. Gak papa, besok Randi pasti nyamperin aku dan minta maaf akibat perlakuan dia tadi. Dia juga akan bertanggung jawab atas janin yang ada di rahimnya.
"Aku gak boleh pulang dengan keadaan kacau kayak gini." Kemudian, ia meraih tisu basah yang ada di dashboard. Mengusap wajahnya dengan selembar kertas basah itu untuk membersihkan noda darah di sana. Juga pada tangannya yang masih terluka banyak.
"Aku akan baik-baik aja, selama aku percaya sama Randi."