Chereads / About Is Love / Chapter 28 - BAGIAN 27 II LOVE IS BLIND

Chapter 28 - BAGIAN 27 II LOVE IS BLIND

Caca mendengus kesal karena sudah lebih dari setengah jam berdiri di depan sekolah namun tidak juga ada angkutan yang lewat. Padahal biasanya angkutan selalu berseliweran setiap detik. Tapi kenapa sekarang jadi hilang semuanya?

"Ih, tau gini tadi gue minta Sandra buat nungguin gue kelar latihan," kata Caca tertunduk lesu sambil menyenderkan tubuhnya ke tembok.

Beberapa menit kembali berlalu, dan Caca belum juga melihat angkot lewat di hadapannya. Tanpa sadar, bulir-bulir air hujan mulai turun sedikit demi sedikit. Membuat Caca yang tadi berdiri di dekat gerbang berpindah tempat supaya tidak kehujanan.

"Kok bisa kelupaan bawa payung?" heran Caca saat ia tidak menemukan payung di dalam tasnya.

"Apa gue minta jemput sopir aja ya? Eh, tapi ntar malah disuruh pulang ke rumah Mama."

Pada akhirnya Caca memilih untuk menunggu angkot datang sambil berteduh di halte bis. Karena hujan semakin deras, membuat banyak air yang tidak sengaja terciprat di seragam Caca.

"Bakal kerja rodi nih. Mana stok seragam gue abis. Yang minggu kemarin belum gue cuci, yang kemarin masih basah, terus yang sekarang malah kena—"

Ucapan Caca terhenti saat melihat kedatangan orang di sampingnya. Hoodie warna hitam membuat Caca tidak dapat melihat jelas siapa tersebut.

"Hai," sapa Edwin setelah melepas hoodie yang menutupi kepalanya. "Loh, Kakak ngapain di sini?"

"Maksud aku, bel pulang udah dari tadi, kenapa Kak Edwid masih di sekolah?" tanya Caca menatap pelatih paskibra—sekaligus kakak kelasnya.

"Ada kerja kelompok dulu, sama kelas tambahan buat persiapan ujian," jawab Edwin membuat Caca mengangguk.

"Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Nggak pulang bareng Sandra sama Ariel?"

Caca menggeleng. "Ariel tadi pulang duluan, soalnya ibunya masuk rumah sakit. Terus Sandra aku suruh pulang juga, tadi kan ada latihan cheers juga, jadi nggak enak kalo nyuruh Sandra nungguin aku."

"Terus?" Edwin kembali mengajukan pertanyaan. "Belum datang jemputan kamu? Atau masih nunggu temen?"

"Nunggu angkot, Kak" jawab Caca cepat.

Edwin mengangguk paham. Kedua matanya sangat jelas menatap Caca dari atas sampai bawah. Tapi karena Caca fokus menggosok-gosokkan kedua tangannya supaya tidak kedinginan, membuatnya tidak sadar akan pandangan Edwin kepadanya.

"Eh," Caca terlonjak kaget saat Edwin tiba-tiba menggenggam satu tangannya.

"Biar nggak dingin," kata Edwin tersenyum ke arah Caca.

"Nggak perlu, Kak. Makasih," ujar Caca sambil melepaskan tangannya dari Edwin.

"Pacar kamu nggak nganterin kamu pulang?" tanya Edwin membuat Caca menggeleng.

Tentu saja Xavier tidak akan mengantar Caca. Hanya sebatas pacar settingan saja. Caca cukup sadar diri, dan tidak ingin berharap lebih pada Xavier.

"Pulang sama Kakak yuk," ajak Edwin. "Bentar lagi malem, kayaknya nggak ada angkot yang lewat."

"Eng-gak usah, Kak. Nanti aku bisa telfon Sandra buat ke sini," tolak Caca dengan lembut. Ia tetap harus menjaga sopan santun di depan kakak kelasnya.

"Bukannnya lebih enak kalo pulang bareng Kakak? Kan sekarang Sandra nggak di sini, ntar malah kamu jadi ngerepotin dia."

Meski suara hujan terdengar sangar keras, namun Caca bisa mendengar jelas ada nada paksaan yang keluar dari mulut Edwin.

"Nggak papa Kak. Aku udah biasa ngerepotin Sandra, dia juga udah kebal aku repotin," Caca kembali menolak. Ia memang tidak ingin pulang bersama Edwin.

Meski Caca sudah lama mengenal Edwin, namun status mereka hanya sebatas rekan tim dalam paskibra saja. Selama ini Caca hanya berbicara pada Edwin ketika memang ada hal penting seputar paskib. Intinya, Edwin adalah orang asing bagi Caca.

"Sama Kakak aja. Naik mobil kok, jadi nggak bakal kehujanan," Edwin kembali merayu Caca supaya mau pulang bersamanya. Bahkan saat ini Edwin sudah meraih satu tangan Caca.

"Enggak Kak. Aku pulang bareng—"

"Bareng siapa? Bareng Sandra? Atau bareng pacar kamu?" tanya Edwin yang tidak mengijinkan Caca mengatakan alasan.

"Kalo belum jelas kamu pulang sama siapa, mending pulang sama Kakak."

Caca menggeleng. "Enggak-enggak. Caca nggak mau."

Ya Tuhan … Caca benar-benar berharap ada seseorang yang datang menyelamatkannya saat ini. Caca memiliki firasat buruk kalau terus-menerus di samping Edwin.

"Nggak tau mau pulang sama siapa, kan? Udah pulang bareng Kakak aja, entar Kakak ajak mampir makan sekalian," ujar Edwin namun dibalas gelengan kepala oleh Caca.

Bingung dan takut bercampu menjadi satu. Caca ingin menyebutkan nama seseorang namun ia tidak tahu apakah orang itu akan datang atau tidak.

"Caca pulang bareng …" otak Caca terus berpikir nama siapa yang harus ia sebut.

Oh My God! Caca sangat berharap ada kendaran yang datang di hadapannya saat ini. Menawarinya tumpangan dan membantu Caca melepaskan diri dari Edwin.

"Caca udah dijempu sama—"

Tin!

Suara klakson mobil membuat Caca dan Edwin menoleh serempak. BMW 430i Convertible Sport warna hitam terlihat berhenti di depan halte. Satu kaca mobil yang berada di pintu depan terbuka, memperlihatkan siapa pemilik mobil tersebut.

Xavier?

Caca mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebagai fans berat Xavier, Caca tentu tahu betul kendaraan apa yang sering ditumpangi Xavier. Mulai dari merk, warna, sampai plat kendarannya pun Caca hapal.

"Aku pulang bareng Xavier!" tegas Caca buru-buru melepas tangannya dari Edwin dan berlari memasuki mobil Xavier.

Setelah Caca masuk, Xavier segera melajukan mobilnya meninggalkan sekolah. Tatapannya fokus ke depan, namun dalam hatinya ada banyak hal yang ingin ia katakan pada perempuan di sampingnya.

"Lama," satu kata yang akhirnya keluar dari mulut Xavier. Sangat jauh berbeda dengan kata yang sebenarnya ingin Xavier ucapkan.

"Maaf," lirih Caca. "Gue beneran takut tadi …."

Suara serak Caca cukup mencuri perhatian Xavier. Sudut matanya melirik ke arah Caca yang kini sedang menunduk. Xavier tidak dapat melihat jelas wajah Caca saat ini.

"Kak Edwin kelihatan serem banget. Dia maksa gue terus buat pulang bareng padahal gue nggak mau. Gue bingung harus kabur dari dia dengan cara apa. Tangan gue aja digenggam sama dia, dan gue nggak bisa …" Caca menjeda ucapannya. Menarik napas dalam-dalam supaya air matanya tidak keluar.

Namun sayang, ketakukan Caca akan hal di halte tadi membuat Caca tidak lagi mampu menahannya. Kedua pipinya mulai basah dengan air mata. Percayalah, Caca benci ada orang lain yang melihatnya menangis seperti ini.

"Gue nggak mau lagi ngerasain hal kayak tadi, gue nggak mau—" ucapan Caca terhenti saat sebuah tangan hangat menggenggam tangan dingin Caca.

"Jangan dibahas lagi," kata Xavier dengan suara lembut. Sangat berbeda suara Xavier yang biasanya terdengar judes.

"Mulai besok, lo keluar dari paskib," Xavier kembali berucap, membuat Caca seketika mendongak.

"Nggak bisa, Xav. Gue ada tanggungan lomba. Bisa kena marah kalo tiba-tiba gue keluar," kata Caca.

"Gue bakal tanggung jawab," sahut Xavier. "Bilang sama gue kalo ada orang yang berani marahin lo."

"Enggak, Xavier. Gue nggak boleh egois cuma gara-gara gue takut sama sikap Kak Edwin tadi. Gue tetap harus ikut paskib sampai selesai lomba," tegas Caca.

"Jadi lo nggak mau ngundurin diri dari paskib?" tanya Xavier.

"Iyaa."

"Oke," kata Xavier santai. "Karena lo nggak mau ngundurin diri, biar gue yang buat lo dikeluarin dari paskib. Dengan cara gue."

***