"Lo mau gue nyemperin rumahnya cewek belagu itu?"
Caca menggeleng. Ia tidak menyuruh Serena untuk menemui Reva. Caca butuh bantuan dari teman-temannya Serena.
"Enggak Serena. Gue mau minta tolong sama temen-temen lo buat nyari tau soal Reva," ujar Caca membuat Serene mengernyit.
"Kan tadi gue udah bilang kalo Reva tinggal di tempat yang lumayan creepy. Gue nggak ada kenalan anak-anak hero kayak yang lo punya."
"Maksud lo yang bisa berantem?" tanya Serena yang diangguki Caca.
"Lo udah pikun ya?" Serena menatap heran temannya tersebut. "Noah lo kemanain? Kan lo berdua deket tuh, Noah juga anak motor."
"Anak buah dia lebih banyak dari pada gue. Jago berantem juga."
"Gue nggak mau minta tolong sama Noah," kata Caca.
"Kenapa?"
"Entar Noah balik jadi anak nakal lagi. Gue nggak mau dia kayak gitu lagi, Ser" jawab Caca merasa ngeri jika mengingat sikap Noah saat masih menjadi anak motor.
"Ca, nggak semua anak motor itu nakal. Jangan hanya karena mereka suka berantem atau ngerokok terus bisa dikatakan sebagai anak yang nggak baik," ujar Serena sedikit menurunkan intonasi suaranya.
"Coba lo inget-inget waktu pertama kenal gue. Lo sendiri tau kalo gue anak nakal di sekolah. Sering bolos, bully anak yang lemah, seragam juga sering nggak lengkap. Tapi sekarang? Lo coba nyari tau tentang gue, dan lo akhirnya menemukan jawabannya kenapa gue bersikap buruk di sekolah."
Caca terdiam. Ia mengingat betul bagaimana dulu dirinya sangat ingin mengetahui seperti apa Serena sebenarnya. Seringkali Caca mudah memutuskan untuk melakukan sesuatu pada orang lain. Tapi di sisi lain, Caca masih kesulitan untuk mengambil sebuah keputusan yang berkaitan dengan orang-orang yang dekat dengannya. Seperti halnya dengan anggota keluarganya sendiri.
"Percaya sama gue. Noah pasti punya alasan kenapa dia masuk geng motor. Gue yakin Noah bukan tipe anak nakal yang masuk geng cuma buat numpang pamor," kata Serene berusaha meyakinkan Caca.
"Jadi … lo nggak mau nolongin gue, Ser?" tanya Caca tampak lesu.
"Gue bakal tolongin lo. Asalkan lo nggak lagi nganggap buruk sama anak-anak geng motor," jawab Serena mengajukan satu penawaran.
Caca berpikir sejenak untuk mempertimbangkan penawaran dari Serena. Namun tidak lama setelah itu Caca mengangguk. Ia akan berusaha untuk tidak menganggap buruk pilihan yang diambil oleh Noah.
"Btw, lo tau darimana kalo Noah anak geng motor?" tanya Caca.
"Temen gue banyak yang dari anak geng motor. Pangkat Noah sekarang ngebuat semua anak geng motor tau siapa itu Noah," jawab Serena terlihat membuat Caca mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalo aja gue nggak kenal sama lo, udah gue sebar rahasia Noah dari dulu-dulu."
"Emang lo mengerikan banget kok, Ser. Gue aja heran kenapa lo bisa tau segalanya. Sampai-sampai lo juga tau kalo gue deket sama Noah," heran Caca.
"Gue juga tau kalo lo sama Noah punya hubungan yang lebih dari sekedar temen," kata Sandra tampak menaikkan sebelah alisnya.
"Lo pasti keturunan peramal ya, Ser?" tebak Caca semakin merasa takjub dengan kehebatan Serena.
"Bukan lah," jawab Serena. "Gue tau dari temen-temen gue. Mereka tiap kali lihat anak Taruna pasti langsung lapor ke gue. Padahal gue sama sekali nggak minta."
Sebenarnya Serena dan Edwin itu memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama banyak relasi dan memiliki sebuah kelompok yang menurut Caca terdengar menakutkan. Hanya saja, Caca sudah berhasil membuat Serena taubat dan tidak mempergunakan kekuasaannya untuk hal buruk.
"Jadi, gue harus ngelakuin apaan?" tanya Serena meminta penjelasan.
"Cukup awasi Reva dari jauh. Pokoknya jangan sampe Reva tau kalo gue lagi ngawasin gerak-gerik dia," ujar Caca.
"Oke," kata Serena. "Tapi lo harus janji bakal ngasih tau rencana lo ini sama Noah. Dia ada hal buat tau urusan lo, Ca. Kalo gue nggak salah tebak, Reva punya relasi yang cukup kuat dan bisa nyerang musuhnya kapan aja."
Caca mengangguk paham. Meski tidak sekarang, Caca akan mencari waktu yang tepat untuk menceritakan rencananya pada Noah. Secepatnya.
***
Motor ninja milik Xavier malam ini ia gunakan untuk menemaninya mencari udara segar. Setelah menghantarkan bingkisan untuk saudaranya, Xavier tidak langsung pulang ke rumah. Ia terlalu bosan jika hanya berdiam diri di rumah sendirian.
Terlihat mengenaskan bukan? Padahal Xavier memiliki Reva—yang bisa dikatakan jika Reva adalah pacar Xavier. Namun pada kenyataannya, Xavier sering merasa dirinya kesepian di saat Reva tidak dapat ia hubungi.
Terlebih akhir-akhir ini hubungannya dengan Reva terbilang renggang. Beberapa kali Xavier terlihat mengacuhkan diri saat berpapasan dengan Reva. Dan sepertinya, Reva tidak merasa tersinggung dengan sikap Xavier.
Tinnn!
Hampir saja Xavier kehilangan kendali saat ada motor besar tiba-tiba menyalipnya. Tidak hanya itu saja. motor Xavier sengaja ditendang dan membuat Xavier menghentikan mesin motornya. Xavier membuka helm dan turun dari motor untuk menghampiri orang yang barusaja mengganggunya.
"Maksud lo apa?!" tanya Xavier dengan suara tegas.
Laki-laki dari balik helm fullface berwarna hitam tersebut tampak tersebut. Ia kemudian membuka helm yang menutupi wajahnya dan membuat Xavier terkejut.
"Kenapa? Kaget lihat gue di sini?" tanya Edwin dengan senyum miring.
"Nggak mutu banget," sahut Xavier. "Maksud apa gangguin gue?"
"Nggak usah sok polos. Gue ke sini mau ngasih pelajaran buat lo," Edwin mendorong tubuh Xavier dengan keras.
"Gue nggak ada waktu buat ngelayanin cowok pengecut kayak lo," kata Xavier sambil berlalu pergi dari hadapan Edwin.
"Lo yakin mau pergi?" tanya Edwin namun tidak membuat Xavier menoleh.
"Meski Caca yang gue jadiin taruhan?" Edwin tersenyum miring saat berhasil membuat Xavier berhenti.
Tidak. Kali ini Xavier tidak bisa pergi begitu saja. Xavier terlihat membanting helmnya, mendekati Edwin dan meraih kuat-kuat kerah baju laki-laki tersebut.
"Nggak usah bawa-bawa Caca!" tegas Xavier.
"Kenapa? Nggak tega Caca gue apa-apain?" tanya Edwin sengaja memancing emosi Xavier.
"Jangan berani-berani gangguin Caca kalo lo masih mau hidup." Xavier balik mengancam.
"Emang lo siapanya Caca?" tanya Edwin. "Cuma pacar settingan itu nggak usah sok jagoan. Lo nggak lebih dari sekedar cowok biadab yang beraninya mainin perasaan perempuan."
"Nggak beda jauh juga sama yang sering gue lakuin!"
Bugh!
Xavier memukul keras rahang kanan Edwin hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Bisa berantem juga ternyata," kekeh Edwin. "Gue kira cowok cupu kayak lo cuma bisa—"
"Bisa apa?!" tanya Xavier. "Harusnya lo itu tobat sama kelakuan bejat lo selama ini. Masih mending gue ngeluarin lo dari sekolah secara baik-baik."
"Dan lo pikir dengan ngeluarin gue dari sekolah bakal ngebuat gue tobat?" sinis Edwin menatap Xavier. "Big No!"
"Target gue adalah ngedapatin Caca seutuhnya. Selagi gue belum bisa dapatin Caca, apapun bakal gue lakuin," kata Edwin tampak sering.
Xavier tampak berjalan ke arah Edwin. "Bajingan busuk kayak lo nggak pantas buat Caca."
"Cowok pengecut kayak lo juga nggak pantas buat Caca!" seru Edwin.
"Bangsat! Berani lo ngatain gue lagi?" Xavier kembali menarik kerah Edwin dan hampir memukul cowok tersebut.
"Gue tanya sama lo," kata Edwin. "Lo suka sama Caca? Cinta sama dia? Udah nggak cinta lagi sama Reva?"
Xavier terdiam. Sedikit menjauhkan dirinya dari Edwin. Namun tetap memasang muka datarnya.
"Enggak semua kan? Lo nggak suka sama Caca dan masih suka sama Reva," ujar Edwin menyudutkan Xavier.
"Caca itu masih available. Boleh dimiliki siapa aja termasuk gue," Edwin mempertegas posisi Xavier saat ini.
"Lo nggak ada hak buat ngelarang gue ngedeketin Caca. Selagi lo masih suka sama Reva, jangan berani halangin gue buat dapatin Caca. Ngerti?"
Edwin tersenyum sinis kemudian berjalan menjauhi Xavier dan kembali menaiki motornya. Sebelum Edwin memakai helmnya, ia menundanya sebentar untuk mengucapkan sesuatu pada Xavier.
"Anak buah gue banyak, Xav. Beruntung gue di sini sendirian. Kalo ada anak buah gue yang lihat kelakuan lo tadi, lo bisa mati di tangan mereka malam ini juga," kekeh Edwin terlihat menertawakan Xavier.
Benar-benar hari yang sial. Xavier merasa kalah telak dengan ucapan Edwin. Tidak-tidak. Xavier tidak akan membiarkan dirinya ditertawakan oleh laki-laki busuk seperti Edwin. Bagaimana pun caranya, Xavier akan mengalah Edwin dan balik menertawakan seperti yang baru saja Edwin lakukan padanya.
***
"Xavier ada di kelas nggak?"
Reva yang baru saja sampai di depan kelas Xavier, tidak sengaja melihat Noah dan Romeo yang sedang duduk di depan kelas.
"Nggak ada," jawab Romeo. "Dari tadi Sapien nggak ada di kelas."
"Terus? Xavier ada dimana?" tanya Reva.
"Mana gue tau. Lo tanya aja sendiri, kan dirimu ceweknya Sapien," Romeo sebenarnya malas menjawab pertanyaan Reva. Tapi ia masih punya hati dan tidak tega untuk mengabaikan pertanyaan seseorang begitu saja.
Sedangkan Noah? Tidak ada yang bisa diharapkan dari cowok tersebut. mulut Noah hanya akan bicara jika dia sedang dalam mood yang baik.
"Enggak dibales. Gue udah coba chat dari tadi tapi belum di-read sama Xavier," kata Reva sambil mengecek isi pesannya pada Xavier.
"Coba lo chat lagi. Kalo dichat lo aja nggak bales, apalagi dichat sama gue? Apalah dayaku yang hanya teman simpanan sajaaa," ujar Romeo membuat Reva menggeleng pelan.
"Bantuin gue cariin Xavier dong," pinta Reva.
"Enggak deh. Gue nggak mau," tolak Romeo malas. "Sapien kalo tiba-tiba ngilang gini pasti lagi nggak mau diganggu. Entar gue malah kena marah kalo nyamperin dia."
"Xavier lagi ada masalah? Kok pake acara ngilang kayak gini?" heran Reva.
"Kan elu yang lebih deket sama Xavier. Harusnya lo lebih tau dong soal Sapien. Kalian berdua kan sering nempel kayak perangko," sahut Romeo sambil mengunyah cimol pemberian Mbak Jum.
"Akhir-akhir ini gue lagi sibuk, jadi kadang nggak sempet bales chatnya Xavier," kata Reva memberitahu kondisinya.
"Nah itu dia. Marah mungkin Sapien sama lo. Gara-gara dicuekin sih," komentar Romeo asal-asalan.
"Ih, tapi Xavier belum pernah ngilang kayak gini. Ya … maksudnya, Xavier pasti fast respon kalo gue chat," Reva mulai merasa curiga dengan sikap Xavier.
"Kan elo duluan yang slow respon sama chatnya Sapien, dapat azab tuh! Azab karena jadi sider sama chatingan cowoknya sendiri," kekeh Romeo membuat Reva berdecak kesal.
"Seriusan ih."
"Kagak mau gue seriusan sama lo. Gue maunya sama Sandra. Meskipun galak tapi dia hatinya mah tulus."
"Lo mau bilang kalo hati gue nggak tulus?" tanya Reva, membuat Romeo mengedikkan bahunya.
"Gue beneran tulus suka sama Xavier. Asal lo tau aja—"
"Kalo tulus kenapa nggak mau ketemu emaknya Sapien?" potong Romeo. "Lo itu udah buat Sapien kecewa tau. Sadar dong Rev kalo Sapien ngelakuin semua ini buat lo."
"Dia mati-matian berjuang, tapu elunya cuma diem-diem doang terus terima uang gratisan."
"Hati-hati kalo ngomong. Gue nggak pernah minta uang dari Xavier," kata Reva.
"Iya nggak minta. Tapi lo pasti nerima uang pemberian Sapien. Sama aja buung dung," sahut Romeo lagi.
"Semua itu bukan urusan lo. Jadi nggak usah ikut campur," peringat Reva.
"Iyee tau. Gue juga mager ngurusan cewek orang, ngurus gebetan sendiri aja gue masih kewalahan."
"Yaudah diem."
"Lah Bambang. Elu yang daritadi nyerocos terus. Mulut gue beneran lagi males ngomong. Tapi karena gue nggak tega aja sama elu jadi gue jawab ocehan lo seadanya," tutur Romeo diakhiri helaan napas panjang.
Merasa kesal dengan jawaban Romeo, Reva beralih memeriksa ponselnya. Kembali mengirim pesan pada Xavier namun ponsel milik laki-laki tersebut ternyata sedang tidak aktif.
"Xavier dimana sih? Kenapa dari tadi hp-nya nggak aktif?" kesal Reva.
"Lagi ngapel."
Noah yang sejak tadi diem akhirnye mengeluarkan suaranya. Membuat Romeo bersyukur karena tidak lagi harus menjawab pertanyaan Reva. Romeo yakin setelah mendnegar jawab Noah akan membuat Reva pergi dari hadapannya.
"Maksud lo gimana? Xavier lagi ngapel gimana sih?" tanya Reva bingung.
"Ngapelin cewek lah. Gitu aja nggak tau," ejek Noah.
Reva tampak menggeleng. "Nggak mungkin. Orang gue di sini kok. Gimana ceritanya Xavier pergi buat ngapelin cewek, sedangkan gue sendiri belum ketemu Xavier sejak pagi tadi."
Noah tersenyum sinis. Meletakkan ponselnya ke dalam saku, dan beralih menatap wajah Reva yang sedang berdiri di hadapannya.
"Nggak tau?" pertanyaan Noah sukses membuat Reva kebingungan.
"Sekarang, bukan cuma lo cewek yang diprioritaskan sama Xavier. Ada cewek lain yang lebih Xavier perhatikan dan emang lebih pantas dapat perhatian dari Xavier," Noah mengakhiri ucapannya dengan senyum miring yang membuat Reva merasa kesal.
Tanpa pikir panjang, Reva bergegas pergi dari hadapan Noah dan Romeo. Berjalan mendekati ruang kelas yang letaknya tidak jauh dari kelas Xavier. Sampai di depan kelas tersebut Reva tampak mengintip dari balik jendela kelas.
Saat itu juga Reva melihat laki-laki yang sejak tadi ia cari-cari sedang berbicara serius dengan perempuan lain. Tatapan Xavier kali ini membuat Reva merasa panas. Tidak suka melihat Xavier manatap perempuan lain seperti halnya Xavier menatapnya.
"Nggak bisa dibiarkan. Lo udah kelewatan ngerebut kebahagiaan gue."
***