"AKU MEMANG PENCINTA WANITA, NAMUN KU BUKAN BUAYA. DI SETIAP ADA SERIBU GADIS, KU HANYA MENCINTAI SANDRAAA!"
Noah menutup kedua telinganya dengan airpods supaya tidak mendengar suara cempreng Romeo. Bisa-bisanya Romeo bernyanyi begitu keras sedangkan banyak pengunjung café yang duduk di sekitarnya.
"Berisik," kata Xavier memberikan tatapan sinis pada Romeo.
"Salah mulu gue, Sap. Kapan benernya coba?" heran Romeo lalu meminum kopi yang ia pesan.
"Tukar tambah otak dulu," kata Xavier. "Biar otak lo lebih waras."
"Enak aja lo ngatain otak gue nggak waras. Emak bapak gue itu dulu juara kelas tau! Berarti otak mereka nggak usah diraguin lagi," papar Romeo masih dengan suara keras.
"Yang pinter itu nyokap bokap lo. Bukan elo," ujar Xavier.
"Tapi kan gue anaknya. Bambang banget sih lo," kata Romeo.
"Terus kapan lo pernah dapat juara kelas?" tanya Xavier, membuat Romeo menyengir. "Dulu waktu SD. Juara tiga dari belakang."
Xavier menggelengkan kepalanya. Sudah tidak heran lagi mendengar ocehan Romeo yang terdengar sangat absurd. Enggan menanggapi ucapan Romeo lagi, Xavier beralih ke Noah yang sedang fokus membaca buku. Tanpa meminta ijin terlebih dulu, Xavier melepas airpods yang menutupi telinga Noah.
"Apa?" tanya Noah terdengar malas. Ia sangat benci jika ada orang yang mengganggu aktivitas membacanya.
"Minta alamatnya Edwin," jawab Xavier.
"Buat apa?" Noah bertanya karena merasa penasaran. Tentu ada hal yang akan Xavier lakukan dengan Edwin.
"Nggak papa," kata Xavier sama sekali tidak sesuai dengan pertanyaan Noah. "Gue bisa cari tahu sendiri."
Setelah itu Xavier kembali memalingkan wajahnya dari Noah, dan memperhatikan ponsel di tangannya. Sangat aneh. Noah merasa ada yang berbeda dari sikap Xavier.
Tidak biasanya Xavier mau ikut campur urusan orang lain. Dari awal Noah mengenal Xavier, temannya tersebut sangat cuek dengan lingkungan sekitarnya. Xavier hanya akan peduli pada sesuatu yang memang penting menurutnya.
"Lo mau ngasih pelajaran sama Edwin, Xav?" tanya Romeo. "Kasih aja deh biar dia kapok. Kalo gue bisa bela diri, udah gue bejek-bejek muka mesumnya."
"Bukan kayak gitu cara ngasih pelajaran yang benar," kata Noah mengomentari.
"Tapi cara itu yang mau gue lakuin," sahut Xavier membuat kedua temannya menoleh serempak.
"Kalo dengan cara baik-baik nggak bisa. Berarti dia minta diladenin pake cara kasar."
Romeo berdecak kagum. "Udah lama gue nggak denger lo bilang kayak gini, Xav"
"Bilang apa?"
"Lo mau piu-piu sama si Edwin kan?" tanya Romeo dengan kedua tangan mengepal seolah sedang meninju.
"Dulu pernah," kata Noah. "Pas Reva di-bully sama kakak kelas yang sekarang udah lulus."
"Ngimpi apa lo Xav jadi pengin berantem lagi?" Romeo kembali bertanya. "Gue masih inget banget gara-gara Xavier berantem pas kelas sepuluh, dia dimarahin sama nyokapnya sampe nggak dikasih uang jajan sebulan."
"Lo mau nggak dikasih uang jajan lagi? Jangan dong, Xav. Entar kalo dompet lo kering, nggak ada yang ngasih gue traktiran cimol."
"Traktiran terus pikiran lo. Pantesan nggak pernah dapat juara kelas," sindir Noah.
"Yaudah sih gausah pake nyindir-nyindir gitu. Mentang-mentang lo dapat juara kelas terus jadi sombong," cetus Romeo kesal.
"Kalo emang ada yang disombongin kenapa enggak?" sinis Noah membanggakan diri.
"Jangan lupa besok lo kasih rekaman itu ke guru BK," Xavier menunjuk rekaman yang berada di dalam tas Noah.
"Kasih tau gue kalo lo sibuk. Biar gue gantiin yang kasih ke guru."
"Otak lo habis disambet apaan?" heran Noah, membuat Xavier mengernyit. "Tumben banget lo mau bantuin OSIS."
"Kenapa? Nggak boleh?" tanya Xavier.
Noah menggeleng. "Cuma heran aja sama. Nggak biasanya lo gercep kayak gini ngurusin anak nakal. Ada dendam apa antara lo sama Edwin?"
"Nggak ada," jawab Xavier singkat.
"Nggak mungkin," sahut Noah. "Lo bukan orang yang suka ngambil keputusan tanpa alasan."
"Terus menurut lo gue punya alasan apa?"
"Karena Caca pasti," timpal Romeo blak-blakan. "Edwin kan suka sama Caca. Xavier pasti nggak mau tuh Edwin ngapa-ngapain Caca. Makanya dia gercep pengin ngasih pelajaran ke Edwin."
"Bener karena Caca?" tanya Noah memastikan. "Lo cemburu lihat Caca sama Edwin?"
"Nggak," elak Xavier.
"Terus? Kenapa lo mau ngasih pelajaran ke Edwin? Ada urusan apa antara lo sama dia?"
"Nggak ada."
"Lo suka sama Caca, kan?" tebak Noah membuat Xavier menatap tajam ke arahnya.
"Jatuh juga," kekeh Noah. "Baru tau kalo Caca ternyata bisa buat lo nyaman?"
"Omongan lo nggak jelas," ujar Xavier. "Gue pulang dulu. Udah ditunggu sama Mama."
Xavier beranjak pergi dan berjalan keluar café. Sedangkan Noah, terlihat menyunggingkan senyum miring di wajahnya. Merasa bahwa dirinya memang benar-benar akan mengalami kekalahan.
"Selamat, Ca. Sebentar lagi mimpi lo bakal terkabul."
***
"REVAAA!"
Merasa namanya dipanggil membuat Reva menoleh. Kedua matanya membelalak sempurna melihat kedatangan Caca di hadapannya.
"Hai!" sapa Caca dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Karena bosan di rumah sendirian, Caca memutuskan untuk mendatangi Reva. Mumpung Noah sedang tidak mengawasinya, Caca jadi bisa bergerak bebas.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Reva terlihat tidak suka dengan kedatangan Caca.
"Nyamperin lo lah," jawab Caca santai. "Hebat kan gue, bisa nemuin tempat persembunyian lo."
Reva terkekeh pelan mendengar ucapan Caca. "Lo nggak seharusnya ada di sini."
"Emangnya kenapa? Gue cuma pengin main ke rumah lo," kata Caca.
"Rumah gue nggak nerima tamu," sahut Reva. "Mending lo pergi dari sini sekarang."
"Jangan gitu dong. Gue udah jauh-jauh datang ke sini, masa lo usir gitu aja sih," Caca tampak memberenggut kesal.
"Gue nggak nyuruh lo datang. Dan kita berdua nggak ada urusan apa-apa," ucap Reva hendak pergi namun segera dicegah oleh Caca.
"Tunggu bentar. Gue mau tanya sesuatu sama lo," kata Caca mulai sadar jika Reva tidak bisa diajak bercanda.
"Lo kenapa nggak ngasih tau Xavier soal tempat ini?" tanya Caca sambil melirik ke sekitar lingkungan rumah Reva.
Terasa sangat horror. Banyak bangunan tua dan pohon-pohon yang Caca tebak umurnya juga sudah tidak muda lagi. Suasana yang sepi menambah tempat ini terasa menyeramkan.
"Bukan urusan lo," kata Reva.
"Iya gue tau. Tapi kalo lo nggak nyembunyiin semua ini, hubungan lo sama Xavier pasti bakalan lebih baik. Terus juga pasti dapat restu dari Tante Tiana." Ungkap Caca memberikan pendapat.
"Jangan sok tau," sinis Reva. "Lo cuma ngungkapin argumen lo aja. Nggak ada yang bisa ngejamin gue sama Xavier bakal dapat restu cuma karena gue ngasih tau Xavier soal rumah gue."
"Setidaknya Tante Tiana udah nggak penasaran lagi sama identitas lo, Rev" sahut Caca.
"Apa dengan tau identitas gue ngebuat dia jadi ngerestuin hubungan gue sama Xavier?"
Caca mengangguk mantab. "Pasti Rev pasti. Lo coba dulu bicara baik-baik sama Xavier, habis itu baru lo temui Tante Tiana."
"Otak lo dangkal banget," ejak Reva membuat Caca mengernyit.
"Lo pikir gue bakal percaya sama omongan cewek yang suka sama cowok yang juga gue suka? Kita itu rival. Selamanya gue nggak bakal nurutin saran konyol dari lo."
Caca sama sekali tidak menyangkan jika Reva menganggapnya sebagai musuh. Dari dulu Caca justru sudah merasa kalah jauh dari Reva, dan tidak lagi mau bersaing dengannya. Caca memilih untuk mencintai Xavier sendirian dengan tidak merusak kebahagian Xavier dengan perempuan pilihannya.
"Pergi sekarang juga. Tempat ini nggak cocok buat lo," usir Reva untuk yang kedua kalinya.
"Dengerin gue dulu, Rev" Caca kembali mencekal tangan Reva. "Lo harus percaya kalo Xavier bakal ngedukung keputusan lo. Dia nggak bakal marah kalo lo ngomongin hal ini baik-baik. Kalo lo perlu bantuan, gue bisa—AWWW!"
Tangan Caca membentur plang besi yang sudah berkarat dan menimbulkan luka di lengannya.
"Gue nggak butuh bantuan dari lo. Ngerti!" tegas Reva kemudian beranjak pergi dari hadapan Caca.
Dengan terpaksa, Caca harus pulang dengan tangan kosong. Hari ini ia gagal meyakinkan Reva. Tapi hari berikutnya, Caca pastikan ia akan berhasil meyakinkan Reva dengan cara apapun.
***
Caca manatap sedih pesan yang dikirimkan oleh pembina paskib di sekolahnya. Wajahnya tampak lesu dengan kedua bahu yang melorot ke bawah.
"Mohon maaf Caca, dengan sangat terhormat kami mengeluarkan Caca dari tim paskib SMA Trisakti sesuai dengan laporan yang dikirimkan oleh orangtua kamu. Tetap semangat Caca!"
Mana bisa Caca semangat jika ia harus keluar dari paskib sebelum sempat ikut lomba. Padahal Caca sudah bercita-cita dari kecil ingin menjadi anggota paskibra nasional. Tapi sekarang, ia justru harus keluar dengan sangat mengenaskan.
"Xavier sialan!" gerutu Caca menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.
Caca pikir Xavier tidak akan melakukan hal sejauh ini. Ucapan Xavier tempo hari, justru hanya Caca anggap sebagai gurauan saja.
"Hati-hati sama Xavier. Dia nggak pernah main-main sama ucapannya."
Sepertinya Caca harus lebih mempercayai ucapan Noah. Besok-besok ia tidak akan lagi menganggap remeh apa yang diucapkan oleh Xavier.
"Huwwaaaa! Gara-gara lo cita-cita gue jadi terbengkalai! Kesel kesel kesel!" seru Caca sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
Ariel dan Sandra yang melihat hal tersebut tampak bingung. Tidak habis pikir mengapa Caca tiba-tiba bersikap heboh seperti ini.
"Caca berisik deh. Cuma keluar dari paskib nggak bakal ngebuat masa depan lo suram, Caca" kata Ariel menanggapi.
"Hih! Tapi, kan, gue dari dulu pengin banget jadi anggota paskib nasional Arieellll," rengek Caca seperti anak kecil.
"Emang nyokap lo ngasih laporan apa, Ca?" tanya Sandra.
"Nggak ada ngasih laporan apa-apa," jawab Caca mebuat Sandra mengernyit.
"Orang yang ngelaporin itu bukan Mama. Dulu aja pas gue ijin ikut paskib, Mama ngedukung banget kok."
"Terus, yang minta sama Pembina buat ngeluarin lo dari paskib siapa?" Sandra kembali bertanya.
"Bokap lo mungkin, Ca. Bisa jadi Noah yang ngelaporin," sahut Ariel.
Caca menggeleng cepat. "Bukan. Bukan Papa juga."
"Terus siapa?" tanya Sandra dan Ariel serempak.
Caca ingin menyebutkan nama Xavier, tapi ia sedang tidak mau membahas cowok tersebut. Lagi pula, Caca juga belum memastikannya pada Xavier. Jadi Caca belum berani menyebar berita yang belum pasti.
"Eh, tangan lo habis kena apaan? Kok kayak ada bekas obat merah," tanya Ariel baru menyadari jika ada luka di tangan kanan Caca.
"Kegores plang besi yang udah berkarat. Tapi udah nggak sakit lagi kok," jawab Caca tidak mau membuat temannya khawatir.
"Dapat luka itu dimana?" tanya Sandra.
"Deket rumahnya Reva," jawab Caca santai, namun membuat kedua temannya mendelik.
"Lo pergi ke rumah Reva? Sendirian?" tanya Sandra dan diangguki oleh Caca.
"Gilak! Kok lo nekat banget sih, Ca. Di sana tempatnya bahaya tau. Kalo lo kenapa-napa gimana coba?" heran Ariel melihat tingkah temannya.
"Lo bisa lihat kalo sekarang gue nggak kenapa-napa, kan? Gue masih sehat wal afiat juga," ujar Caca
"Tangan lo bisa kayak gitu karena jatuh apa karena di dorong sama Reva?" tanya Ariel penuh selidik.
"Reva pasti nggak suka lo ada di sana," timpal Sandra. "Dia ngusir lo dari rumahnya, kan?"
Caca mengangguk lesu. Teringat jika misi pertamanya gagal. Sia-sia saja Caca kemarin pergi ke rumah Reva.
"Reva nganggap gue musuh dia," kata Caca. "Dia nggak mau percaya sama omongan gue, karena gue suka sama Xavier."
"Kelihatan banget kalo Reva nggak suka sama gue," lirih Caca.
"Nggak usah sedih, Ca. Cuma dimusuhi sama Reva itu nggak bakal ngebuat lo rugi. Temen-temen lo masih banyak kok," sahut Ariel.
"Gue punya niat baik sama Reva. Tapi kenapa justru kayak gini yang gue terima?" heran Caca mengingat perilaku Reva.
"Masih mau menemui Reva lagi?" tanya Sandra yang memiliki sikap lebih dewasa.
Caca mengangguk. "Gue belum bisa berhenti sebelum tau kenapa Reva ngelakuin kebohongan ini. Dan gue juga udah janji sama Tante Tiana kalo bakal ngenalin Reva ke beliau."
Sandra paham jika Caca bukan tipe orang yang mudah melalaikan janji yang sudah ia buat. Caca akan berusaha semaksimal mungkin supaya bisa mendapatkan yang ia inginkan.
"Kasih tau gue kapan pun lo butuh bantuan. Jangan jalan sendirian, ada banyak kaki dan tangan yang mau ngebantu lo," tutur Sandra memberi menepuk pelan pundak Caca.
"Siappp bos!"
***