Sudahlah, jangan ditanyakan lagi bagaimana ekspresi Caca kali ini. Sejak tadi ia sudah memberikan tatapan tajam pada laki-laki yang seenak jidat merangkul pinggangnya tanpa merasa berdosa sama sekali. Tidak tahukah ia jika Caca menahan jantungnya untuk tidak meledak gara-gara perlakuannya!
"Sudah malam, Xavier. Sebaikanya kamu antar Caca pulang ke rumah," kata Tiana memberi perintah pada putranya.
"Oh ya, Mama sampai lupa tanya. Caca rumahnya di daerah mana sayang?"
Xavier dan Caca tampak memandang satu sama lain. Seolah memberikan kode yang mereka sendiri tidak tahu apa maksudnya. Bagaimana bisa Caca berpikir jernih di saat tubuhnya sangat dekat dengan Xavier.
"Kontrakan Setanjung Jalan Ksatria, Tante" jawab Caca tanpa pikir panjang menyebutkan alamat rumah Mbok Ati.
"Lumayan jauh itu. Sudah buruan kamu antar Caca pulang. Kalau kemalaman nanti Caca masuk angin," Tiana kembali menyuruh Xavier untuk mengantar Caca.
"Iya Ma. Ini juga mau Xavier antar," jawab Xavier.
"Ndi, ini anakku sama temennya pulang dulu nggak papa, kan?" ujar Tiana mewakili Xavier dan Caca untuk berpamitan pada Indira yang memiliki acara pesta.
"Ohhh. Iya tidak apa-apa kok. Memang tidak baik kalau perempuan keluar malam, apalagi mengenakan pakaian terbuka," balas Indira sengaja menekankan kalimat terakhirnya sambil melirik tajam ke arah Caca.
Ya, Caca tahu kalau dari dalam lubuk hati ibunya yang paling dalam pasti ingin mengakatan padanya kalau : Mama butuh penjelasan dari kamu!
"Kalau gitu Xavier sama Caca pulang dulu Ma, Tante" pamit Xavier menyalami tangan ibunya dan juga Indira.
Mau tidak mau Caca juga melakukan hal yang sama dengan Xavier. Setelah berpamitan dengan Tiana dan Indira, Caca bergegas pergi dari hadapan mereka berdua.
Namun baru beberapa langkah Caca berjalan, suara berat Xavier terdengar menyuruhnya untuk berhenti.
"Tunggu."
Seakan seperti robot, Caca berhenti dan menuruti ucapan Xavier. Melihat hal tersebut, Xavier berjalan mendekati Caca. Menatap wajah perempuan tersebut yang kini juga sedang menatapnya.
Tidak tahu mendapat bisikan dari mana, Xavier melepaskan jas yang ia pakai sehingga menyisakan kaos hitam polos yang melekat di tubuh atletisnya.
Tanpa meminta persetujuan terlebih dulu, Xavier memakaikan jas miliknya untuk menutupi tubuh Caca. Ia pikir ucapan Indira memang benar. Caca mengenakan gaun yang terlalu terbuka.
Dan yah, Caca kembali dibuat salah tingkah dengan perlakuan Xavier. Caca tahu jika semua ini pasti hanya sandiwara semata. Tapi tetap saja Caca tidak bisa menutupi kebaperannya.
"Ayo," Xavier menggenggam lembut tangan Caca lalu mengajaknya berjalan bersisian menuju ke mobil.
Tidak sampai di situ saja, Xavier juga membukakan pintu mobil dan mempersilakan Caca masuk ke dalam mobil layaknya seorang tuan puteri.
Geez … bukan seperti ini yang Caca harapkan! Ayolah, kenapa jantung Caca tidak bisa diajak kompromi?
"Gue bisa pake sendiri," tolak Caca saat Xavier hendak memasangkan sabuk pengaman untuk Caca.
Xavier sama sekali tidak memedulikan ucapan Caca. Ia tetap memakaikan seat belt dan membuat Caca menahan napas karena jarak antara ia dan Xavier begitu dekat. "I like obedient girl."
Habis sudah pasokan oksigen di dalam tubuh Caca. Hawa panas seakan memenuhi seisi mobil yang sudah jelas ber-AC. Sial. Xavier terlihat sangat santai dan tidak merasa bersalah sedikit pun.
Intinya semua harus berakhir saat ini juga. Caca akan memastikan jika besok semua akan kembali seperti semula. Caca akan menganggap jika kejadian malam ini hanya sebuah insiden kecil yang tidak sengaja terjadi karena sebuah kesalahan.
"Besok jangan berangkat sekolah dulu," kata Xavier memulai pembicaraan saat ia sudah melajukan mobilnya membelah jalanan di malam hari.
Belum sempat Caca merepon, Xavier sudah kembali mengeluarkan suaranya. "Tunggu gue jemput lo. Gue usahain bangun pagi biar nggak buat lo telat masuk sekolah."
Apa-apaan ini?! Kenapa pernyataan Xavier justru menyaratkan jika sandiwara ini akan tetap berlanjut? Tidak-tidak, Caca tidak boleh membiarkan semua ini berjalan tanpa persetujuan darinya.
"Xav, gue boleh ngomong sesuatu nggak?"
"Gue nggak nyuruh lo diem," sahut Xavier dengan pandangan fokus ke depan.
Caca mengakui jika Xavier jauh lebih pandai berdebat dari pada dirinya. Buktinya, Caca sudah dibuat malu sebelum ia mulai mengutarakan opininya.
"Gue tau kalo yang tadi lo lakuin itu cuma sandiwara dan sekedar buat meyakinkan nyokap lo kalo lo berhasil bawa cewek di hadapan beliau kan? Ya jelas banget sih kalo lo nggak mungkin bener-bener ngajak gue pacaran karena lo sukanya sama Reva. Jadi …" Caca melirik sekilas wajah Xavier yang terlihat datar.
"Sandiwara ini harus berakhir sebelum gue sampai di rumah. Urusan nyokap lo biar nanti gue yang beresin. Pokoknya besok pagi gue udah nggak mau jadi pacar bohongan buat lo. Oke?!" dengan sangat berharap Caca ingin Xavier mengiyakan ucapannya.
"Sejak kapan gue minta lo jadi pacar gue?" tanya Xavier setelah beberapa detik hanya terdiam di tempat.
Nah kan … jadi gagu lagi dong Caca. Berasa kalau baru saja Caca terlalu PD karena menganggap jika Xavier mengajaknya berpacaran.
"Sorry," lirih Caca. "Gue kira tadi lo bilang kalau—"
"Lo pacar gue," kata Xavier saat mobilnya berhenti di depan lampu merah. Kedua matanya menatap lekat wajah cantik Caca yang duduk di sebelahnya.
"Gue sama sekali nggak ngajak lo pacaran. Lo pacar gue dan itu sudah jadi keputusan yang mutlak. Paham?"
Caca menggeleng cepat. Ia tidak akan mungkin bia memahami keputusan Xavier. Caca juga ikut andil di dalamnya, jadi harusnya Caca juga punya kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
"Nggak bisa, Xav. Gue nggak bisa!" tolak Caca tegas. "Jangan egois gitu dong, Xav. Lo nggak bisa ngambil keputusan tanpa persetujuan dari gue. Apalagi gue ikut terlibat dalam keputusan lo." kesal Caca.
"Terus?" tanya Xavier tampak membuat Caca mengernyit bingung. "Apanya yang terus sih? Kalo ngomong itu yang jelas."
"Gue nggak peduli sama pendapat lo," sambung Xavier melirik sekilas ke arah Caca. "Gue nggak mau jadi pacar boongan lo, Xavier. Paham nggak sih sama maksud gue?"
"Gue nggak jadiin lo pacar bohongan."
"Terus apa kalo bukah boongan?"
"Pacar sementara," jawab Xavier cepat. "Lo bakal jadi pacar sementara gue sampai nanti Reva mau gue kenalin ke Mama."
Sial. Benar-benar brengsek! Bisa-bisanya Xavier dengan mudah mengatakan hal tersebut pada Caca. Awas saja nanti, Caca akan membuat perhitungan yang lebih kejam dari pada yang saat ini Xavier lakukan untuknya. Harus pokoknya harus!
***
Pagi hari Caca sudah disambut dengan kekesalan melihat jas hitam yang bertengger di dalam kamarnya. Tadi malam Caca memang sengaja mencuci jas tersebut supaya bisa ia kembalikan secepatnya pada Xavier.
Tapi mengingat apa yang sudah dilakukan Xavier padanya membuat Caca merasa sangat geram dan ingin memukul habis cowok tersebut.
"Non Aca ditunggu temennya di luar," kata Mbok Ati menghampiri Caca.
"Usir aja, Mbok" pinta Caca dengan suara pelan.
"Aduh jangan diusir dong, Non. Temen Non ganteng gitu loh. Yakin mau Non usir?" tanya Mbok Ati memastikan.
Sepertinya ketampanan Xavier memang sudah menyihir seluruh mata manusia di dunia ini. Bahkan perempuan seusia Mbok Ati pun mengakui jik Xavier tampan.
"Mau simbok suruh masuk ke rumah Non?"
"Gausah Mbok," cegah Caca secepat mungkin. "Nggak perlu sejauh itu ngeladenin dia. Cuma nyusahin orang aja kok. Lagian ngapain sih Xavier datang ke sini. Ngancurin mood banget!"
Caca tidak bisa berbohong jika sejak semalam jantungnya berdegup sangat kencang, hingga membuat kedua matanya tidak sanggup untuk tertidur. Membayangkan jika Xavier akan datang menjemputnya sempat membuat Caca merasa terbang di awan yang tinggi.
"Stop baper sama Xavier, Ca! Dia itu cuma manfaatin lo doang! Ujung-ujungnya juga lo yang bakal sakit hati, Caca" dengan sekuat tenaga Caca meyakinkan diri untuk tidak terpengaruh pada Xavier.
"Caca berangkat dulu ya, Mbok. Nanti kalo Mama ke sini, Mbok jawab seadanya aja. Oke Mbok?" pamit Caca sembari menyalami tangan Mbok Ati.
Setelah itu Caca berjalan dengan langkah tegap keluar dari rumahnya. Menatap kesal wajah laki-laki yang sedang berdiri di dekat motor besar kebanggaannya.
"Lama," komentar Xavier melihat kedatangan Caca.
"Gue nggak nyuruh lo nunggu gue," timpal Caca.
"Mama yang nyuruh," sahut Xavier membuat Caca mengernyit. "Mama nyuruh gue buat ngantar jemput lo. Bukan gue sendiri yang mau."
Caca tersenyum sinis mendengar ucapan Xavier. Ternyata semua yang dia lakukan hanya untuk menuruti keinginan ibunya. Bukan karena kemauannya sendiri.
"Nggak usah jemput kalo nggak ikhlas!" tegas Caca hendak berlalu pergi namun tangannya dicekal oleh Xavier.
"Lo lupa semalem gue bilang apa?" tanya Xavier.
"Iya. Dan gue juga ogah buat nginget-inget."
"Gue suka cewek yang nurut. Bukan cewek pembangkang kayak lo," kata Xavier menatap Caca.
"Yaudah sana lo cari cewek yang nurut sama lo. Gue juga nggak maksa lo suka sama gue," cecar Caca berusaha melepas tangan Xavier.
"Kalo bisa udah pasti gue lakuin dari dulu," Caca menatap kesal wajah datar Xavier. "Lo kurang banyak usahanya. Udah gue bilang buat ngeyakinin Reva kok. Lo sih ngeyel sama saran gue. Jadi kualat sendiri!"
Senyum sinis terbit di wajah Xavier. Membuat Caca bergidik ngeri melihatnya.
Ayolah, siapapun bahkan Caca juga menyadari jika Xavier tampan. Tapi melihat senyum mematikan Xavier membuat Caca sendiri tidak kuasa melihatnya.
"Lepasin tangan gue. Bentar lagi udah bel masuk," Caca menggunakan tangan kanannya untuk melepas cekalan dari Xavier.
"Lo kalo mau datang telat jangan ngajak-ngajak gue dong. Gue nggak mau ikutan dihukum."
"Ide bagus," kata Xavier membuat Caca menaikkan sebelah alisnya. "Telat ke sekolah di hari pertama pacaran. I don't think it's a bad idea. That's right, sweetheart."
Siapa pun tolong bawa Caca pergi dari hadapan Xavier saat ini juga! Kalau Xavier terus memperlakukan Caca seperti ini, Caca tidak yakin jika pertahannya akan tetap kokoh. Sial sial sial!
***
"Tiongkok sudah dianggap sebagai pusat dunia sejak zaman dahulu. Meskipun negara tersebut sudah menjadi negara besar sejak lama tapi tidak membuat Tiongkok menjadi negara yang tidak pernah mengalami kondisi terpuruk. Masa-masa terjadinya revolusi …."
Bu Endang—guru sejarah di SMA Trisakti yang sudah berusia lima puluh lima tahun tersebut terus menjelaskan materi meski sebagaian besar siswa tidak memperhatikannya.
"Anjir! Ini kapan kelarnya sih? Udah bosen banget gue," keluh Romeo dengan satu buku yang terbuka di hadapannya, supaya Bu Endang tidak tau apa yang sedang ia lakukan.
"Bu Een kok nggak capek-capek gitu ngomong terus. Apa nggak pegel itu mulut dia."
"Diem," peringat Noah yang duduk di sebelahnya.
Kesalahan terbesar Noah adalah menerima permintaan Romeo untuk duduk bersebelahan. Noah lebih memilih duduk bersama Xavier yang tidak banyak bicara seperti Romeo. Benar-benar mengganggu.
"Eh anjay. Sandra posting foto cantik banget di instagram. Jadi pengin cepet-cepet gue halalin," Romeo tampak heboh memainkan ponselnya.
"Gebetan lo juga upload foto, No. Mau lihat nggak?"
"Romeo, sedang apa kamu menunduk seperti itu?" tanya Bu Endang.
"Nggak papa, Bu. Habis ngimpi ketiban duit terus saya cek beneran ada duit apa engga di bawah saya, Bu" jawab Romeo ngasal.
"Kamu berani tidur di jam pelajaran saya?"
"Bukan tidur, Bu. Cuma sekedar memejamkan mata saja," jawab Romeo yang dihadiahi gelak tawa oleh teman-teman sekelasnya.
"Sudah-sudah jangan berisik. Kita kembali fokus pada—"
Kringggg kriiingggg!
Bel tanda waktu istirahat bebunyi. Seluruh siswa mulai heboh di kelas dan membuat guru yang mengajar merasa pusing.
"Saya akhiri pelajaran hari ini. Jangan lup kerjakan LKS kalian halaman dua puluh tiga sampai dua puluh tujuh," ujar Bu Endah menutup pembelajaran kemudian berlalu meninggalkan kelas.
"Akhirnya bisa napas lega juga guee," kata Romeo terlihat meregangkan kedua tangannya.
"Heh. Mau kemana lo, No?"
"Migrasi," jawab Noah yang sudah duduk di sebelah Xavier.
"Kok jahat sih? Baru sehari duduk sama gue kok udah nggak betah," kesal Romeo.
"Salah sendiri brisik," sahut Noah.
"Salah mulu gue. Orang cuma mengeluarkan pendapat juga. Lo belajar PPKn apa enggak, Noaaah???"
"Gue jadi ragu kalo lo bisa masuk peringkat lima besar," ucap Romeo penuh selidik.
"Urus diri lo sendiri," tukas Noah. "Gausah urus orang lain kalo hidup lo belum bener."
"Hidup gue udah bener tau. Yang belum bener itu hati gue karena belum juga diterima sama Sandra. Astagaaa … gue harus gimana sih biar Sandra suka sama gue?" keluh Romeo merasa galau karena terus dicampakan.
"Tampang doang oke tapi masih jomblo," sindir Noah.
"Ngaca dulu woiii sebelum nyindir! Emang situ engga jomblo?"
"Gue jomblo yang bermartabat. Nggak kayak lo," sahut Noah lagi.
"Tau ah. Sebel gue ngomong sama lo," kata Romeo menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Gue nggak nyuruh lo ngomong sama gue," ujar Noah tidak ingin kalah dari temannya.
"Temen lo minta ditendang ke Antartika nih, Xav. Hari-hari kok ngajak gelud terus sama gue."
"Tendang sendiri kalo bisa," balas Xavier singkat.
"Bantuin dong."
"Ogah. Kurang kerjaan banget," tolak Xavier mentah-mentah.
"Jahat banget lo, Xav. Mentang-mentang lo anak—" Romeo menghentikan ucapannya saat teringat akan sesuatu.
"Hehh! Lo tadi pagi ngimpi apaan berangkat sekolah bareng Caca? Lo nggak lagi ngigo kan, Xav?"
"Nggak," jawab Xavier.
"Terus yang semalem juga lo nggak lagi mabuk, kan? Maksudnya … lo nggak bener-bener ngajak Caca pacaran sama lo, kan? Anjir banget sih, ya kali lo milih Caca cuma buat lo jadiin pengganti doang. Sayang banget tau!" tanya Romeo kembali teringat dengan kejadian semalam.
"Perasaan cewek bukan untuk dijadikan mainan," kata Noah dengan nada biacara yang datar.
"Kapan gue bilang mau mainin dia?" tanya Xavier.
"Lo nggak suka sama Caca," sahut Noah. "Jangan buat cewek baper kalo nggak mau tanggung jawab."
"Gue bakal tanggung jawab."
Ucapan Xavier membuat Noah dan Romeo menatap ke arahnya. "Lo bilang kalo mau jadiin Caca sebagai pacar sementara buat lo. Habis dapat Reva, terus Caca mau lo kemanain?"
"Jangan gitu, Xav. Caca pasti sakit hati kalo lo gituin. Habis dibuat melayang tinggi terus lo jatuhin ke dasar bumi. Nyesek cuy!" papar Romeo menanggapi.
Xavier tahu jika tindakannya ini sangat kejam untuk Caca. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Selagi bersama Caca dan membuat ibunya tidak banyak komentar, Xavier akan berusaha meyakinkan Reva.
"Sudahi saja sekarang sebelum lo buat—"
"Loh, Caca ngapain ke sini?" tanya Romeo melihat ke datangan Caca ke kelasnya. Ucapan Noah pun terhenti dan ikut menatap Caca.
Sedangkan Caca sendiri sedang berjalan kearah laki-laki menyebalkan yang sudah menguras emosinya sejak semalam.
"Makan," Caca meletakkan mangkok berisi soto dan nasi panas di hadapan Xavier.
"Cieee dibawain makanan sama pacar baluu cieee. Gue juga mau dibawain makanan juga dong, Caa" ledek Romeo namun tidak membuat Caca mengubah ekspresi wajahnya.
"Dimakan, Xav" kata Caca kembali menyuruh Xavier untuk makan.
"Nggak bakal mau dia, Ca" kata Romeo setelah tau apa yang Caca bawa. "Kenapa nggak mau?"
"Xavier itu anti makan nasi, Caca. Perlu lo catet nih kalo cowok lo itu nggak doyan sama nasi dan sayuran sejak bayi. Gatau deh itu orang kok aneh banget," tutur Romeo memberitahu Caca.
"Nggak nggak. Pokoknya lo harus makan."
"Nggak mau," tolak Xavier memalingkan wajahnya.
"Harus mau, Xav. Mama lo bilang sama gue kalo lo belum sarapan. Bisa sakit kalo lo nggak mau makan. Udah buruan dimakan sotonya," pinta Caca untuk kesekian kalinya.
"Jadi karena Mama lo bawain gue makanan?" tanya Xavier.
"Iyalah. Ngapain juga gue bawain makanan buat lo kalo bukan karena nyokap lo," sahut Caca malas.
"Nggak usah dilakuin kalo nggak ikhlas. Buang aja makanan ini," Xavier menjauhkan soto yang dibawakan Caca.
Astagaaa … ingin rasanya Caca menumpahkan soto yang di beli ke wajah Xavier. Enak saja dia menyuruh Caca membuang makanan yang sudah Caca beli.
"Gue ikhlas bawain makanan buat lo, Xavier. Beneran dari lubuk hati gue yang paling dalam. Kapan lagi coba gue dapat kesempatan bawain makanan buat cowok yang gue suka."
"Dimakan ya Xav sotonya. Entar lo bisa sakit kalo nggak makan," Caca menurunkan nada bicaranya dan berusaha selembut mungkin supaya Xavier mau menurutinya.
Xavier melirik sekilas wajah Caca yang tampak memohon kemudian berlih menatap makanan yang dibawakan oleh perempuan tersebut.
"Gue nggak suka makanan yang masih panas," kata Xavier terdengar seperti anak kecil yang merajuk.
Caca tidak langsung paham dengan maksud ucapan Xavier. Namun setelah ia berpikir beberapa saat, akhirnya Caca mengerti apa yang harus dia lakukan. Caca bergegas menarik satu kursi dan menempatkannya di dekat meja Xavier.
Satu tangan Caca meraih sedok dan mengambil satu suap soto yang sudah ada nasinya lalu meniupnya perlahan. Setelah dirasa makanannya sudah tidak terlalu panas, Caca mendekatkan sendok yang ia pegang ke depan mulut Xavier.
Satu alis Xavier terangkat melihat apa yang dilakukan Caca. Kebingungan yang Xavier rasakan terjawab saat Caca mengeluarkan suara. "Dicoba dulu. Gue rasa sotonya udah nggak sepanas tadi."
Xavier tampak mengerjapkan matanya beberapa kali. Takjub dengan sikap Caca yang bisa berubah dalam sekejap. Tidak ingin membuat perempuan tersebut menunggu lama, Xavier menerima suapan pertama dari Caca. Dan setelahnya, Xavier membiarkan perempuan tersebut menyuapi hingga makanan di hadapan Xavier habis.
"Sumpah! Kalian berdua nggak ada hati sama sekali suap-suapan di depan gue. Udah tau gue jomblo ngenes, kok dipamerin keuwuan kayak giniiii?" kesal Romeo lalu memilih pergi dari dalam kelasnya.
Xavier sama sekali tidak peduli dengan ucapan Romeo. Ia masih fokus memperhatikan perempuan yang begitu telaten menyuapinya saat ini. Tanpa Xavier tahu, ada seseorang yang sejak tadi menatapnya dengan tatapan tidak suka. Bukan tidak suka, tapi lebih merasa tidak terima melihat Xavier diperhatikan oleh Caca.
***