"WOY MATEMATIKA KOSONG!!! YOK PARTYYY!!!"
Riuh suara siswa kelas XI IPA 7 mendengar ada jam kosong di kelasnya. Sebagian siswa tampak bersorak sambil berjoget ria di atas meja. Ada yang memilih keluar kelas, mungkin ke kantin, perpus, atau sekedar jalan-jalan saja.
"Pada mau ke kantin nggak, Bro?" tanya Romeo di depan kedua temannya. "Gue traktir deh. Mumpung ini jam terakhir terus gue juga baru dapat duit dari bokap gue."
Xavier dan Noah menggeleng serempak. "Nggak baik nolak rejeki tau. Gue punya niat baik traktir kalian, malah kaliannya nggak mau."
"Gue sama Xavier mau ke ruang CCTV," kata Noah membuat Romeo mengernyit.
"Loh, emang lo udah dibolehin masuk ke sana?" tanya Romeo yang diangguki Noah.
"Lo nyuap pake apaan, No? Heh! Nggak baik tau suap-suapan gitu. Dosa No dosaaaa," ujar Romeo memperingati Noah.
"Gue nggak nyuap," ucap Noah. "Kalo bukan nyuap terus lo ngasih apa sama si petugas?" heran Romeo.
Noah melirik Xavier yang duduk di sebelahnya. "Punya teman yang jadi ponakan pemilik yayasan itu dimanfaatin dengan sebaik-baiknya."
Xavier yang mendengar hal tersebut tampak tersenyum sinis. Bukan berarti ia tidak suka. Karena memang Xavier sendiri yang menawarkan diri untuk membantu Noah.
"Pasti gara-gara Caca, Xavier jadi baik hati kayak gini," ujar Romeo menatap heran ke arah Xavier.
"Lo pasti nggak suka kalo Caca diapa-apain sama Edwin, kan? Makanya lo gercep mau nolongin Noah."
"Sok tau banget," kata Xavier. "Buruan ke sana, sebelum keduluan Edwin."
Xavier berdiri dari duduknya dengan tas ransel yang sudah ia sampirkan di punggung. Tidak lupa jeket denim yang tadi ia pakai juga sudah melekat sempurna di tubuhnya.
"Gimana? Udah mulai suka sama Caca?" tanya Noah saat memastikan jika Romeo tidak medengar ucapannya, karena cowok tersebut sedang asyik menggoda gadis-gadis yang ia temui.
"Nggak tau," jawab Xavier.
"Gue lihat, lo udah jarang ngajak ketemuan Reva," kata Noah menatap lurus ke depan. "Reva juga jarang kelihatan di sekolah."
"Lagi sakit," Xavier kembali menjawab singkat.
Sebenarnya, Xavier tidak tau pasti kenapa Reva jarang terlihat di sekolah. Kemarin Xavier tidak sengaja bertemu dengan Reva, dan tidak sempat menanyakan kenapa gadis tersebut akhir-akhir ini tidak masuk sekolah. Kabar terakhir yang Xavier dapat, Reva mengatakan jika dirinya sedang sakit flu. Tapi dia bilang sudah sembuh dan akan kembali aktif sekolah.
Dulu, setiap kali Xavier tidak melihat keberadaan Reva di sekolah, ia langsung mencari tau dimana dan bagaimana kabar Reva. Xavier akan melakukan hal apapun supaya dapat menerima informasi tentang gadis yang ia sukai. Tapi sekarang, tidak tau kenapa Xavier merasa biasa saja saat mendengar kabar kalau Reva tidak masuk sekolah.
Maksud Xavier, ia tidak begitu khawatir seperti dulu sampai berpusing-pusing hanya karena ingin mendapat kabar dari Reva.
"Lo mau apain Edwin? Setelah lo lihat sendiri apa yang cowok itu lakuin ke Caca," tanya Noah mengingat satu hal yang Xavier ceritakan padanya.
Xavier mengedikkan bahunya, seolah tidak tau apa yang nantinya akan ia lakukan pada Edwin. Padahal, kemarin Xavier merasa sangat marah ketika melihat Edwin mencekeram tangan Caca. Sejak saat itu, Xavier bersumpah untuk mengeluarkan Edwin dari sekolah secepatnya.
"Kok nggak ada petugasnya?" heran Romeo saat sampai di depan ruangan.
"Gue usir," kata Xavier lalu masuk lebih dulu ke dalam ruangan.
Tanpa banyak bicara, Xavier menyalakan monitor di hadapannya dan memperlihatkan beberapa video pada kedua temannya. Semalam ia sudah melihat video tersebut saat berada di rumah pamannya.
"Anjirr! Ini gudang yang deket ruang guru itu, kan? Kok dia berani pake ruangan itu buat ngumpulin massanya?" Romeo berdecak kagum melihat keberanian Edwin.
"Benar dugaan gue. Dia ngancem anak-anak yang dapat beasiswa," ucap Noah sambil memperhatikan video di hadapannya.
"Pantes aja anak-anak paskib kebanyakan dari siswa yang dapat beasiswa. Akhirnya rasa penasaran gue terjawab juga," ujar Romeo.
"Mereka bakal dikeluarin kalo nggak nurutin kemauan Edwin," Noah kembali berucap. "Gue rekam ini boleh, Xav?"
Xavier mengangguk, memperbolehkan Noah untuk mereka video sebagai bukti yang akan ia berikan ke ketua yayasan. Sebenarnya Xavier bisa langsung melakukan hal tersebut semalam, tapi ia rasa lebih baik jika Noah yang melakukannya. Kalau untuk urusan di luar sekolah dan memberi pelajaran Edwin, Xavier pastikan ia akan turun tangan.
"Udah," kata Noah setelah selesai merekam video. "Pulang sekarang?"
"Nongkrong dulu gimana? Udah lama kita nggak kumpul bareng," ajak Romeo.
"Boleh. Lo bisa nggak, Xav?" tanya Noah.
"Bisa," jawab Xavier tanpa perlu pikir panjang.
Mereka berdua bertiga kemudian berjalan keluar ruangan dan kembali mengunci ruangan tersebut. Tepat di depan ruangan, seorang siswa terlihat berdiri sambil memperhatikan mereka bertiga. Namun sepertinya, Xavier tau siapa siswa yang menutupi sebagian wajahnya dengan masker dan saat ini terlihat sedang menatapnya.
"Ngapain di sini?" tanya Xavier mendekati Caca.
"Nungguin lo," jawab Caca tanpa basa-basi. "Gue ada kumpul sama mereka berdua. Kalo ada urusan, lo bisa temui gue besok."
Xavier berniat pergi namun tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Caca. Membuat Xavier kembali menoleh.
"Anterin gue pulang," pinta Caca dengan suara memohon. Satu tangan Caca kini memegang ujung jaket Xavier dan menggerak-gerakkannya untuk meminta cowok tersebut mengantarnya pulang.
"Anterin Caca aja, Xav. Lo bisa nyusul nanti," kata Romeo memberi masukan.
"Atau biar gue aja yang nganterin Caca?" tawar Noah yang segera mendapat tatapan tajam oleh Xavier.
"Mau, kan, nganterin gue pulang? Sekali aja. Besok-besok enggak lagi deh," pinta Caca dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya.
Xavier menghela napas kasar sebelum akhirnya mengangguk. "Oke. Gue anterin lo."
Caca terlihat tersenyum meski bibirnya tidak tampak dari luar. Merasa lega karena Xavier mau mengantarnya.
"Gue balik dulu. Entar kasih kabar kumpul dimana," kata Xavier yang diangguki kedua temannya.
"Pinjem temennya bentar ya," Caca meminta ijin pada Noah dan Romeo. "Ayo, Xav"
Kedua tangan Caca dengan cepat meraih lengan Xavier dan mengajaknya pergi ke parkiran. Perlu kalian tau, jika Caca terus merangkul lengan Xavier di sepanjang jalan tanpa melepaskannya barang sedetik pun.
Tanpa Caca tau, perbuatannya saat ini membuat Xavier salah tingkah. Ia mencoba bersikap senormal mungkin tapi tidak juga bisa. Seolah ada sesuatu yang membuat bibirnya ingin tersenyum karena melihat Caca berada di dekatnya.
Sampai di depan mobil Xavier, Caca melepaskan tangannya dari lengan cowok tersebut. ia langsung membuka pintu mobil, tapi segera ditutup kembali oleh Xavier.
"Kenapa ditutup?" tanya Caca manatap Xavier yang berdiri di depannya. "Lo nggak jadi mau nganterin gue?"
Tidak menjawab pertanyaan Caca, Xavier justru memperhatikan Caca lekat-lekat. Kedua mata tajam Xavier terasa sangat mengintimidasi, dan membuat bulu kuduk Caca merinding.
"Ngapain pake masker?" tanya Xavier setelah cukup lama memperhatikan Caca.
Belum sempat Caca menjawab, Xavier sudah kembali mengeluarkan suaranya.
"Buka," kata Xavier membuat Caca mengerutkan keningnya. "Buka maskernya, Ca"
Ohh, ternyata Xavier meminta Caca untuk membuka masker. Jangan salahkan Caca kalau ia tidak langsung paham dengan ucapan Xavier. Salahkan Xavier karena ia hobi mengucapkan kalimat yang tidak lengkap.
"Bisa buka sendiri apa enggak?"
"Bisa lah," jawab Caca, lalu membuka masker yang menutupi mulut dan hidungnya.
Dan taukah kalian? Wajah Xavier saat ini dua kali lipat lebih menyeramkan daripada sebelumnya.
"Siapa yang ngelakuin itu sama lo? Kenapa lo sampe ijinin dia kayak gitu?" Xavier kembali bertanya yang justru membuat Caca kebingungan.
"Jawab, Ca!"
"Jawab apa?" tanya Caca. "Gue aja nggak paham sama pertanyaan lo."
Xavier membuang napas kesal. "Bibir lo. Siapa yang ngasih tanda itu? Ha?!"
Caca tampak mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Ia benar-benar tidak tau apa yang ditanyakan Xavier. Tapi karena Xavier mengometari soal bibirnya, membuat Caca tanpa sengaja menggigit bibir bagian bawah miliknya.
"Jangan digigit," ujar Xavier tegas. Namun tidak langsung dituruti oleh Caca.
"Gue bilang jangan digigit, Ca!" Xavier meninggikan suaranya karena hampir kehilangan akal sehatnya.
"Iya-iya, gausah pake teriak-teriak kan bisa. Ini di sekolah bukannya di hutan," kesal Caca sambil mengalihkan pandangannya dari Xavier.
"Jawab jujur pertanyaan gue," kata Xavier dengan kedua tangan memegang bahu Caca.
Hal tersebut membuat Caca mau tak mau menatap Xavier, sebelum ia kembali mendapat bentakan dari Xavier.
"Tell me," Xavier menatap lurus kedua mata lentik milik Caca. "Who dared to kiss you, Ca?"
Caca membelalakkan kedua matanya mendengar pertanyaan Xavier. Ia buru-buru menepis tangan Xavier dan sedikit menjauhkan diri dari cowok tersebut.
"Apaan sih? Ngaco banget pertanyaannya," kata Caca berusaha menutupi rasa gugup dalam dirinya.
"Gue serius, Ca"
"Gue juga serius, Sapiiiii" sahut Caca memutar bola matanya malas. "Bibir gue kayak gini bukan karena habis …."
"Habis apa?" tanya Xavier masih menatap tajam ke arah Caca.
"Ngeres banget otak lo," ejek Caca. "Gue itu lagi sariawan, Sapiiii. Bukannya habis di-ituin kayak yang tadi lo bilang."
Xavier tampak memiringkan wajahnya, mengamati wajah Caca dan mencari kebohongan yang mungkin sedang disembunyikan Caca.
"Gue nggak bohong Xavier. Bibir gue masih suci sesuci sucinya tau," kesal Caca karena Xavier terlihat tidak percaya dengan ucapannya.
"Dah lah. Kesel gue ngomong sama lo. Gue tunggu di dalem. Sepuluh detik nggak masuk, gue aduin ke nyokap lo kalo kita nggak pacaran!" ancam Caca lalu segera masuk ke dalam mobil Xavier.
Di sisi lain, Xavier sedang menertawakan dirinya sendiri karena baru saja mengkhawatirkan satu hal yang tidak sepantasnya ia khawatirkan. Untuk apa Xavier marah jika sudah ada cowok lain yang mendahuluinya melakuan sesuatu pada Caca? Ingat! Hubungan Xavier dan Caca hanya sebatas settingan belaka. Tidak kurang dan tidak lebih.
***