Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 5 - Americano

Chapter 5 - Americano

"Kaget? Kenapa? Bingung saya tahu darimana?" Iwan terkekeh sinis. Ia berdiri untuk meraih dagu Laras dan mencengkeramnya kuat-kuat. Tatapan bengis yang muncul pada netra Iwan membuat Laras sedikit gemetar. Demi Tuhan, ia takut pria ini melakukan sesuatu yang keji padanya.

"Kamu pikir saya sebodoh apa membiarkan salah satu aset saya berkeliaran di bar malam-malam bersama seorang laki-laki dan malah berakhir di hotel paginya?"

Alis Laras menukik. "Paman tahu darimana? Paman buntutin aku?!" tuding Laras.

Bukannya jawaban yang Laras dapatkan, malah hanya sekedar gelak tawa yang ia dapat dari Iwan juga Mirna. Kedua manusia kotor itu saling merangkul satu sama lain, tertawa terbahak-bahak seakan Laras baru saja melontarkan lelucon yang sangat lucu.

"Jadi bener paman ngikutin aku selama ini? Buat apa?"

Iwan menghembuskan nafas kasar sebelum beranjak untuk merangkul pundak Laras meski ditepis oleh perempuan itu dengan kuat. "Apa sih?!"

"Belum waktunya kamu untuk tahu apa yang terjadi di balik semuanya. Tunggu saja, pasti nanti kamu tahu." Iwan sempat menepuk pundak Laras dua kali, sebelum pria itu keluar dengan merangkul pinggang Mirna dengan mesra sembari tergelak, entah karena apa.

Setelah mereka berdua tak terlihat keberadaannya, Laras terkulai lemas di atas sofa. Menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan air mata yang hendak menetes entah untuk ke berapa kali hari ini.

"Mamah, aku takut."

***

Pada sore yang temaram, di mana langit hendak berubah warna dari yang semula biru muda menjadi jingga. Laras terduduk di atas batu besar, tepat di samping sungai dengan aliran air yang deras. Menatap bagaimana air coklat itu terus berarak, dengan berbagai macam sampah yang turut ikut serta di dalamnya. Suara gemericik air yang jatuh dari permukaan yang lebih tinggal menjadi melodi yang mengiringi syahdunya senja ini.

Sementara di bawah pohon mangga yang tak jauh dari tempat Laras duduk, Randi menatap punggung sang kekasih dengan pandangan nanar. Nyaris lirih dan berkaca-kaca kalau saja suara dari Laras tak memecahkan lamunannya.

"Randi? Ayo ke sini!" Laras sedikit berteriak sebab suaranya teredam dengan gemericik air sungai.

Randi dengan senyuman yang dipaksa untuk hadir itu akhirnya melangkah mendekati Laras. Duduk tepat di samping sang kekasih setelah mengusak sebentar surau hitam miliknya.

"Kamu ngapain, sih, minta ketemu di sini? Tumben banget, biasanya di coffe shop." Randi membuka suara, setelah mendaratkan tubuhnya di atas batu besar yang juga diduduki oleh Laras.

"Gak papa, pengen nyari suasana yang lain aja." Laras menjawab tanpa menatap Randi. Netranya menatap lurus pada langit senja berarakan awan di atas sana.

Dengan ragu, Randi menyentuh pundak Laras. "Ras? Are you okey?"

Bukannya jawaban, Laras memberikan kekehan miris. Perempuan dengan rambut sepunggung yang dibiarkan tergerai indah itu hanya melirik Randi sekilas sebelum kembali menatap senja yang kini benar-benar menampakkan pesonanya.

"Kamu ada masalah sama bibi, ya? Makanya mau cerita sama aku?" tebak Randi.

Laras kontan menggeleng, karena memang sejujurnya bukan untuk hal itu ia mengajak Randi ke mari. Bukan untuk mengadu perihal bibi juga pamannya yang ternyata bukanlah orang baik yang sempat ia kira sebelumnya. Memang dari awal, Randi sempat menebak serta mengira kalau Yuni tidaklah tulus dengannya. Namun, dengan keputusan berdasarkan wasiat dari sang ibu, Laras memastikan bahwa dirinya memang siap dan mau tinggal bersama dengan Yuni, apapun resikonya.

"Terus, kenapa?"

"Kalau ada hal besar yang terjadi sama hubungan kita, apa kamu akan tetap bertahan sama aku, atau malah pergi ninggalin aku sendiri?" tanya Laras dengan menatap lurus netra coklat gelap milik sang kekasih.

"Maksud kamu?" Randi tak paham. "Hal besar apa? Kamu nggak akan ngomong buat ninggalin aku kan? Tolong, Ras, jangan buat aku takut."

Laras dapat melihatnya sendiri. Bagaimana gurat wajah panik dengan kekhawatiran yang menggunung dari mata Randi. Hal itu cukup membuat hatinya lega. Meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sejumput ragu yang bersarang di sana. Perihal keseriusan Randi dalam hubungan mereka.

"Nggak, aku nggak akan pergi dari kamu sampai kapanpun. Justru aku yang harus tanya sama kamu, apa kamu bakal ninggalin aku kalau sesuatu terjadi di hubungan kita?" Laras kembali pada maksud awalnya.

"Sesuatu apa?"

"Jawab dulu! Kamu bakalan pergi atau ngga?"

"Nggak." Randi menggeleng tegas. Tatapan matanya penuh akan keyakinan yang sepertinya tidak mudah untuk digoyahkan. "Aku ngga akan pergi ninggalin kamu, apapun keadaan kita. Meski ada banyak hal ataupun masalah yang mengharuskan kita untuk pisah, aku janji akan terus tetap mempertahankan hubungan kita. Seperti janji aku dulu ke kamu, ketika kita mulai hubungan dengan status baru. Aku akan tetap ada di samping kamu, sebagai Randi, kekasih kamu."

Laras tersenyum terang. Senyum tulus dari sekian senyum palsu yang ia paksakan hadir beberapa hari belakangan. Lantas tanpa ragu, Laras masuk ke dalam rengkuhan Randi. Di dalam dekap hangat sang kekasih, ia mendengarkan suara detak jantung Randi yang merdu bak melodi tambahan. Pengisi bagian indah, satu-satunya untuk hari ini.

Di bawah langit senja dengan sejuta pesona, di tepi sungai dengan aliran deras. Mereka berdua berpelukan dengan hangat.

***

Di jalan pulang, di mana Laras sendirian sebab ia memaksa Randi untuk pulang duluan. Laras menendangi batu-batu kecil yang ada di jalan yang ia tapaki. Sebagai pelampiasan rasa kesal sebab momen romantis mereka harus usai sebab sebuah telpon dari ketua organisasi tempat Randi bernaung dengan sebutan himpunan.

"Americano less sugar, one shoot, ya." Laras berucap pada seorang barista saat ia masuk ke dalam coffe shop langganannya.

Sembari menunggu pesanan siap, Laras duduk di samping table di mana para barista berdiri untuk membuat kopi. Memainkan ponselnya untuk menghilangkan rasa bosan, walau akhirnya ia hanya menatap kosong ke sekitar.

"Atas nama siapa, Kak?" Suara seorang barista membuyarkan lamunannya.

"Ah? Oh, Laras."

Laras berdiri dari duduknya, membuka clutch bag untuk mengambil kartu debit dari sana.

"Ini, Kak."

Baru saja Laras mengulurkan tangan, hendak mengambil satu cup kopi pesanannya. Namun, agaknya ia kurang cepat sebab sebuah tangan dari belakang mendahului pergerakannya. Mengambil cup kopi milik Laras kemudian menaruh selembar uang berwarna merah di atas table.

"Maaf, Mas. Itu pesanan kakaknya," ucap si barista pada seorang laki-laki yang mengambil cup Laras.

"Iya, itu punya saya. Lagian kamu tahu peraturan gak? Pesan dulu, baru ambil. Jangan menyerobot pesanan orang." Laras berucap dengan nada sebal. Ia bahkan memekik saat dengan tidak tahu dirinya laki-laki itu menyedot kopi pesanannya. "Hei?!"

"Saya ambil ini. Karena americano bukan minuman yang tepat untuk orang yang belum makan sejak tadi malam." Laki-laki itu berucap santai sebelum beranjak meninggalkan Laras sendirian.