Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 3 - Pria Menyebalkan

Chapter 3 - Pria Menyebalkan

"Halo, cantikku."

Laras menoleh, hanya untuk menemukan pemandangan menjijikan di belakangnya. Tepat ketika pintu terbuka, Iwan, suami Yuni datang dengan menggeret koper. Bagian yang paling menjijikkannya ialah mereka berdua berlaku seolah tidak ada siapa-siapa di sini. Dengan semena-mena mereka melakukan adegan yang tidak patut dipertontonkan. Sebuah adegan ciuman, tepat di bibir.

Sialan.

"Eh, itu ada siapa?" Laras gelagapan saat Iwan berjalan mendekat ke arahnya.

"Hai? Kamu Laras, ya? Ponakannya istri saya?" Yang ditanya hanya mengangguk saja tanpa menjawab apapun.

Iwan, dengan jas yang disampirkan pada bahunya bersandar di lemari pendingin. Menatap gadis dengan rambut berantakan yang sedang memindahkan nasi ke atas piring. Iwan ingat siapa gadis itu, namanya Laras, entah Laras siapa kepanjangannya. Yang ia tahu hanyalah, gadis itu baru saja kehilangan kedua orang tuanya kemarin. Istrinya, Yuni, membawa gadis itu ke mari. Untuk tinggal bersama juga untuk membantu pekerjaan rumah.

"Saya minta maaf gak bisa hadirin pemakaman kemarin, gak bisa pulang soalnya." Lagi-lagi, Laras hanya mengangguk saja tanpa menjawab. Ia menghidangkan dua piring nasi goreng ke atas meja makan. Kemudian satu piring akan ia bawa ke kamar, untuk dirinya sendiri.

"Aku makan di kamar," pamitnya. Mengabaikan ucapan sok baik baik dari pria yang baru datang itu.

***

Dengan outfit serba hitam, Laras turun dari taksi yang ditumpanginya. Kakinya menapaki paving blok area kampus dengan pelan. Berjalan gontai seolah tak mempunyai semangat apapun. Memang, satu-satunya alasan mengapa ia masih mau ke kampus hanya satu, Randi. Laki-laki itu bilang agar Laras tak terus-terusan berada di rumah, ia harus ke kampus atau ke manapun agar bisa melupakan rasa sakitnya.

"Hei?" sapa Randi yang langsung menghampiri Laras ketika melihat kekasihnya berjalan sendirian.

"Ran?" Laras menatap Randi dengan sendu, sama persis seperti kemarin.

"Kenapa? Jangan nangis lagi, ya. Kan tadi malem udah janji buat gak nangis lagi." Randi menarik tangan Laras untuk digenggamnya. Mereka berdua berjalan mengitari lapangan untuk sampai ke kelas.

"Gimana bibimu? Dia baik kan?" Laras tak merespon pertanyaan Randi. Ia sangsi jika harus menceritakan bahwa bibinya sama sekali tak memperlakukan dirinya dengan baik.

"Ras? Kenapa diem? Dia jahat sama kamu?" Laras menggeleng.

"Nggak, dia baik kok. Cuma aku kurang nyaman aja, beda banget tinggal sama mamah dan papah." Laras menggunakan alibi yang cukup meyakinkan agar Randi tak curiga.

"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama aku. Aku di sini, selalu ada buat kamu." Randi berucap sangat tulus ketika sampai di depan ruangan kelas Laras. Ia menangkup wajah cantik sang kekasih, menatap dalam nayanika hitam itu dengan segudang perasaan tersirat.

"Iya," jawab Laras yang memunculkan senyum miris di bibir Randi.

"Kamu masih marah, ya, karena aku gak bisa di samping kamu setiap saat?" Laras menggeleng. Ia tahu maksud dari Randi. Laki-laki ini belum siap jika harus memasuki dunia pernikahan. Selain usianya masih muda juga finansial yang belum mantap, Randi juga memiliki segudang impian. Impian yang harus ia kejar, bukan hanya untuk bersanding di sisi Laras sebagai laki-laki tak bertanggung jawab sebab tak bisa menafkahinya.

"Nggak, Ran. Aku cuma masih sedih aja. Kemarin itu hari yang paling buruk, apa aku harus maksa senyum setelah mamah sama papah gak bisa aku lihat lagi selamanya?"

Randi tertegun.

"Maaf," ucapnya, lalu menarik tubuh Laras agar masuk ke dalam dekapannya.

"Laras?!!"

Seorang gadis dengan kacamata bulat berteriak, membuat pelukan keduanya terlepas. Gadis berkacamata bulat itu langsung meraih tubuh Laras untuk dipeluk, menggantikan Randi yang hnaya berdiri di samping mereka.

"Gue turut berduka cita, ya. Maaf banget gue gak bisa dateng karena gue juga baru pulang tadi malem." Nindya Ayuningrum, gadis yang tengah memeluk Laras dengan erat itu berucap pelan.

"Gak papa, Nin. Gimana kabar bokap lo?" Laras mengalihkan pembicaraan. Jujur saja, ia masih sangat sensitif jika ada yang membahas kepergian orang tuanya. Ia hanya tidak mau terlihat lemah dengan tiba-tiba meneteskan air mata hanya karena ucapan duka cita.

"Belum membaik, dia masih harus dirawat." Nindy berucap dengan sendu. Air muka gadis itu hampir sama seperti Laras, bedanya Laras lebih parah.

"Terus kenapa lo pulang?"

"Masa gue tega ninggalin sahabat gue sendirian." Laras tersenyum simpul. Ia tahu bahwa Nindy adalah sahabat terbaik yang pernah ia punya.

"Makasih," ucap Laras dengan sangat tulus.

Di antara semua teman Laras, hanya beberapa saja yang kemarin datang ke pemakaman orang tuanya. Mereka juga hanya memberikan ucapan duka cita, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu prosesi pemakaman selesai. Hanya Nindy yang rela jauh-jauh dari Indramayu ke Jakarta hanya agar Laras tak merasa kesepian. Walau di kota asalnya, ayah Nindy tengah sakit dan belum membaik sampai sekarang. Tapi Nindy lebih memilih untuk menemani Laras di sini.

"Nindy, gue nitip Laras, ya. Ditemenin terus kalau bisa, biar gak sedih lagi." Randi berucap yang diiyakan oleh Nindy. Laki-laki itu sempat memegang kedua lengan Laras, lalu mengecup kening gadisnya dengan hangat.

"Aku ke kelas dulu, ya. Kalau udah selesai semua kelasnya, kabarin. Pulangnya bareng sama aku, ya?" Randi mengusap lembut surai hitam Laras. Hal itu tak luput dari perhatian Nindy. Ia tahu kalau Randi itu laki-laki baik, dia menyayangi Laras dengan begitu tulus.

"Kalaupun lo masih sibuk sama himpunan, gue bakal anterin Laras pulang kok. Gue bawa mobil, dan udah bikin SIM juga. Jadi, tenang aja gak bakal ditilang lagi." Gurauan receh dari Nindy berhasil membuat Laras tertawa kecil. Tawa pertama setelah jeritan-jeritan kuat dua hari belakangan ini.

"Okey, thanks, ya, Nin. Gue pergi dulu."

***

Sore sudah tiba, senja dengan warna oranye pudar di langit sudah nampak membentang dari sudut ke sudut langit. Laras turun dari mobil Nindy, sempat melambaikan tangan sebelum Pajero itu melaju meninggalkan pekarangan. Gadis berkacamata itu benar-benar sudah membuat SIM, bahkan dia pamer kepada polisi lalu lintas tadi.

Lucu, sedikit menghibur.

Laras kembali berjalan gontai ke dalam rumah Yuni. Dalam hati, ia sudah menyiapkan mental untuk menghadapi sifat bunglon dari bibinya itu. Tapi, alangkah terkejutnya ia ketika membuka pintu utama. Pemandangan lebih menjijikan dari kemarin lagi-lagi harus tertangkap netranya. Ia langsung kembali menutup pintu, bersikap seolah tak melihat apa-apa di dalam sana. Kemudian, dengan langkah yang sedikit bergetar, ia berlari kabur dari sana. Mengabaikan teriakan Iwan yang menggema. "Hei?! Siapa itu?!!"

Laras berusaha menghempaskan pikirannya. Ia tidak bisa berpikir positif pada pemandangan di mana Iwan tengah bercumbu dengan seorang wanita. Wanita lain, bukan Yuni.