Laras melongo ketika laki-laki si perebut americano miliknya itu malah melenggang tanpa rasa bersalah. Dia mengabaikan teriakan sang barista perihal uang kembaliannya. Sementara Laras, ia mengernyit dalam. Siapa dia? Kenapa dia berucap seolah-olah tengah menjaga Laras dari sakit lambung sebab americano itu?
"Itu cowok siapa, sih?" gerutunya.
"Maaf, Mbak, mau diganti aja pesanannya?"
"Ah, gak usah, Mbak. Saya pulang aja." Laras berdiri, sedikit mengangguk kala barista perempuan tadi mengucapkan maaf padanya.
Pada pelataran parkir, Laras sempat mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sedikit berharap agar ia bisa menemukan laki-laki perebut americano miliknya tadi. Karena sungguh, sejujurnya Laras akan senang sekali jika ada yang mengingatkannya perihal kesehatan. Seperti tadi, kata laki-laki itu, americano bukanlah minuman yang bagus untuk orang yang belum makan dari kemarin malam. Memang benar adanya, Laras sama sekali belum makan setelah membereskan segala kekacauan yang dibuat Iwan. Entahlah, dirinya terlalu malas bahkan hanya untuk menyentuh mie instan.
Alis Laras sedikit bertaut ketika menatap ke seberang jalan raya. Seorang laki-laki dengan pakaian sama seperti orang yang telah mengambil kopinya. Laki-laki itu tengah berdiri di samping mobil, berbicara dengan beberapa orang di sana. Awalnya, Laras merasa tidak ada yang aneh pada orang itu. Namun ketika dia melemparkan cup kopi ke dalam tong sampah, kontan Laras memaki.
"Gila! Ngapain rebut pesananku kalau akhirnya dibuang ke tong sampah?!" Sayang, suaranya teredam oleh suara lalu lalang kendaraan.
Penghujung hari ini, Laras habiskan dengan berjalan menuju rumah. Melewati banyak tikungan juga perempatan. Sesekali ia menendangi bebatuan kecil di depannya untuk menghilangkan rasa pegal yang melanda kakinya sebab berjalan terlalu jauh.
Tapi tak apa, karena sekali lagi. Setelah orang tuanya tidak ada, semuanya juga akan berubah. Tidak akan ada lagi yang sama. Jika awalnya Laras adalah orang yang sering mengeluh sebab lelah berjalan kaki dari kelas sampai parkiran kampus, sekarang ia malah akan menyukai ritual berjalan kaki ke mana-mana. Bukan sebab Yuni yang melarangnya untuk mengemudikan mobil, sekali lagi, ditegaskan, semuanya telah berubah. Pun dengan kebiasaan-kebiasaan yang dulu sering dilakukan, sebisa mungkin Laras hilangkan.
Sebab, separuh jiwanya telah hilang. Ikut dikuburkan di dalam tanah bersama dengan jasad kedua orang tuanya.
***
Sudah tiga hari terhitung Laras tinggal di rumah Yuni. Kini, perempuan itu sudah sedikit terbiasa dengan segala perintah menyebalkan baik dari sang bibi maupun paman. Meskipun sebisa mungkin ia mengindari Iwan, namun tetap saja. Kewajibannya untuk menuruti segala perintah pria sialan itu harus tetap dikerjakan.
Seperti pagi ini, dengan berat hati Laras harus membuang waktunya yang berharga hanya untuk membuatkan secangkir kopi untuk paman tersayangnya.
Ha! Kalimat terakhir adalah kebohongan belaka.
"Kamu nanti makan siang mau di mana? Aku susul deh," ucap Yuni pada Iwan.
Semenjak tinggal di sini, Laras jadi tahu kalau bibinya adalah tipe perempuan yang sangat berlebihan jika mencintai seseorang. Seperti, dia rela menunggu suaminya sampai pulang meski sudah lewat larut malam hanya agar tidak melewatkan makan malam bersama. Padahal, tanpa ia duga, suaminya telah menghabiskan waktu untuk makan malam bersama wanita lain.
Ironi.
Kadang ada sedikit rasa iba jika melihat bagaimana tulusnya cara Yuni mencintai Iwan. Namun, rasa iba itu hilang begitu saja saat melihat perlakukan Yuni padanya. Laras membiarkan kebohongan yang terjadi dalam rumah tangga Yuni dan Iwan. Karena, ia menegaskan prinsip baha di sini ia hanya numpang tinggal. Ia tidak perlu mencampuri urusan apapun mengenai keduanya. Bahkan termasuk perselingkuhan yang ia ketahui.
Laras mengantarkan secangkir kopi ke meja makan. Hidungnya mencium aroma rendang yang sangat pekat di sana. Rendang adalah makanan favorit mendiang ayahnya, mustahil jika ia membenci makanan lokal itu. Tapi entah apa yang terjadi pada dirinya sekarang, ketika dengan reflek ia menutup mulutnya dengan kedua tangan sebab mual yang tiba-tiba melanda lambungnya.
Ia berlari cepat untuk memuntahkan segala isi perutnya di wastafel. Terkulai lemas, Laras sedikit bangkit untuk mencuci wajahnya yang penuh dengan keringat dingin.
"Kenapa kamu?" Laras nyaris melemparkan kotak sabun ketika suara Yuni mengejutkannya.
"Kenapa muntah? Kamu gak suka rendang?" tanya wanita itu sembari menghampiri Laras. Matanya terus menelisik wajah Laras. Tatapannya seolah menginterogasi sang keponakan.
"Nggak papa kok, mungkin maag aku kambuh karena belum makan nasi dari kemarin malam." Laras menjawab asal, berharap Yuni segera keluar dari kamar mandi ini sebab sungguh, dirinya kembali dilanda mual yang hebat.
"Ya udah, habis saya berangkat, makan!"
Blam!!
Begitu pintu tertutup, Laras kembali memuntahkan isi perutnya hingga tubuhnya benar-benar lemas.
"Aku kenapa?" tanyanya pada diri sendiri.
Ada setitik kecemasan di dadanya sekarang. Perihal malam di mana peristiwa yang tak diharapkan terjadi. Dari mulai hari itu, Laras selalu menekan kuat-kuat rasa takut dalam dirinya. Sebisa mungkin ia berpikir positif jika malam itu tidak berakibat apapun pada hidupnya. Namun, harapannya pias.
Dengan tangan bergetar, Laras meraih ponselnya yang tergeletak di samping wastafel. Menekan beberapa nomor sebelum menempelkan benda persegi itu ke telinganya.
"Halo? Kamu di mana? Aku mau ketemu nanti siang habis kelas." Laras langsung berucap pada poin pentingnya saat telponnya tersambung. Ia menggigit bibirnya keras-keras untuk menghindari getaran. Getaran yang akan terjadi ketika ia ketakutan.
"Kamu gak bisa?" Suara Laras melirih, ia nyaris saja meneteskan air matanya karena mendengar jawaban yang tak ia harapkan.
"Kamu bisanya kapan? Aku tunggu sampai kamu bisa, aku free class hari ini. Tolong, aku mau ketemu, aku takut sendirian." Runtuh sudah pertahanan Laras. Ia menangis dengan isakan tertahan, masih dengan ponsel yang tersambung pada seseorang.
"Kamu bisanya malam? Oke, aku yang ke rumah kamu. Jangan ke mana-mana, tunggu aku."
Selepas sambungan terputus, Laras menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Meredam isakan sesak yang sedari tadi ia tahan.
Sumpah demi Tuhan, ia benar-benar takut. Kekalutan setelah hari itu, kembali terasa. Keringat dingin yang terus mengalir, juga air mata yang kunjung berhenti menetes. Bibirnya yang bergetar meski sudah susah payah digigit, lalu bayangan-bayangan buruk yang bisa saja terjadi nanti.
Mamah, aku takut. Batinnya menjerit.
Lantas dengan tangan yang masih gemetar hebat, kembali ia buka ponselnya. Sebuah aplikasi berwarna hijau dibukanya. Menunggu driver mengambil pesanannya, Laras berharap cemas. Matanya melebar saat ada yang menerima pesanannya. Kemudian, ia mengetikan sesuatu di kolom pesan untuk driver. Ia sedikit menggigit jari sebelum mengetikkan beberapa huruf di sana.
'Tolong belikan testpack, dengan tiga merek berbeda. Saya tunggu di taman sekitar rumah saya.'
Selepasnya, Laras menangis hebat. Tanpa peduli dengan erangannya yang terdengar keluar.