"Jalan Veteran No 19. Gue rasa itu bukan tanah milik panti. Ada beberapa rumah tua yang masih berpenghuni di situ. Kalo dari tempat Xavier berhenti, jelas jauh banget jaraknya. Reva nggak tinggal sendirian. Kata orang yang gue suruh, ada beberapa orang yang sebagian besar laki-laki, tinggal serumah sama Reva. Gue belum tau pasti mereka siapanya Reva. Besok gue kasih tau kalo udah dapat kabar baru. Oh ya, sama satu lagi. Reva bukan anak yatim piatu. Dia punya bapak dan ibu!"
Informasi yang diberikan Sandra terekam dengan baik di otak Caca. Ia semakin penasaran dengan jati diri Reva yang sebenarnya. Kalau informasi Sandra benar, berarti selama ini Reva bohong tentang dirinya yang tinggal di panti. Lalu, untuk apa Reva melakukan semua ini? Caca yakin Reva pasti punya alasan kenapa ia berani bertindak nekat dan membohongi banyak orang.
"Makan dulu. Mikirin Xavier nggak bakal buat perut lo kenyang," kedatangan Noah dengan sepiring omelet membuyarkan lamunan Caca.
"Makasiiiih," Caca mengambil piring berisi omelet tersebut lalu memotong omelet menjadi beberapa bagian dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Berani banget kabur dari Xavier. Nggak takut dihukum sama dia?" tanya Noah.
"Enggak lah. Paling dia bakal ngehukum—"
"Xavier nggak pernah main-main sama ucapannya," kata Noah membuat Caca menoleh. "Feeling gue, lo bakal dapat hukuman berat karena kabur dari dia."
"Jangan nakut-nakutin gitu dong. Lo ada di pihak gue apa Xavier sih?" kesal Caca dengan mulut yang masih berisi makanan.
"Enggak keduanya," jawab Noah santai. "Gue golongan netral. Biar nanti kalo ada apa-apa dari kalian gue nggak—"
"Nggak apa?! Nggak mau ikut tanggung jawab? Nggak mau dengerin ocehan gue kalo gue putus dari Xavier? Gitu maksud lo, kan?" bentak Caca menatap tajam Noah yang justru membalasnya dengan gelengan kepala.
"Dapat salam dari Lala. Katanya kangen sama lo. Tapi dia nggak bisa pulang soalnya nggak mau jauh-jauh dari Oma," Noah berucap hal lain seolah tidak peduli dengan bentakan Caca.
"Dasar cowok. Sukanya ngalihin pembicaraan," sindir Caca. "Emang nggak mau disalahin apa pura-pura nggak bersalah?"
"Iya-iya maaf," lirih Noah memilih untuk mengalah.
Caca berdecak kesal mendengar ucapan Noah. Kesal karena jika Noah sudah meminta maaf, Caca tidak bisa membentaknya lagi.
"Udah jadi bantuin gue belum. Masa kalah sama Sandra yang sehari udah dapat banyak info," kata Caca menagih janji Noah untuk membantunya mencari tahu tentang Reva.
"Separuh lebih waktu gue dalam sejam itu sama Xavier, nggak mudah buat ngelakuin hal begituan di belakang dia. Gue lagi cari waktu yang pas," bohong Noah padahal ia sendiri lupa jika sudah bersedia membantu Caca.
"Sandra dapat info apaan?"
Caca mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Noah. Dalam pesan yang dikirim Sandra sudah dijelaskan tentang dimana Reva tinggal dan bagaimana lingkungan tempat tinggal Reva.
"Bukannya dia tinggal di panti?" tanya Noah.
"Kita-kita taunya emang gitu," Caca mengambil kembali ponsel dari tangan Noah dan melihat gambar dari Sandra. "Tapi faktanya enggak. Coba lo cek sendiri deh, di deket tempat Xavier biasa nganterin Reva itu nggak ada panti asuhan. Adanya justru kebun binatang."
"Reva tinggal di rumah tapi gue nggak tau rumahnya siapa." sambung Caca.
"Orangtua Reva masih hidup. Kenapa dia harus bohong kalo orangtuanya udah nggak ada?" heran Noah tidak habis pikir dengan Reva.
"Pasti dia punya alasan, tapi kitanya yang belum tau. Sumpah gue jadi kepo banget. Pengin nyelidiki sendiri ke sana."
"Ke sana kemana?"
"Ke rumahnya Reva lah."
"Nggak usah!" tegas Noah. "Wilahnya terlalu berbahaya, Ca. Banyak preman juga di sana. Dan lo sendiri belum pernah datang ke sana juga."
"Gue udah gede, Noah. Bisa jaga diri gue sendiri. Lagian juga gue ke sananya siang-siang kok. Kalau pun ada preman yang deketin gue …" Caca menjeda ucapannya. "Ya udah nasib gue berarti. Tinggal pasrah sama takdir."
Noah menggeleng tak percaya. "Hubungi gue kalo emang mau ke sana. Jangan nekat pergi sendirian."
Caca mengacungkan kedua jempolnya. Sesaat sebelum ponselnya berdering dan menampilkan pesan dari laki-laki menyebalkan.
Sapiiii:
Ke rumah gue sekarang!
***
Tidak sempat berganti pakaian dulu, Caca bergegas pergi ke rumah Xavier. Kata Noah, Xavier akan berubah jadi macan yang ganas kalau kemauannya tidak langsung dituriti.
"Assalamualaikum!"
Caca berseru di depan pintu bercat putih dengan ukuran yang sangat besar. Hari ini Caca baru pertama kali berkunjung di rumah Xavier. Jujur, Caca benar-benar deg-degan. Padahal Xavier sedang tidak menggombalinya. Tapi datang ke rumah Xavier, membuat Caca berpikir seolah ia memang benar-benar pacar resmi laki-laki tersebut.
"Waalaikumsalam, silakan masuk, Non" sapa ramah seorang wanita paruh baya dengan setelan daster motif bunga-bunga.
"Xavier-nya ada, Bi?" tanya Caca to the point, namun tetap mengutamakan kesopanan. Anggap saja Caca benar-benar pacar Xavier, jadi ia harus bersikap baik di depan seluruh warga yang tinggal di rumah Xavier.
"Ada, Non. Den Xavier lagi di kamar. Non bisa langsung naik ke lantai dua, nanti ada ruangan dengan pintu warna abu-abu tua, nah di situ kamarnya Den Xavier," ujar Bibi memberikan penjelasan pada Caca.
"Okee Bi, makasih. Kalo gitu Caca ke atas dulu, Bi" Caca menunduk sopan sebelum ia berlalu menuju ke lantai dua.
Dengan memikul tas yang masih penuh dengan buku pelajaran, Caca berjalan terseok-seok menaiki anak tangga. Kesal sekali jika menemukan ruangan yang berada di lantai dua. Caca tidak suka tinggal di rumah ibunya juga karena kamar Caca ada di lantai dua.
"Capek banget gue," keluh Caca setelah sampai di depan pintu kamar. "Awas aja kalo Xavier cuma ngerjain gue. Bakal gue gampar muka ganteng dia!"
"SAPIIIII! GUE UDAH DI DEPAN KAMAR LO!" seru Caca sengaja memberika nama panggilan baru untuk Xavier. Bodoamat jika Xavier tidak suka, Caca tidak akan peduli.
"Masuk."
Suara khas Xavier yang sangat Caca kenali terdengar sangat indah di telinga Caca. Tentu saja indah. Apapun yang ada dalam diri Xavier pasti akan terlihat baik untuk Caca.
Oke-oke, kita balik ke topik. Setelah mendapat persetujuan dari sang pemilik kamar, Caca membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan melangkah masuk ke dalamnya.
"ASTAGHFIRULLAH!" pekik Caca sembari menutup kedua matanya dengan telapak tangan.
"Lo gila apaaa!!! Kalo mau ganti baju jangan di depan cewek dong! Bilang dulu kek kalo mau ganti, jangan malah nyuruh gue masuk!"
Sepertinya mata Caca sudah tidak suci lagi. Okelah, Caca memang tidak lama melihatnya. Tapi tetap saja Caca sudah melihat tubuh bagian atas Xavier yang …arggh, sudahlah, Caca tidak akan sanggup mengomentarinya.
"Nggak usah alay," kata Xavier menginterupsi Caca untuk mengakhiri tindakan hebohnya.
Perlahan Caca membuka kedua tangannya dan menemukan Xavier yang sudah mengenakan kaos oblong berwarna putih. Memang sepertinya hari ini Xavier sengaja menguji iman Caca. Dengan tanpa dosa ia memamerkan auratnya yang tentu membuat Caca salah tingkah.
"Ngapain nyuruh gue ke sini?" tanya Caca berusaha menghilangkan jauh-jauh pikiran kotornya.
"Menurut lo?" Xavier balik bertanya.
"Yang jelas kalo ngomong. Gue benaran sibuk banget, Sap. Nanti malem harus kerja, terus masih ada tugas resume sosiologi, terus besok ada ulangan sejarah, habis istirahat gue ada latihan paskib, terus masih latihan cheers juga, terus—"
"Jadi itu alasan lo kabur dari gue?" tanya Noah menatap lurus ke arah Caca. "Tapi gue rasa enggak. Lo nggak lagi kerja, nggak belajar, dan nggak lagi latihan paskib atau cheers."
"Jangan sok tau deh. Lo kan nggak tau gue pergi—"
"Gue tau," kata Xavier memotong ucapan Caca. "Noah bilang kalo lo pergi ke rumahnya."
Sial! Dasar Noah ember! Caca pastikan besok ia akan memberi perhitungan pada Noah!
"Ngapain ke rumah Noah? Mau selingkuh di belakang gue?" tanya Xavier penuh selidik.
"Nggak lah," elak Caca tegas. "Lagi pula juga kalo gue mau deket sama cowok lain itu hak-hak gue dong."
"Lupa sama status?"
"Enggak," jawab Caca. "Kita berdua cuma pacar boongan aja. Cuma sandiwara. Jadi nggak perlu ada dong, batasan-batasan alay kayak orang pacaran beneran."
"Mau gue deket sama Noah atau sama cowok lain itu bukan urusan lo, Sap. Dan gue juga berusaha nggak peduli tentang lo. Terserah lo mau deket sama Reva atau cewek lain. Gue mah bodoamat."
Caca memuji dirinya sendiri yang mampu bersikap tangguh di depan Xavier. Padahal sebenarnya, Caca tidak ingin Xavier dekat-dekat dengan perempuan lain. Caca juga menyukai ketika Xavier melarangnya untuk tidak dekat dengan Noah. Karena kesannya, Xavier seperti cemburu melihat pasangannya dengan dengan laki-laki lain.
"Gue mau ada batasan," kata Xavier terlihat berjalan mendekati Caca. "Lo tetap harus inget posisi lo sebagai pacar gue. Harus jaga sikap juga. Jangan centil sama cowok lain."
"Jangan ngebuat Mama curiga kalo kita nggak bener-benar pacaran."
Senyum sinis terbit di wajah Caca. Ternyata gara-gara Tante Tiana. Caca pikir Xavier melakukannya karena keinginan sendiri.
"Lo mau gue nggak ngelakuin apa aja?" tanya Caca seolah menantang Xavier.
"Simpel aja," balas Xavier santai. "Jangan deket-deket cowok lain selain gue. Bersikaplah seolah lo emang pacar gue beneran."
"Oke," ujar Caca cepat menanggapi permintaan Xavier. "Tapi gue juga mau lo jaga jarak sama gue. Karena lo punya permintaan, gue juga boleh dong ngelarang-ngelarang lo."
Tentu saja Caca bukan perempuan bodoh yang tidak menginginkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Caca punya alasan kenapa ia meminta Xavier untuk menjaga jarak dengannya. Caca tidak mau ia tenggelam dalam pesona Xavier dan membuatnya lupa kalau semua yang Xavier lakukan tidak lain hanya sekedar sandiwara.
"Lo mau gue memperlakukan lo kayak gimana?" tanya Xavier dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku. Sesederhana itu penampilan Xavier tapi hampir membuat Caca hilang kendali.
"Jangan keseringan deket-deket gue," kata Caca menormalkan kembali degupan jantungnya. "Kurangi skinsip kalo emang nggak terdesak. Pokoknya jauh-jauh dari gue deh kalo bukan karena ada nyokap lo."
"Seberapa jauh gue harus jaga jarak? Segini masih wajar?" Xavier melangkahkan kakinya mendekat ke arah Caca.
"Masih," jawab Caca dengan suara senormal mungkin.
"Kalo segini?"
Xavier kembali melangkah maju dan membuat Caca otomatis mundur hingga punggungnya menyentuh tembok. Jarak keduanya kini hanya beberapa senti saja.
"Xa-xav—"
"Cantik," puji Xavier tanpa sengaja mengomentari wajah Caca.
Tidak hanya Xavier saja, laki-laki lain juga pasti akan mengatakan jika Caca sangat cantik. Bahkan tanpa polesan make up sedikit pun.
"Can I really kiss you. Hm?"
Percayalah, Xavier juga laki-laki normal. Ia tidak bisa diam begitu saja saat berdekatan dengan perempuan cantik seperti Caca. Terlebih Caca hanya diam seolah memberikan ijin Xavier untuk melakukan apa yang ingin Xavier lakukan.
Perlahan Xavier mulai mengikis jarak diantara ia dan Caca. Hingga hidung mereka saling bersentuhan satu sama lain. Satu gerakan saja yang Xavier lakukan pasti akan membuat keinginan Xavier terkabul.
"Kamar mandinya mana?!"
Caca lekas sadar dan menjauhkan diri dari Xavier. Menatap sekilas Xavier yang terlihat bingung karena pertanyaannya.
"Gu-gue kebelet pipis. Boleh numpang ke kamar mandi?" tanya Caca memperjelas maksud pertanyaannya tadi.
"Di sana," jawab Xavier menunjuk kearah pintu berwana senada dengan pintu kamarnya yang terletak di pojok kamar.
"Okee," Caca kemudian berlari kecil dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
Sedangkan Xavier, ia menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur sambil mengusap wajahnya yang tampak kemerahan.
"Shit! Gara-gara pipis nggak jadi dapat first kiss."
***