"Aku belum bisa nemenin kamu tanding besok. Nggak papa, kan?"
Reva menatap Xavier yang duduk di hadapannya. Sejak tadi Xavier hanya diam dengan tatapan kosong. Sama sekali tidak memperhatikan ucapan Reva.
"Xavier!" panggil Reva dengan suara yang lebih keras.
Xavier menoleh dengan satu alis terangkat. Belum juga mengeluarkan suaranya. Ada beberapa hal yang sedang Xavier pikirkan saat ini.
"Ngelamunin apaan?" tanya Reva.
"Nggak ada," jawab Xavier namun tidak langsung membuat Reva percaya. "Bohong banget. Kamu pasti lagi mikirin sesuatu, kan?"
Tentu saja iya. Xavier sedang memikirkan tentang pertandingan besok, mempertanyakan kapan Reva akan mengajak Xavier untuk melihat rumahnya, kapan Reva akan mau Xavier ajak menemui mamanya, dan Xavier juga memikirkan tentang perempuan yang hari belum ia temui barang sedetik pun.
"Mikirin besok bisa menang apa enggak," Xavier terpaksa berbohong pada Reva.
Percuma saja Xavier mengatakan jujur, jika ia harus kembali kecewa karena Reva tetap akan menolak ajakannya dengan banyak alasan.
"Pasti menang, Xav" kata Reva penuh keyakinan. "Aku belum pernah tuh lihat kamu segalau ini karena mau tanding. Xavier yang aku kenal itu pasti selalu optimis dan engga murung kayak ini."
Xavier tersenyum singkat. Menyadari jika Reva masih pandai menyanjungnya. Tapi aneh, Xavier tidak lagi merasa sangat bahagia atau tersanjung karena pujian dari Reva. Ia hanya merasa … biasa-biasa saja.
"Emm, Xavier. Sebenarnya aku minta ketemuan itu karena aku mau …"
"Udah aku transfer," kata Xavier sebelum Reva melanjutkan ucapannya. "Kamu bisa tanya sama pengurus panti dan minta bukti sama mereka."
Reva tampak tersenyum ke arah Xavier. Sebelum senyum itu berubah menjadi wajah yang lesu dan penuh rasa bersalah.
"Maaf ya, selama ini aku ngerepotin kamu terus," kata Reva dengan suara pelan. "Aku janji, besok kalo aku udah dapat pekerjaan tetap aku pasti bakal ganti semuanya ke kamu."
Xavier ikut tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Walau sebenarnya, yang Xavier harapkan dari Reva bukanlah dalam bentuk uang yang sering Xavier berikan. Cukup dengan Reva mau ia bawa ke hadapan mamanya sudah membuat Xavier bahagia dan merasa lega.
"Aku antar kamu pulang," kata Xavier membuat Reva mendongak.
"Sekarang? Tapi kita baru sepuluh menit di sini," sahut Reva.
Memang masih sebentar. Biasanya Xavier dan Reva akan bertemu dan mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Dan dulu-dulu, Reva lah yang biasa mengakhiri pembicaraan dan mengajak pulang.
"Aku lupa kalo ada urusan yang harus aku selesaikan sekarang," ujar Xavier menjelaskan pada Reva.
"Ada urusan sama siapa?" tanya Reva lagi.
"Temen," jawab Xavier seadanya. "Ayo pulang sekarang."
Xavier sudah berdiri terlebih dahulu. Kemudian disusul Reva, dan keduanya berjalan bersama keluar dari café.
***
Lagu dengan judul Pura-Pura Lupa yang dinyanyikan Mahen terdengar memenuhi sudut minimarket. Entah siapa yang sengaja memutar lagu mellow seperti ini di saat kondisi luar sedang hujan deras.
"Rasanya punya pacar itu gimana sih?" Caca mulai bermonolog dengan dirinya sendiri.
Tidak. Sebenarnya ada Dela di samping Caca, tapi Caca tidak berniat menanyakan hal itu pada Dela.
Kadang ada waktu dimana Caca sering memikirkan hal-hal konyol dan tidak masuk akal. Mungkin di saat Caca sedang terlalu banyak pikiran atau justru sedang tidak memiliki pikiran sama sekali.
"Nggak enak, Ca" jawab Dela sambil memakan es krim.
"Semua orang yang pernah pacaran pasti bilang gitu," heran Caca. "Gue belum pernah pacaran jadi enggak tau rasanya kayak gimana."
"Nggak udah pacaran, langsung nikah aja," sahut Dela membuat Caca menggeplak lengan temannya tersebut.
"Sakit tau, Ca! Main pukul-pukul aja," sungut Dela.
"Makanya jangan asal ngomong," seloroh Caca kembali memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya.
"Mana ada gue asal ngomong. Nikah itu sunah dan dapat banyak pahala tau, Ca," timpal Dela mengatakan sebuah fakta yang ia ketahui.
"Tapi gue belum pengin nikah. Geli tau kalo ngomongin soal nikah-nikah gitu," ujar Caca tampak bergidik ngeri.
"Kalo Xavier yang ngajak lo ngomongin soal nikah, lo juga nggak mau nyaut? Apa lo bakal mukul Xavier kayak yang lo lakuin barusan sama gue?" tanya Dela penasaran.
"Nggak bakal banget Xavier ngomongin kayak gitu sama gue. Ada juga dia ngomongin soal nikah sama Reva," sahut Caca.
"Takdir nggak ada yang tau, Ca. Sekarang emang Reva yang menang, tapi besok? Atau mungkin lima sampai sepuluh taun ke depan? Bisa jadi lo yang tinggal serumah sama Xavier dan tidur seranjang sama dia," tutur Dela semakin heboh.
Caca tampak mengedikkan bahunya. Ia sendiri juga tidak tau takdir hidupnya akan seperti apa. Siapa laki-laki yang nantinya akan jadi pendamping Caca pun Caca tidak tau.
"Buruan pulang gih," kata Dela.
"Masih jam setengah sepuluh," Caca melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Besok lo ada tugas nyemangatin Xavier. Gue nggak mau nonton muka kusut lo gara-gara kurang tidur," Dela mengingatkan Caca kalau besok adalah acara pertandingan basket antara SMA Trisakti dengan mantan sekolah Dela.
"Gue udah ijinin lo, jadi mending lo sekarang buruan pulang. Mumpung hujannya udah lumayan reda."
Caca tersenyum lebar kemudian memeluk Dela sangat erat. "Makasihhhhh Delaaa cantiqqqq! Gue doain lo dapat cogan yang lebih ganteng dari Xavier. Amiiiin!"
"Gue susah napas woyyy!!!" seru Dela melepas paksa pelukan Caca.
"Sorry-sorry," kekeh Caca. "Gue balik sekarang ya? Hati-hati lo sendirian di sini, jangan sampe kesambet loh."
"Lo pikir gue lagi ngelakuin ritual? Pake acara kesambel segala. Udah sana pergi, keburu hujan lagi," usir Dela yang dihadiahi acungan jempol oleh Caca.
Setelah memasukkan ponsel ke dalam slingbag miliknya, Caca berlalu keluar dari minimarket. Selagi di tempat kerja, Caca tidak membawa banyak barang. Kecuali saat pagi harinya akan ulangan, biasanya Caca akan membawa buku pelajaran ke tempat kerja.
"Astaghfirullah!"
Hampir saja Caca menubruk seseorang kalau ia tidak segera mengerem kedua kakinya. Baru saja Caca akan meminta maaf, ia terkejut saat tau bahwa orang yang berada di hadapannya adalah Edwin. Kakak kelas yang saat ini sedang Caca hindari.
"Ma-maaf Kak," lirih Caca. "Saya permisi dulu," sambung Caca kemudian bergegas pergi dari hadapan Edwin.
Tidak peduli jika diluar masih hujan, Caca tetap berlari untuk menuju ke halte. Saat berangkat kerja tadi, Caca diantar oleh Sandra. Harusnya Caca memesan ojol dulu, tapi karena ia terlalu takut melihat wajah Edwin, membuat Caca tidak dapat berpikir jernih.
Siang tadi Caca mendengar kabar kalao Edwin baru saja dikeluarkan dari sekolah. Kalau Caca tidak salah dengar, Edwin sudah memeras banyak siswa untuk tutup mulut supaya kejahatannya selama ini tidak terbongkar. Mengetahui jika perilaku Edwin sangat mengerikan, terlebih jika berkaitan dengan perempuan membuat Cac sangat ketakutan.
Terlebih Caca ingat jika Edwin sempat menaruh perasaan padanya. Caca merasa takut karena ia pikir jika dirinya juga akan menjadi target Edwin. Membayangkannya saja membuat Caca bergidik ngeri. Tidak lagi-lagi Caca ingin melihat wajah Edwin apalagi sampai berurusan dengannya.
***