Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 2 - Sebuah Keputusan Berat

Chapter 2 - Sebuah Keputusan Berat

Laras menggeret koper besarnya dengan lemah, ia berbalik ke belakang, menatap rumahnya yang akan ia tinggalkan dalam jangka waktu panjang. Di samping Laras, ada Randi yang juga membantu kekasihnya membawakan dua tas besar. Keputusan Laras sudah bulat, ia akan melakukan amanat dari ibunya agar tinggal bersama sang bibi di rumah wanita itu.

Sementara Randi, ada sekelebat risau yang terus hadis tatkala dirinya membantu Laras untuk mengemas. Entah dari mana risau itu berasal, tetapi tebakannya ialah saat Yuni menawarkan untuk tinggal bersama. Randi tak ingin berburuk sangka pada bibi dari gadisnya, tetapi ia selalu menemukan kejanggalan jika wanita itu datang.

"Kamu antar aku sampe ke rumah bibi kan?" tanya Laras. Suaranya serak nan lirih sebab terlalu banyak menangis. Matanya memang sembab tapi ada binar di netra kelam itu. Seolah meminta Randi untuk tidak membiarkannya tinggal dengan wanita yang berstatus sebagai bibinya itu.

"Iya."

Dua koper sedang dan juga dua tas besar sudah diletakkan di dalam ruangan yang akan menjadi kamarnya nanti. Laras hanya berdua di kamar ini, dengan Randi yang selalu setia berada di sampingnya sejak kemarin.

Laras duduk di atas ranjang yang tidak terlalu empuk ini. Netra coklatnya memendar, menatap sekeliling kamar dengan warna abu-abu yang mendominasi. Sangat tidak masuk ke selera Laras, karena gadis itu penyuka warna-warna cerah. Tapi sepertinya mulai hari ini, ia akan pindah haluan dengan menyukai warna gelap. Ya, gelap. Segelap hidupnya.

"Kamarnya kayak ngasih suasana murung," ucap Randi yang juga ikut menatap sekeliling kamar. "Mau ganti warna cat gak? Besok aku cariin warna yang kamu suka. Mau warna apa? Biru? Atau pink?" Laras menggeleng lemah.

"Aku suka warna gelap mulai sekarang."

"Loh, kenapa?"

"Hidupku udah gak secerah dulu, Ran. Warna-warni itu hilang, bersama dengan kepergian mamah dan papah." Laras mengatakannya dengan nada sendu. Namun kini tak ada lagi air mata yang menetes dari pipinya.

"Hei, hei." Randi berjongkok. Menatap wajah Laras yang menunduk dalam. Ia menyentuh pipi dingin sang kekasih, lantas mengusapnya dengan sangat lembut. Seolah pipi itu akan hancur jika ia mengusapnya terlalu keras.

"Aku di sini, Ras. Aku akan selalu ada di samping kamu. Terlepas dari kepergian mamah dan papah, warna-warni indah itu akan selalu ada. Kalaupun sekarang hilang, besok aku janji bawakan yang baru." Randi berucap dengan tulus.

Laras menatap netra kelam milik Randi. Warna netra yang sama seperti milik ayahnya. Tangannya terulur untuk menyentuh rambut hitam berantakan di depannya. Mengusapnya dengan penuh perasaan bersalah. Ini akibat dari dirinya. Biasanya, rambut Randi akan selalu tertata rapih. Namun sejak kemarin, yang ia lihat hanyalah surai berantakan yang tak kunjung dirapihkan.

"Kamu temani aku sampe tidur, ya? Aku takut sendirian," pinta Laras yang langsung diangguki oleh Randi.

***

Pada mimpi buruk sepanjang malam, Laras berteriak kuat. Ia menjerit saat bayangan mamah fan papahnya lenyap disapu udara putih. Senyum sumir yang sempat hadir di wajah keduanya sama-sama hilang tanpa sisa. Membuat Laras terisak kuat, bahkan sampai ke alam sadar.

"Kamu kenapa nangis terus dari kemarin?!!!" Laras terlonjak. Bukan karena wajah kedua orang tuanya yang kembali muncul dengan wujud berbeda, melainkan karena teriakan dari pintu juga cipratan air yang mengenai wajahnya sampai basah.

"Hah?!" Laras melotot kaget melihat Yuni dengan kemeja juga jas yang dikenakan. Bukan karena wanita itu terlihat lebih muda dari biasanya, tetapi karena gayung di tangannya juga raut wajah penuh amarah.

"Bibi kenapa?"

"Kenapa kamu bilang?!" Alis Yuni menukik ke bawah. "Kamu dari kemarin nangis terus, sampe tidur juga masih nangis. Cengeng!" Laras melotot.

"Maksud bibi apa?!"

"Maksud saya? Berhenti jadi anak yang lemah. Kamu hanya kehilangan dua orang tua kamu, bukan hidup kamu. Jadi stop nangis kayak orang paling menderita di dunia ini, dan cepat siapkan sarapan karena saya lapar."

Butuh waktu sekitar dua menit bagi Laras untuk mencerna apa yang terjadi di sini. Mungkin ia akan terus hanyut dalam keheranan yang panjang jika cipratan air tak lagi mengenai wajahnya. "Heh! Malah bengong, siapin sarapan, cepet!"

Setelahnya Yuni keluar, dengan membanting pintu dengan keras juga umpatan-umpatan tidak jelas yang keluar dari bibirnya. Mengabaikan ribuan pertanyaan yang bersarang di kepala, Laras beranjak bangun dari tidurnya. Melangkah keluar hanya untuk menemukan Yuni yang bertolak pinggang menatapnya, juga sorot marah dari netranya.

"Siapkan dua porsi nasi goreng yang enak, suami saya mau pulang jam delapan nanti." Laras yang masih syok, hanya mengangguk saja tanpa menjawab apapun.

Laras sempat melamun beberapa detik ketika ia melihat bagaimana keadaan dapur rumah ini. Banyaknya piring dan gelas kotor yang dibiarkan menumpuk bak gunung, bumbu-bumbu dapur yang berserakan, juga minyak goreng kotor yang tak kunjung dibuang.

Naas.

Laras memang tak pandai memasak, tapi sepertinya nasi goreng bukanlah hal yang dapat mengalahkannya. Lantas dengan sedikit ragu, ia mulai memotong-motong bawang. Memasukkan minyak ke penggorengan lalu mencampurkan nasi ke atasnya.

"Bodoh!!" Laras terlonjak kaget hingga spatula yang dipegangnya jatuh mengenai kaki. "Aww!!" Spontan ia mengangkat kaki kanannya yang terkena spatula, panas sekali rasanya.

"Kamu itu kurang pinter atau memang bodoh?! Seharusnya bawang dulu kamu goreng, kenapa malah nasi dulu?!" Laras terdiam. Ia menunduk sembari menahan sakit pada kakinya akibat spatula tadi.

"Kamu diajarin apa aja sama ibumu sampai-sampai buat nasi goreng saja gak becus?!" Laras langsung mendongak saat nama ibunya disebut. "Maksud bibi apa?!"

"Saya pikir ibu kamu perempuan yang baik, tapi ternyata nggak. Ngajarin masak aja dia gak sempet," ucap Yuni sembari menaburkan bawang yang sudah dipotong ke atas wajan.

Laras masih belum merespon. Ia benar-benar tidak paham dengan Yuni. Apakah bibinya ini memiliki kepribadian ganda sehingga sering berganti-ganti sifat dalam hitungan detik?

"Bibi kenapa sih?" Laras akhirnya berani untuk menyuarakan isi hatinya.

"Kenapa? Saya gak papa. Saya cuma bersikap selayaknya tuan rumah di sini. Kamu ini tamu, sudah sepantasnya kamu berlaku baik di sini."

"Berlaku baik aku bisa, tapi untuk jadi pembantu, aku gak mau!!"

"Heh!!" Laras mundur tatkala spatula panas itu menunjuk wajahnya. "Kamu itu gak punya siapa-siapa lagi, jadi jangan banyak tingkah dan selesaikan ini cepet!!" Mendengus, Laras mengambil kembali spatula itu. Mengaduk nasi dengan kesal sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Ngaduknya biasa aja!! Jangan pakai emosi!" Yuni menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Laras hendak mematikan kompor sebelum suara berat dari seorang pria terdengar dari pintu depan. "Halo, cantikku."