Laras mengabaikan teriakan Nindy dari koridor. Ia masih berlari cepat menuju parkiran. Membuka dan mengeluarkan mobil milik Nindy dari sana dengan membabi buta. Karena, demi Tuhan! Apakah benar jika Randi akan pindah kampus? Lantas, kenapa dia tidak memberi tahu Laras perihal ini? Apa jangan-jangan dia hanya ingin menghindari tanggung jawab? Karena tadi malam, laki-laki itu mengatakan bahwa ia hanya ingin sendiri, untuk menenangkan dirinya. Tapi sebuah lelucon pagi ini membuat Laras kalut setengah mati.
Bagaimana jika Randi betulan pergi? Meninggalkan Laras dengan aib yang mereka perbuat berdua pada malam penuh dosa itu?
Kalau iya, apakah Laras sudah harus merencanakan di mana dia bisa bunuh diri? Atau dengan cara apa dia bunuh diri? Ah! Atau jika dirinya masih mau hidup, ia tinggal mencari dukun beranak dan minta dukun itu untuk melenyapkan janin yang ada di rahimnya?
Blam!!
"Randi!!!"
Laras berteriak kuat di depan gerbang yang tinggi menjulang. Biasanya gerbang itu dibiarkan senantiasa terbuka sepanjang hari, tapi entah kenapa pagi ini gerbang itu tertutup. Dengan gembok yang terpasang rapih pada bagian tengahnya.
"Randi!!!
"Randi, keluar!!"
"Bunda!!!"
"Bunda, ini aku, Laras!! Bunda tolong keluar!!"
Suara Laras nyaris habis sebab berteriak kuat berkali-kali. Dadanya kian sesak, tangannya mulai bergetar hebat. Air mata sudah meluruh, menuruni pipinya yang pucat tanpa polesan bedak. Laras terduduk tepat di tengah-tengah gerbang. Dengan tangan yang memegangi gembok besar itu, ia menggoyang-goyangkannya. Berharap gembok itu bisa terbuka dengan sendirinya.
"Bunda?? Laras hamil anak Randi, Bun. Bunda ke mana?" lirihnya sembari menatap kosong jalanan di depan.
Komplek rumah Randi merupakan komplek dengan suasana sepi di setiap harinya. Tidak peduli hari libur atau hari biasa, di sini selalu sepi. Penghuninya selalu sibuk di luar rumah dan pulang hanya untuk numpang beristirahat setelah lelah bekerja seharian. Jadi, jangan heran jika Laras menangis keras sampai pingsanpun, tidak ada yang peduli. Bahkan sadisnya, Laras bisa saja bunuh diri di sini. Menenggak secara bersamaan pil-pil yang ia dapat dari psikiater agar bisa melayang langsung ke neraka. Paling beruntung, jasadnya akan ditemukan dua hari setelah sekarang oleh petugas pengangkut sampah.
Puas menangis, masih dengan isakan kecil, Laras membuka tas selempangnya. Mengeluarkan ponsel dari sana, kemudian bergegas menelpon Randi.
Nomor yang anda hubungi tidak aktif.
Lima kali, operator sialan itu menjawab panggilan yang harusnya diangkat oleh Randi. Laras mendesah lelah. Tak habis akal, dia menelpon Ratih. Berharap wanita baik hati itu mengangkat telponnya dan mengatakan ada di mana mereka sekarang.
Nomor yang anda hubungi, tidak dapat dihubungi.
Shitt.
Apakah Randi sudah memberitahu bahwa Laras hamil anaknya dan mereka sekeluarga pindah ke tempat yang bahkan tidak Laras ketahui sebelumnya?
Sepertinya iya, sebab Laras tidak dapat melihat barisan kendaraan yang biasanya terparkir sembarang di pelataran. Tidak ada mobil Ratih maupun Randi, apalagi ayahnya yang jarang pulang.
Lalu, Laras harus apa?
Baru saja ia hendak mengetikan kata kunci 'dukun kandungan' di internet, namun naa Nindy juga fotonya yang lebar memenuhi layar.
"Laras, lo di mana?" Nindy langsung menanyakan Laras dengan nada khawatir.
"Ras? Lo gak papa, kan? Lo di mana? Gue mau samperin lo nih. Di rumah Randi? Gimana? Dia masih ada di rumah, kan?"
Laras tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menunduk sembari menggigit lengannya sendiri sebagai usaha untuk tidak terisak.
"Ras? Lo gak lagi nangis kan?"
Pecah sudah tangisan Laras. Dia menangis keras sembari memanggil-manggil ibunya. Hal itu membuat Nidny panik sendiri. Dengan grasak-grusuk, ia terus berteriak, menanyakan Laras ada di mana.
"Nin, gue mau ikut Mamah," lirih Laras sebelum pandangannya mulai memburam. Ia masih sempat mengucapkan nama Randi sebelum tubuhnya tumbang ke atas tanah.
***
"Kasih gue alamat rumah Randi!" Dua laki-laki yang tengah memakan nasi goreng itu hampir tersedak saat dengan tiba-tiba Nindy menghampiri mereka dengan napas yang memburu.
"Lo kenapa deh?" tanya salah satu di antara mereka.
"Gak usah banyak nanya! Cepet kasih tahu gue, di mana alamat rumah Randi!!" Nindy berucap dengan sedikit gemas, sampai-sampai wajahnya memerah.
"Emang buat apa, sih? Toh Randi juga udah pindah."
"Gak usah banyak tanya, cepet kasih tahu gue!!" Melihat wajah geram dari Nindy, salah satu dari mereka mengeluarkan ponselnya.
"Nomor lo mana? Gue share lock," katanya dengan tenang.
"Udah tuh," ucapnya setelah mengirimkan sebuah lokasi pada nomor Nindy. " Tapi, kecil banget kemungkinan buat lo ketemu Randi di sana. Karena sebelum nomornya nggak aktif, dia sempet bilang kalau udah sampe rumah barunya."
Nindy tak memperdulikannya, dia hanya berterima kasih dengan singkat lantas berlari menuju jalan raya untuk mencari taksi.
Nindy duduk dengan gelisah di belakang supir. Berkali-kali dia menelpon Laras dan berujung tidak ada jawaban. Entah apa yang terjadi pada perempuan itu, tapi yang pasti bukanlah hal baik. Nindy takut jika Laras melakukan hal bodoh yang sering dia lakukan saat mereka masih duduk di bangku SMA. Laras tidak akan ragu melakukan cutting dengan sangat dalam pada lengannya. Yang tentu saja berujung membuatnya jadi penghuni kamar rawat inap rumah sakit selama satu minggu penuh.
Sebab itu, Nindy takut Laras akan melakukan hal sama, atau bahkan lebih berbahaya daripada itu. Karena orang yang paling dia sayang pergi tanpa pamit. Kadang Nindy sangat bersyukur Randi hadir di hidup Laras belakangan tahun ini. Karena mungkin saja, jika tidak ada Randi, Laras masih akan setia bolak-balik psikiater karena keadaan mentalnya yang kadang tak stabil.
Nindy juga tahu sepenuhnya apa yang terjadi pada Laras sampai begitu. Tapi, tidak ada yang bisa Nindy lakukan selain tetap berada di samping Laras, apapun keadaannya. Karena itu pula, Nindy sangat khawatir dengan keadaan Laras saat mendengar kabar bahw orang tua dari gadis itu meninggal dunia akibat kecelakaan. Nindy pikir, Laras akan depresi. Tetapi syukur lagi, Randi tidak membiarkannya sendirian. Meski wajah Laras tak seceria dulu, tapi setidaknya dia tidak menyakiti diri sendiri.
Sekitar lima belas menit karena terjebak kemacetan, taksi yang Nindy tumpangi memasuki komplek kawasan elit. Hanya butuh sekitar tiga ratus meter dari gapura, ia sudah dapat melihat nomor rumah 31 milik Randi.
Awalnya Nindy biasa saja, karena ia pikir Laras berada di dalam. Namun ketika dia melihat tubuh Laras yang terbaring di atas tanah, tepat di tengah gerbang. Nindy langung berlari cepat menghampirinya.
"Astaga, Ras. Lo kenapa?" Ia memangku kepala Laras. Menepuk-nepuk pipinya yang pucat. "Bangun, Ras."
Nindy melotot saat melihat darah yang mengalir dari kaki Laras. Darah apa itu?