Xavier berjalan lunglai memasuki rumahnya. Tubuhnya terasa sanga lelah setelah selesai latihan basket. Ditambah lagi ia harus mengajar olahraga di kelas sebelah membuat tenaga Xavier terkuras habis.
"Xavier ke kamar Mama sebentar!"
Baru saja masuk ke dalam rumah, Xavier sudah disambut dengan teriakan lengking milik ibunya. Dengan langkah berat, Xavier berjalan menuju ke kamar ibunya yang berada di lantai satu.
"Ada apa, Ma" tanya Xavier setelah berada di dalam kamar dan duduk di atas sofa.
Tiana tersenyum melihat kedatangan putranya. Ia kemudian mengambil semua kotak persegi panjang dan meletakkan kotak tersebut di depan Xavier.
"Buat pacar kamu," kata Tiana membuat Xavier mengerutkan keningnya.
"Mama nggak salah—"
"Mama cuma nggak mau pacar kamu datang dengan kostum yang salah. Buat jaga-jaga saja, karena Mama nggak tau identitas pacar kamu itu dari keluarga seperti apa. Salah kamu sendiri tidak bisa memberikan informasi itu pada Mama," tutur Tiana menjelaskan pada putranya.
Profesi Tiana adalah sebagai seorang desainer. Ia memiliki beberapa butik yang sudah tersebar di kota-kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa. Jadi, gaun yang baru saja Tiana berikan pada Xavier adalah gaun rancangannya sendiri.
"Kalau Reva nggak bisa datang gimana, Ma?" tanya Xavier pelan.
"Berarti dia tidak ada niatan buat ketemu sama Mama," jawab Tiana tanpa pikir panjang.
"Kamu tidak wajib membawa Reva, yang Mama mau kamu itu membawa pasangan pilihan kamu. Kalau besok kamu tidak bisa membawa—"
"Sekarang udah jaman modern, Ma. Nggak ada lagi istilah perjodohan-perjodohan. Nggak bermutu sama sekali," sergah Xavier yang enggan membicarakan perjodohan konyol tersebut.
"Yang Mama maksud perjodohan itu bukan terus Mama bakal nikahin kamu sama anak temen Mama," kata Tiana membuat Xavier menoleh ke arahnya.
"Mama mau kamu coba berhubungan dekat dengan dia, siapa tau kalian cocok. Intinya, Mama berusaha untuk mencarikan pasangan yang pantas untuk kamu, Xavier"
Tiana menepuk pelan pundak putra semata wayangnya tersebut. Ia sama sekali tidak bermaksud mengekang pergaulan Xavier. Sebagai seorang ibu, Tiana hanya ingin Xavier mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya.
"Mama pergi ke butik dulu. Kamu jangan lupa makan malam. Mama sudah siapkan makanan di meja makan," pamit Tiana lalu beranjak pergi dari hadapan Xavier.
***
"Aca!"
Panggilan tersebut membuat Caca mendengus kesal. Dilihatnya Noah yang sudah berdiri di belakangnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa?" jawab Caca dengan nada bicara yang tajam.
"Jangan galak-galak jadi cewek. Entar Xavier tambah nggak suka sama lo," kata Noah yang kini sudah duduk di sebelah Caca.
"Habisnya lo rese sih. Ngapain manggil gue kayak gitu coba?" kesal Caca.
"Salah? Bukannya lo lebih suka dipanggil—"
"Tapi nggak sekarang, Noah" potong Caca. "Belum waktunya gue pake nama itu lagi."
"Mau sampai kapan?"
"Apanya?"
"Nyembunyiin diri lo."
"Nggak tau."
"Sampai Xavier demen sama lo?"
Caca kembali menatap tajam ke arah Noah. "Ngapain jadi bahas Xavier sih?"
"Biar lo seneng," jawab Noah santai.
"Gue lagi nggak pengin ngobrolin dia," sahut Caca malas.
"Tumben. Udah nggak suka lagi sama Xavier?"
Caca menggeleng cepat. "Kayaknya gue udah falling in love akut sama Xavier deh. Dikejemin dia pun bukannya buat gue benci tapi malah jadi tambah cinta."
"Bisa stress gue kalo nggak bisa dapatin Xavier."
Noah memilih diam dan memasukkan snack jagung ke dalam mulutnya. Membiarkan Caca kembali membicarakan pujaannya hatinya yang Noah tebak tidak akan ada habisnya.
"Kapan coba Xavier suka sama gue? Apa harus banget gitu gue jadi cewek antagonis kayak di novel-novel. Menurut Noah gimana?" tanya Caca.
"Lakukan apa yang ngebuat lo bahagia," jawab Noah singkat.
"Serius lo bakal dukung gue?" tanya Caca lagi. "Lo tetap bakal dukung meskipun gue jadi orang jahat?"
"Emang lo mau jadi orang jahat kayak gimana?" tanya Noah.
"Pengin nyingkirin Reva. Atau enggak ya gue mau ngefitnah dia biar Xavier enggak demen lagi sama Reva."
Sepertinya otak Caca memang sudah tidak waras lagi. Gara-gara terlalu lama mencintai Xavier sendiri membuat Caca lepas kontrol.
"Siap buat nanggung akibatnya?" Noah melirik sekilas wajah bingung Caca.
"Xavier bakal kecewa kalo tau lo itu cewek jahat. Kalo udah gitu, lo masih yakin kalo Xavier bakalan suka sama lo?"
Caca menggelengkan kepalanya. Merasa jika ide konyolnya tadi benar-benar tidak berguna sama sekali. Harusnya Caca memperjuangkan Xavier dengan cara yang baik-baik.
"Mau nginep atau pulang?"
"Pulang," jawab Caca membuat Noah lagi-lagi menghela napas panjang.
"Nanti malam Papa sama Mama pulang. Mereka pada kangen sama lo, Ca" kata Noah mengutarakan isi hati kedua orangtuanya.
"Gue juga kangen sama mereka," Caca memilih jujur, hanya saat berada di depan Noah.
"Terus? Kenapa nggak mau nginep?" tanya Noah lagi.
Caca beralih menatap Noah yang sudah sejak tadi menatapnya. Tanpa mengucapka satu kata untuk menjawab pertanyaan Noah, Caca justru melingkarkan kedua tangannya—memeluk tubuh Noah yang berada di sebelahnya. Caca mengeratkan pelukannya dan meletakkan kepalanya di atas dada bidang milik Noah.
"Pinjem pelukan lo bentar boleh, kan?" lirih Caca sambil mendongakkan wajahnya ke atas untuk menatap wajah Noah.
Satu tangan Noah menyentuh pipi kiri Caca sambil tersenyum manis. Mengangguk pelan dan membawa tubuh mungil Caca ke dalam pelukannya. Membiarkan perempuan tersebut melepaskan segala beban pikiran yang sedang dia rasakan. Bersamanya.
***
Berbelanja memang sudah menjadi hobi bagi sebagian remaja perempuan pada umumnya. Namun jika harus menemani orang lain berbelanja, sepertinya tidak lagi membuat bahagia dan tidak juga menyenangkan.
"Lo mau pilih baju yang kayak gimana sih, Riel?" tanya Caca merasa kesal karena sudah menunggu Ariel memilih baju selama lebih dari satu jam.
"Ribet banget," komentar Sandra.
"Gue juga bingung. Caca sih pake bilang kalo Noah juga ikut ke acara besok. Kan jadi bingung gue mau pake baju kayak gimana," cecar Ariel dengan kedua tangan yang penuh dengan gaun pesta.
"Noah nggak bakal peduli sama penampilan lo."
"Tapi gue peduli." sahut Ariel menanggapi ucapan Sandra.
"Pilihin baju buat gue dong, Ca" pinta Ariel.
Dengan terpaksa Caca berdiri dan mulai memilihkan baju untuk Ariel. Sebenarnya style yang dimiliki Caca dan Ariel itu jauh berbeda. Tapi biasanya, Ariel akan menerima apapun barang yang dipilihkan oleh Caca ataupun Sandra.
"Eh gaess. Ngomong-ngomong nih, gue kok udah lama nggak lihat Reva ya? Dia masih hidup atau udah gimana sih?" tanya Ariel membuka topik pembicaraan baru.
"Kemarin gue lihat dia di depan kelas sendirian. Lagi nungguin Xavier mungkin," cetus Sandra mengingat apa yang sudah ia lihat.
"Tapi kok udah jarang jalan-jalan bareng Xavier? Ya maksudnya, biasanya kan mereka sering muter-muter kelas bareng gitu," heran Ariel sambil mencomot jajan yang ia bawa dari rumah.
"Udah bosen mungkin," sahut Sandra acuh tak acuh.
"Wahhh. Peluang bagus buat lo tuh, Ca!" seru Ariel yang tidak langsung direspon oleh Caca.
"Pepet terus, Ca. Kalo perlu lo kasih pelet aja tuh Xavier. Biar bisa suka sama lo."
"Jangan ngadi-ngadi deh, Riel. Otak gue masih waras kok," balas Caca sambil berjalan ke arah Ariel membawa sebuah gaun berwarna biru tua.
"Yang ini gimana?" Caca menanyakan pada Ariel tentang gaun pilihannya.
"Bagus," kata Sandra mendahului ucapan Ariel.
"Menurut lo gimana, Riel? Mau apa enggak?"
Ariel mengangguk mantab. "Gue pasti mau sama semua pilihan lo kok. Apalagi kalo Sandra udah bilang bagus. Tambah yakin dong gue."
Ariel mengambil alih baju yang dibawa oleh Caca lalu membawanya ke tempat kasir. Sedangkan Caca kembali duduk di sebelah Sandra sambil memainkan ponselnya.
Ting!
Noah: lg dimana?
Caca mengetikkan sebuah balasan untuk pesan yang dikirimkan oleh Noah.
Caca: butik
Caca: knp?
Noah: ngapain?
Noah: katanya dh beli baju
Caca: nemenin ariel
Noah: berdua?
Caca: gaa
Caca: bertiga sama Sandra
Noah: oh
Noah: besok gw jemput jam 7
Noah: dandan yg cantik
Caca: gw emang udh cantik dari lahir
Caca: emot kiss, hehehe
Noah: iyain aj
Noah: lsg plg
Noah: jgn keluyuran
Noah: aws kalo sampe plg mlm!
Caca: iyaiya
Caca: bawel bgt jd cowok
Noah: bkn bwl
Noah: tp perhatian.
Caca menutup ponselnya tanpa membalas pesan yang dikirmkan Noah. Ia rasa Noah tidak akan marah meskipun Caca hanya membaca pesannya.
"Gue jadi kasian sama Noah," kata Sandra setelah tidak sengaja membaca pesan terakhir dari Noah.
"Samaa," sahut Caca.
"Kenapa lo anggurin cowok baik kayak dia, Ca?" tanya Sandra.
"Bukan gue anggurin. Gue juga sayang sama Noah, tapi bukan untuk dijadikan pacar," jawab Caca jujur.
"Lo beruntung punya Noah. Pasti dia selalu ngedukung lo, kan?"
Caca mengangguk. Membenarkan tebakan dari Sandra.
"Tapi kadang gue ngerasa bersalah sama Noah. Gue ngerasa kalo udah sering ngebuat Noah sakit hati."
"Karena lo lebih suka sama Xavier daripada Noah yang udah jelas suka sama lo?"
Caca kembali mengangguk. Tidak hanya sekali dua kali. Caca sering merasa bersalah jika ia meluapkan uneg-unegnya tentang Xavier di hadapan Noah. Betapa jahatnya Caca pada Noah yang selalu perhatian dengan Caca.
"Jangan melulu nyalahin diri sendiri, Ca. Nggak baik buat diri lo juga. Jalani aja apa yang udah digariskan sama Tuhan buat lo," ujar Sandra menghibur Caca yang sedang dalam suasana hati yang kurang baik.
"Makasih Sandra."
Caca merasa sangat bersyukur karena memiliki teman dekat yang sangat mendukungnya. Banyak orang baik yang berada di sekeliling Caca menyayangi Caca. Dan mereka semua, menjadi motivasi terbesar Caca untuk selalu menunjukkan kebahagian dalam hidupnya.
***
Reva baru saja mengirimkan pesan pada Xavier dengan isi yang sama setiap mengawali bulan baru. Mengatakan pada Xavier jika ia harus mencari pekerjaan baru supaya bisa membayar sekolah. Alhasil, Xavier yang sudah dimabuk cinta oleh Reva merelakan mengeluarkan uang tabungannya untuk membayar SPP perempuan tersebut.
Saat akan sampai di depan petugas admisnistrasi, Xavier melihat Caca yang juga sedang berdiri di depan petugas yang akan Xavier temui. Tanpa pikir panjang, Xavier berjalan mendekati petugas setelah urusan Caca selesai.
"Bayarin SPP Reva ya, Xav?" tebak Caca tanpa menyapa Xavier terlebih dulu.
"Jangan sok tau," kata Xavier dengan suara tajam.
"Emang gue tau kok. Bukan cuma gue juga. Semua fans lo juga tau kalo lo rajin bayarin SPP-nya Reva. Jangankan SPP, apa-apa yang Reva butuhin juga lo sediain, kan?" Caca tersenyum simpul ke arah Xavier.
"Nggak sopan," sindir Xavier.
Caca berdecak kesal. "Namanya juga fans, Xav. Pengin tau apapun tentang orang yang disuka. Sama halnya kayak lo yang pasti pengin tau apapun dan melakukan apapun supaya tau betul-betul tentang Reva."
"Mba Caca ini sudah, Mba" kata petugas administrasi menyerahkan bukti pembayaran pada Caca.
"Oh ya Bu. Sama ini bayar field study-nya Ariel, Bu. Kata Ariel uangnya pas," Caca menyerahkan sebuah amplop yang tadi diberikan oleh Ariel.
"Oke Mba, saya periksa dulu ya," kata ibu petugas.
Xavier memperhatikan Caca yang sedang bersender di depan loker sambil memegang bukti pembayaran SPP, yang sepertinya bukan milik Caca.
"Lo jadi pembantu di kelas?" tanya Xavier.
"Enggak lah. Kenapa lo tanya gitu?" heran Caca yang membuat Xavier melirik ke arah bukti pembayaran di tangan Caca.
"Ohhh, ini punya Tomi yang nitip bayar SPP soalnya dia kan tiap hari lagi sibuk bimbingan olimpiade. Terus ini punya Sesil nitip bayar field study, tadi bapaknya ke sekolah terus ngepasin gue yang lagi ada di kantor. Sesil lagi opname di rumah sakit jadi nggak bisa sekolah. Nah yang itu punya Ariel, dia katanya mager mau bayar sendiri soalnya jauh dari kelas. Terus …"
"Karena gue orangnya baik pake banget, gue yang bantuin mereka-mereka buat bayarin ke Bu Titi," tutur Caca mengakhiri penjelasannya.
"Pikirin dulu kewajiban lo, bukan kewajibannya orang lain," kata Xavier.
"Mba Caca sudah lunas administrasi sampai lulus kok. Mas Xavier perlu tau nih kalo Mba Caca paling rajin bayar SPP. Yang buat field study juga sudah dilunasi dari awal semester," papar Bu Titi membuat satu alis Xavier terangkat.
Lain halnya dengan Caca yang mulai gelagapan mendengar ucapan dari Bu Titi. Ia sedang mempersiapkan alasan yang logis barangkali Xavier mencurigainya.
"Dapat uang sebanyak itu darimana?" tanya Xavier penuh selidik.
Nah, benar kan. Xavier pasti akan mencurigai Caca. Satu pun tidak hal baik yang Xavier lihat dari Caca.
"Dari hasil kerja dong, Xav. Lo juga tau kan kalo gue tiap hari kerja di minimarket."
"Gaji di sana nggak mungkin ngebuat lo bisa ngelunasin SPP sampe lulus. Emang lo nggak bantu ngurus kebutuhan hidup lo sama nyokap lo?" Xavier masih belum puas dengan jawaban Caca.
Memang sangat salah jika memilih berdebat dengan Xavier. Pasti ada saja komentar yang akan Xavier ucapkan untuk menjatuhkan lawan bicaranya.
"Ibuk gue juga kerja kali, Xav. Dan uang ini udah gue kumpulin sejak SMP. Karena gue punya tekad buat belajar di sekolah yang tergolong elit, gue juga harus siapkan dana yang cukup sebelum gue bener-bener daftar ke sekolah ini."
"Yang kalian tau kan sekedar gue kerja di minimarket. Nggak tau kalo mungkin gue kadang lembur biar dapat gaji bonus. Bisa juga gue ikut bisnis online. Ikut undian berhadiah. Dan masih banyak lagi lah kerjaan gue yang kalian nggak tau."
"Ibuk gue juga kerja kok. Dan alhamdulillah setiap hari dagangannya laris. Jadi gue kumpulin gaji gue dan ibuk gue, terus kita kelola bersama buat mencukupi kebutuhan sehari-hari," Caca menjelaskan pada Xavier dengan alur sebaik mungkin supaya tidak membuat laki-laki tersebut curiga.
Tanpa Caca tahu, ucapan Caca berhasil membuka hati Xavier secara perlahan. Ia jadi membandingkan kehidupan Caca dan Reva, yang juga sama-sama dari keluarga sederhana. Xavier pikir, Reva seharusnya bisa seperti Caca. Bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhannya tanpa melibatkan orang lain.
"Loh, Xav. Lo mau kemana? Gue udah kelar bayarnya nih," kata Caca saat melihat Xavier meninggalkan tempatnya.
"Nggak jadi," jawab Xavier singkat lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Aneh. Caca benar-benar tidak bisa menebak kepribadian Xavier yang sering berubah-ubah setiap waktu. Seperti bunglon, tapi bedanya kalau Xavier itu ganteng.
***