Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 4 - Sebuah Perselingkuhan

Chapter 4 - Sebuah Perselingkuhan

Sekitar sepuluh detik lamanya, Laras hanya diam mematung dengan mata yang menatap ke depan. Di mana seorang pria dengan kemeja yang kancingnya terbuka semua tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita. Memang bukan masalah jika wanita itu adalah bibinya sendiri, tapi yang ada di depannya ialah seorang wanita asing dengan penampilan persis bak perempuan bayaran yang sering Laras temui di bar.

Mari deskripsikan bagaimana penampilan wanita itu. Dengan dres maroon ketat, rambut curly di bagian ujung dan diwarnai hijau. Jangan lupakan wajahnya yang full make up. Sepertinya wanita itu seumuran dengan Yuni. Tapi jelas, Yuni jauh lebih baik dari wanita yang kini masih direngkuh erat oleh Iwan.

Laras sedikit berdecih, daripada menegur kedua manusia kotor di depannya itu, Laras lebih memilih pergi. Maka dengan sangat berhati-hati, ia kembali menutup pintu dengan sangat pelan hingga tak menimbulkan suara. Namun sayang, Laras tidak tahu jika tepat di balik samping pintu terdapat sebuah pot bunga besar. Sial menimpa, sikunya tak sengaja menyenggol pot itu hingga jatuh.

Trak!!

Pot berisi tanaman kaktus berukuran sedang itu pecah hingga menimbulkan suara. Laras kontan memekik pelan, dan alangkah paniknya ia ketika mendengar teriakan Iwan dari dalam rumah.

"Siapa itu?!"

Jantung Laras rasanya berdetak tidak karuan, kemudian dengan langkah lebar ia mulai berlari menjauhi pintu secepat yang ia bisa. Namun, sayang seribu sayang, Iwan sudah terlanjur keluar dari dalam. Dia mengejar Laras ketika perempuan itu hendak meraih gerbang. Dihentikannya pergerakan sang ponakan dengan menahan tangan Laras yang hendak menyentuh gembok gerbang.

"Mau ke mana kamu?" Suara berat yang Laras benci terdengar sumbang di telinganya. Rasanya ia ingin berteriak di depan Iwan bahwa dirinya sama sekali tidak takut. Tapi lagi-lagi Laras dibuat tak berkutik saat Iwan mencengkeram erat dagunya hingga ia mendongak.

"Kamu pasti sudah lihat saya di dalam kan?" tanya Iwan dengan disertai desisan pelan.

Laras menggeleng kuat, berharap cengkeraman di dagunya terlepas. "Nggak! Aku gak lihat apa-apa."

"Bohong!" tuding Iwan. "Kamu pasti sudah lihat. Kalau belum, kenapa kamu harus kabur ketika saya berteriak?"

"Aku nggak kabur!" Laras masih berusaha mengelak. Ia juga terus-menerus menarik tangannya yang ditahan oleh sang paman. "Lepasin! Aku mau pergi!"

"Kamu pikir, setelah kamu lihat saya dengan keadaan tadi, saya akan biarkan kamu pergi?" Iwan tersenyum miring. Senyum yang menyeramkan kalau di mata Laras.

"Ayo anak manis, ikut sama paman."

Begitu saja, Iwan menyeret tangan Laras agar mengikuti langkahnya supaya kembali masuk ke dalam rumah. Mengabaikan teriakan juga pemberontakan dari keponakannya ini. Iwan memang sudah menebak jika lambat lain Laras akan mengetahui perbuatan bejatnya di belakang Yuni. Tapi Iwan juga tidak menyangka kalau Laras akan memergokinya secepat ini. Bahkan mereka baru bertemu tadi pagi.

Ketika Laras sudah masuk ke dalam, alangkah terkejutnya ia saat melihat keadaan rumah yang begitu berantakan. Tadi dirinya hanya melongok dari pintu, sehingga hanya mendapati sekilas dari ruang tamu. Di mana sang paman sialannya itu tengah bercumbu mesra di atas sofa.

Banyak kulit kacang dan kuaci yang berserakan di mana-mana. Botol alkohol yang dibiarkan tergeletak di atas meja yang jumlahnya tak hanya satu. Belum lagi puntung rokok yang berhamburan di atas lantai, berserakan dan bercampur dengan kulit kuaci juga kacang. Bagian paling menyebalkan adalah Laras melihat beberapa peralatan make up yang tergeletak di atas sofa. Lipstik, bedak, parfum, dan beberapa benda lainnya yang sudah dapat dipastikan adalah milik wanita simpanan Iwan.

"Ini anaknya?"

Pandangan Laras beralih, dari yang semula menatap ke bawah, kini menatap pada seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya masih setengah basah, namun Laras dapat melihat jejak di bibirnya kalau mereka telah melakukan hal yang tidak pantas.

Menjijikan, pikir Laras. Rasanya ia ingin mengumpati wanita yang kini duduk di sofa, menopang dagunya di atas lutut sembari menatap Laras dari atas ke bawah.

"Kamu keponakannya Yuni? Yang orang tuanya kemarin mati itu, ya?"

Kontan alis Laras menukik. "Meninggal, bukan mati. Karena orang tua saya adalah manusia, bukan hewan."

Wanita yang kini tengah mengoleskan lipstik pada bibirnya sembari berkaca itu menghempaskan tangannya ke udara. Gestur yang menunjukkan bahwa ia tak peduli dengan ucapan Laras. "Halah! Sama aja."

Iwan dengan tidak tahu dirinya kembali duduk di samping wanita itu. Merangkul pinggangnya dengan erat serta menciumi leher si wanita hingga Laras membuang pandangannya ke arah lain. Sungguh, menjijikan sekali pamannya ini. Ia memang selalu beranggapan baik Yuni maupun Iwan bukanlah kerabat yang baik, namun tidak pernah ia duga kalau Iwan adalah salah satu pria hidung belang yang rela menghamburkan uang hanya demi membayar wanita murahan seperti ini.

"Saya sama Mas Iwan mau pergi ke mall, shoping gitu. Kamu mau nitip apa? Ah, ya, sebelumnya nama saya Mirna. Saya simpanan paman kamu, jadi cukup panggil saya Tante saja."

"Gak nanya," cetus Laras. Ia hendak beranjak masuk ke dalam kamar sebelum suara Iwan menghentikan langkahnya.

"Mau ke mana kamu?"

"Kamar. Kenapa?" Meski Iwan bukanlah sosok paman yang baik, tetapi sebisa mungkin Laras berusaha bersikap sopan padanya. Karena bagaimanapun juga, Iwan adalah walinya sekarang. Pengganti papah meski sifatnya jauh berbeda layaknya bumi dan langit.

"Kenapa masuk kamar? Kamu mau bibimu tahu kalau saya baru saja membawa Mirna ke sini?"

Laras mengernyit tak mengerti dengan ucapan Iwan. "Maksudnya?"

"Ya beresin dong, kamu ini bodoh atau malas sih?" Mirna mencela. Dengan lipstik semerah darah, wanita itu berucap sinis pada Laras.

"Kenapa harus aku yang beresin? Kalian yang buat kacau, kalian juga lah yang harus tanggung jawab. Kenapa malah nyuruh aku?" tanya Laras dengan nada sengak.

"Hei! Kamu kira, Yuni bawa kamu ke rumah ini untuk apa kalau bukan untuk dijadikan pembantu gratis?" Iwan berucap dengan nada meremehkan.

Laras tak bergeming karena memang ia juga berpikir demikian mulai dari tadi pagi. "Aku gak mau! Paman aja yang beresin, kalau nggak, aku akan laporin ke bibi!" ancam Laras yang malah mendapat respon gelak tawa yang sangat puas dari pria yang berstatus sebagai pamannya itu.

"Kamu pikir Yuni akan percaya begitu saja pada bocah kemarin sore dibandingkan dengan saya, suami tercintanya?" Iwan berdiri, ia melangkah menghampiri Laras.

"Dengar anak manis, kamu ini masih kecil. Jadi, nurut saja dengan ucapan saya. Saya suruh bereskan, ya, bereskan. Jangan sampai saya bocorkan rahasia kamu dengan pacarmu itu yang menginap dan melakukan hal terlarang di hotel, beberapa minggu yang lalu."

Laras mematung. Dari mana Iwan tahu perihal peristiwa di malam itu?