"Jadi gue harus gimana, Ca?"
Miranda—teman satu angkatan Caca baru saja curhat pada Caca kalau pacarnya akhir-akhir ini sangat sulit untuk dihubungi. Di sisi lain, Miranda mendapat desas-desus kalau pacarnya tersebut sedang dekat dengan perempuan lain.
"Temui cowok lo," kata Caca dari balik masker putih yang ia pakai. "Jangan langsung percaya sama omongan orang lain. Sedangkan lo sendiri nggak lihat langsung dan nggak ada bukti."
"Buat siaga aja, barangkali ada orang yang enggak suka sama hubungan lo sama pacar lo saat ini. Jadi menurut gue, mending lo coba temui cowok lo. Cari time yang pas, dan bicaralah dengan baik-baik."
Miranda mengangguk paham. Ia kemudian mengetikkan sebuah pesan pada pacarnya untuk mengajaknya bertemu.
"Ingat, Mir. Salah satu kunci hubungan itu adanya rasa saling percaya satu sama lain. Kalo lo udah jadi ketemu cowok lo, coba dengarkan dulu penjelasan dari dia. Tenangkan diri lo dulu sebelum lo pergi buat ketemu dia. Oke?" Caca kembali memberikan saran yang diangguki oleh Miranda.
"Makasih banget Ca buat sarannya. Entar gue kasih kabar kalo udah nemu hari yang pas buat ketemuan. Gue balik kelas dulu ya. Makasih Cacaa," Miranda beranjak berdiri dan berjalan keluar dari kelas Caca.
Merasa pengap karena berada di dalam kelas, ditambah lagi Caca sedang menggunakan masker membuat Caca ikut keluar kelas untuk mencari udara segar.
"Udah kelar kerjaanya, Bukk?" tanya Ariel dengan mulut yang aktif mengunyah cireng.
"Duduk sini. Udah gue beliin batagor buat lo," kata Sandra sambil menggeser posisi duduknya.
Caca menerima batagor dari Sandra kemudian duduk di samping temannya tersebut. Ia membuat sebagian maskernya lalu memasukkan satu potong batagor dan kembali menutup masker tersebut.
"Rempong banget. Lo habis perawatan apa gimana sih?" Ariel menatap Caca heran karena perempuan tersebut mengenakan masker sejak pagi.
"Lagi sariawan. Bibir gue pecah-pecah parah. Malu kalo dilihatin orang soalnya tadi pagi habis gue obatin jadi kayak merah banget warnanya," jawab Caca dengan suara getir karena menahan rasa sakit di dalam bibirnya.
"Coba dibuka deh, palingan udah ilang kok obatnya. Bibir lo nggak bakal kelihatan menor," suruh Ariel merasa jika Caca tidak nyaman dengan masker yang dipakainya.
"Iya dibuka aja. Ntar kalo ada yang komen biar gua marahin orangnya," imbuh Sandra yang juga merasakan hal yang sama.
Caca memang sangat tidak nyaman menggunakan masker saat sedang sekolah. Selain merasa pengap, Caca juga merasa jadi pusat perhatian orang karena mengenakan masker sendirian.
"ASTAGHFIRULLAH CACAAA!!! BIBIR LO KENAPA BISA KAYAK GITU?!" pekik Ariel saat Caca baru saja membuka maskernya.
"LO HABIS CIPO—" ucapan Ariel terhenti karena Sandra tiba-tiba memasukkan bakso utuh ke dalam mulutnya.
"Ada apa sih? Kenapa sama bibir gue?" bingung Caca karena pagi tadi ia tidak merasa ada yang aneh dengan bibirnya.
"Bibir lo habis digigit sama siapa?" tanya Ariel dengan suara pelan. "Nggak digigit sama siapa-siapa. Kan emang gue lagi sariawan."
"Lo pernah sariawan apa enggak?" tanya Sandra pada Ariel.
"Ya pernah lah," jawab Ariel. "Tapi bibir gue nggak terus pecah … ih, punya Caca tuh enggak pecah-pecah kok. Orang cuma satu dua garis gitu."
"Mirip kayak orang habis ciuman." Ujar Ariel, membuat Caca membulatkan kedua matanya.
"Ngeres banget otak lo," kata Sandra.
"Bukan ngeres Sandra. Gue itu belajar dari drama-drama yang gue tonton, kalo habis gitu-gituan kan bibirnya jadi gitu," sahut Ariel kembali melirik kondisi bibir Caca.
"Apa mungkin lo nggak sadar kalo ada orang yang gitu-gituin lo, Ca?"
Caca menggeleng cepat. "Semalem gue nggak bisa tidur gara-gara tetangga gue nyetel music keras banget. Kalau pun ada penyusup udah pasti ketahuan sama gue lah."
"Kalo kemarin?" tanya Ariel. "Lo ada ketemu sama orang asing apa engga? Cowok mungkin, atau siapa gitu?"
Caca mengingat-ingat kejadian kemarin. Pulang sekolah ia sempat bertemu dengan Edwin, yang membuatnya sangat ketakutan. Tapi Caca sangat yakin jika Edwin tidak melakukan apa-apa padanya selain memaksa Caca untuk pulang bersamanya.
"Gue nggak ada ketemu orang asing kok. Kemarin sempet kehujanan bentar pas nunggu angkot. Tapi habis itu Xavier datang terus gue pulang bareng—"
"NAH ITU DIA CAA!" seru Ariel dengan suara melengking.
"Suara lo kecilin, Riel. Ganggu banget," kesal Sandra namun tidak digubris oleh Ariel.
"Pasti yang ada di bibir lo itu gara-gara Xavier kan?" tebak Ariel. "Kemarin lo habis kehujanan terus pulang bareng Xavier, habis itu lo nggak sadar kalo Xavier gitu-gituin lo. Kayak di drama-drama gitu!"
Baik Caca maupun Sandra menatap heran ke arah Ariel. Bisa-bisanya otak Ariel berpikir sangat dangkal seperti itu.
"Korban sinetron," sindir Sandra yang diangguki Caca. "Gue dalam kesadaran full pas pulang bareng Xavier, Riel"
"Dia nggak sampai ngelakuin hal begitun sama gue. Cuma sebatas megang tangan gue aja—"
"Xavier megang tangan lo?!" tanya Ariel. "Ngapain itu cowok megang-megang tangan lo? Katanya nggak doyan sama lo kok pake pegang-pegang segala."
"Xavier mulai suka sama Caca," kata Sandra dengan wajah datarnya.
"Enggak. Kemarin nggak sengaja aja kok dia megang tangan gue," bohong Caca.
Saat ini Caca belum berani menceritakan kejadian yang menimpanya kemarin pada kedua temannya. Kalau waktunya sudah tepat, Caca akan menceriatakan hal tersebut pada Sandra dan Ariel. Ya. Kemarin Xavier memberikan saran seperti itu pada Caca. Selama Caca belum yakin, Caca tidak akan mengumbar kejadian kemarin pada orang lain.
***