"Caca yang jadi center!"
Caca mendelik sempurna mendengar keputusan yang dibuat oleh Tamara. Memang bukan hal yang buruk. Tapi Caca merasa belum sepantasnya memimpin pertunjukan.
"Pada setuju apa nggak kalau Caca yang jadi center?" tanya Tamara pada anggota cheers lainnya.
"Setujuuuu!" jawab mereka serempak.
Tamara menatap Caca penuh kemenangan. Berhasil membuat Caca tidak dapat berkutik dengan keputusannya.
"Ayo mulai latihan sekarang," cetus Tamara lalu mengajak anggotanya memasuki lapangan basket.
"Kok di sini lagi," keluh Caca terlihat tidak bersemangat.
"Heh! Ada gebetan itu jangan kelihatan murung gitu, Ca. Entar cantiknya ilang," peringat Ariel menunjuk ke arah Xavier yang sedang berlatih bersama teman-temannya.
"Lo nggak deg-degan latihan terus dilihatin sama Noah?" tanya Caca.
"Ya deg-degan dong. Tapi kan gue seneng, Ca. Jadi tambah semangat juga latihannya," jawab Ariel.
Andai saja Caca bisa seperti Ariel yang selalu bersikap santai di depan gebetan. Sebenarnya Caca bisa saja bersikap seperti Ariel, namun karena beberapa hal yang menimpanya dengan Xavier akhir-akhir ini membuat Caca sering merasa salah tingkah jika berada satu tempat dengan Xavier.
"Tolong jangan lihatin gue kayak kemarin-kemarin, Xav. Cuma buat orang baper tapi nggak mau tanggung jawab," batin Caca melirik sekilas ke arah Xavier kemudian kembali fokus menyusul Tamara untuk memulai latihan.
Di saat yang bersamaan, Xavier kembali memperhatikan Caca seperti yang ia lakukan semenjak Caca bergabung dengan anggota cheers.
"Jangan cuma dilihatin," kata Noah yang kini sudah duduk di sebelah Xavier.
"Maksud lo apa?" tanya Xavier.
"Cantik, baik, pinter, dan yang jelas suka sama lo. Jelas juga keluarganya. Ada lagi yang perlu lo raguin dari Caca?" Noah tersenyum miring sambil menatap Caca yang sudah memulai latihan bersama teman-temannya.
"Gue nggak suka sama dia."
"Cuma belum sadar aja," ucap Noah membuat Xavier mengernyit.
"Ngapain ngelihatin Caca kalo lo nggak suka?" Noah balik bertanya pada Xavier.
"Gue ngelihatin semua anak cheers," jawab Xavier menyangkal kebenaran yang ada.
"Oh ya? Serius lo nggak bohong sama gue?" tanya Noah lagi.
Xavier mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Tidak lagi merespon merespon pertanyaan Noah.
"Lo nggak pinter bohong," kata Noah. "Terlalu lama stuck sama yang nggak pasti ngebuat lo bodoh."
"Coba tanya sama hati lo sendiri. Kenapa dari kemarin-kemarin lo hobi ngelihatin Caca. Emang nggak sengaja atau lo mulai suka sama dia. Jangan sampai lo nyesel kalo tau diri lo telat menyadari perasaan lo sendiri."
Noah beranjak dari duduknya dan berjalan menjauhi Xavier. Membiarkan temannya tersebut untuk merenungi perasaanya sendiri.
"Menyukai Caca?" tanya Xavier dalam hati.
Xavier menggelengkan kepalanya. Meyakinkan diri jika ia tidak memiliki perasaan apa-apa pada Caca. Sampai saat ini.
***
Hujan kembali mengguyur sebagian besar wilayah di Jakarta. Ketika siang hari terlihat sangat panas, namun malam hari justru terasa dingin disertai adanya hujan. Menurut berita yang ada bulan ini sedang memasuki musim pancaroba.
"Udah minum vitamin belum, Ca?" tanya Dela sambil merapikan rak jajanan.
"Udah tadi siang," jawab Caca yang juga memiliki kesibukan yang sama.
"Lo tumben banget kemarin ijin nggak masuk kerja? Lagi ada banyak tugas sekolah?" tanya Dela lagi.
Caca pun mengangguk. "Capek banget kemarin. Jadinya enggak berangkat kerja."
Saat pertama kali mengikuti latihan cheers, Caca merasa seluruh tubuhnya akan remuk. Ditambah lagi Caca jarang berolahraga. Semakin membuat Caca merasa sangat lelah dan ingin tidur lebih awal.
"Malam ini gue lembur, Ca. Lo kalo udah kelar kerja bisa langsung pulang aja. Oke?" kata Dela memberitahu pada teman kerjanya.
Setelah selesai menatap jajanan di rak, Dela kembali ke gudang untuk meneruskan pekerjaan lainnya. Sedangkan Caca kembali ke tempat kasir karena ia bertukar tempat dengan Dela.
Tring!
"Selamat datang, selamat berbelanja …." Caca menyambut setiap pelanggan yang datang denyum yang merekah di wajahnya.
Caca melakukan hal tersebut pada semua pelanggan tanpa terkecuali. Begitu juga saat Ariel dan Sandra datang, Caca melakukan hal yang sama pada kedua temannya tersebut.
"Dela mana, Ca? Enggak masuk kerja hari ini?" tanya Ariel sambil berjalan mendekati Caca.
"Ada di gudang," jawab Caca.
"Buat lo," kata Sandra memberikan nasi goreng ayam yang ia bawa dari rumah.
"Wahhh! Masih anget nih. Makasih ya, San" ucap Caca terlihat bersemangat saat mendapatkan makanan dari Sandra.
Sambil menemani Caca makan, Sandra dan Ariel ikut duduk di dalam bilik kasir. Mereka berdua tentu sudah meminta ijin dulu pada pemiliki minimarket sebelum ikut menemani Caca bekerja.
"Lo kok nggak pernah cerita ke gue kalo punya hubungan deket sama Noah, Ca?" tanya Ariel memecah keheningan.
"Sorry-sorry," lirih Caca sambil terkekeh pelan. "Gue pikir time-nya belum tepat."
"Coba aja gue tau dari dulu-dulu. Pasti nggak bakal deh gue suudzon sama lo," kata Ariel.
"Emang lo suudzon soal apa?" tanya Sandra.
"Gue sempet mikir kalo Caca mau ngerebut Noah dari gue. Sering banget gue mikir kayak gitu. Tapi pas inget kalo Caca masih cinta mati sama Xavier, pelan-pelan gue jadi enggak mikir yang aneh-aneh lagi tentang Caca," tutur Ariel menjelaskan perasaannya.
"Overthinking banget," sahut Sandra.
"Gue kan udah janji mau ngedukung hubungan lo sama Noah, Riel. Gue pantang buat ingkar janji. Apalagi sama temen sendiri," ucap Caca diiringi dengan senyum manis di wajahnya.
"Padahal gue dukung lo sama Noah," timpal Sandra secara tidak langsung membuat Caca dan Ariel menoleh ke arahnya.
"Kok lo jahat sih, San" kesal Ariel tampak mengerucutkan bibirnya.
"Bukan jahat. Gue cuma mikir kalo Caca mungkin akan lebih bahagia sama Noah daripada Xavier," kata Sandra.
"Kenapa lo mikirnya gitu?" tanya Ariel penasaran.
"Karena Noah suka sama Caca."
Ariel tampak mengangguk paham. Merasa jika ucapan Sandra ada benarnya juga.
"Tapi gue nggak suka sama Noah. Gue sukanya sama Xavier. Goblok banget nggak sih gue?" heran Caca pada dirinya sendiri.
"Emang," sahut Sandra. "Cinta udah ngebuat otak lo nggak waras."
"Hish. Sandra kalo ngomong suka nylekit. Yang manis dikit dong San bahasanya," komentar Ariel pada Sandra.
"Tapi Sandra ada benernya juga. Xavier emang udah ngebuat gue jadi goblok tau. Gara-gara gue suka sama dia, gue jadi nggak bisa suka sama cowok lain. Jadi memperlama status jomblo gue dong!" rengek Caca merutuki kebodohannya.
Caca semakin lahap menyantap makanannya setiap kali stress atau sedang memikirkan satu hal yang dirasa sangat berat untuknya.
"Pelan-pelan Ca makannya. Gue paham kok, kalo pura-pura kuat dan bahagia juga butuh tenaga. Samangat! Kita satu nasib kawan," ujar Ariel menunjukkan senyum manisnya di hadapan Caca.
***
Lima belas menit berlalu, namun belum juga ada guru yang datang ke lapangan untuk mengajarkan olahraga pada kelas Caca. Padahal Tomi—sang ketua kelas sudah bersusah payah mengumpulkan anak buahnya untuk bergegas ke lapangan supaya tidak dimarahi oleh guru.
"Duhhh. Kebelet makan gue kalo kelamaan panas-panasan kayak gini," keluh Ariel sambil berteduh di bawah pohon.
"Makanan terus yang lo pikirin," sindir Sandra.
"Emangnya lo nggak mikirin makanan? Lo nggak pernah laper, San?" tanya Ariel.
"Laper lah. Lo pikir gue benda mati?" jawab Sandra.
"Yaudah sih. Sesama benda hidup itu harus saling menghormati, San. Jangan malah saling menyindir. Nggak baik tau," ujar Ariel membuat Sandra berdecak pelan dan memilih untuk diam.
Lain halnya dengan Ariel dan Sandra, Caca sejak tadi sedang fokus menenangkan dirinya sambil bersandar di bawah pohon supaya tidak kepanasan. Lagi-lagi Caca merasa mengantuk karena semalam marathon drama yang baru saja selesai.
"Tomi buruan panggil gurunya sih! Keburu kulit gue item terus nggak cantik lagi. Entar Noah tambah nggak suka sama gue kalo gue item!" seru Ariel dengan suara cemprengnya.
"Gurunya nggak ada di kantor," kata Tomi terdengar sangat santai.
"Terus sekarang kita jamkos? Kok lo nggak bilang dari tadi sih?!"kesal Ariel.
"Nggak ada jamkos. Xavier sama temen-temennya yang bakal ngajarin kita," sahut Tomi.
"Kapan mereka datangnya? Jangan-jangan mereka lupa lagi. Rugi dong gue nggak jadi ngelihat gebetan," Ariel merasa kesal jika ia gagal bertemu Noah pada mata pelajaran olah raga hari ini.
"Sebenarnya lo mau olahraga apa mau ketemu Noah?" tanya Sandra.
"Dua-duanya dong, San. Ibarat pepatah tuh: sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pinter kan gue," jawab Ariel penuh percaya diri.
Sandra hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol Ariel yang setiap hari tidak juga berubah.
"Lo coba panggil Xavier di kelasnya, Tom" kata Sandra.
"Jangan gue dong. Gue nggak deket sama Xavier," tolak Tomi.
"Nggak masuk akal banget. Lo tinggal ke kelasnya Xavier terus tanya sama dia bisa ngajarin kelas kita apa enggak," papar Sandra memberi perintah pada ketua kelas.
"Gue takut beneran, San. Kalo Xavier lagi nggak mood terus marah sama gue gimana? Gue nggak mau stress sebelum selesai olimpiade," keluh Tomi terlihat tidak memiliki keberanian untuk menemui Xavier.
"Terus siapa yang mau nyamperin dia sekarang?"
"Caca aja sih yang ke sana," kata Tomi.
Merasa jika namanya dipanggil membuat Caca membuka kedua matanya. Menatap ke arah teman-temannya yang kini menatap ke arahnya.
"Lo mau kan, Ca?" tanya Tomi.
"Mau apaan?" tanya Caca yang masih setengah sadar.
"Nyamperin Xavier ke kelasnya."
"Ha?!" kesadaran Caca seketika pulih sempurna mendengar nama Xavier.
"Nggak-nggak. Gue nggak mau," tolak Caca mentah-mentah.
"Mau dong, Ca. Biar kelas kita cepetan dapat kepastian," kata Tomi.
"Ketua kelasnya kan lo, Tom. Bukan gue. Harusnya lo yang nyamperin dia dong," protes Caca yang kini sudah berdiri.
"Caca jangan gitu dong. Ayo sih bantuin gue," pinta Tomi tampak sangat memohon.
"Ayo dong, Ca. Kita-kita udah kepanasan nih."
"Iya, Ca. Samperin aja sih Xavier-nya."
"Nggak bakal marah deh Xavier kalo disamperin sama lo."
"Ayo Ca ayo!"
Caca mengusap wajahnya kasar. Kesal sekali dengan teman-temannya yang hobi memojokkan dirinya jika menyangkut soal Xavier.
"Oke! Gue samperin Xavier sekarang," putus Caca membuat teman-teman sekelasnya bersorak sorai tak jelas.
Enggan mendengarkan seruan-seruan dari mereka, Caca memilih untuk segera pergi dari lapangan. Semakin cepat ia menemui Xavier, makan akan semakin cepat jantungnya kembali normal.
"Oke Caca, selow selow. Lo pasti bisa nahan diri dan nggak baper sama Xavier," kata Caca meyakinkan dirinya sendiri.
Caca mempercepat langkahnya menuju kelas Xavier. Sampai akhirnya Caca berhenti di depan kelas bertuliskan XI IPA 5.
Tok tok tok.
"Permisi …" Caca berdiri di ambang pintu sambil mengintip isi kelas tersebut.
"Silakan masuk," kata Bu Lita yang sedang mengajar di kelas tersebut.
Caca mengangguk paham lalu berjalan sopan memasuki kelas XI IPS 7. Ia kemudian mengutarakan maksud kedatangannya ke kelas tersebut pada Bu Lita.
"Ijin memanggil Xavier untuk mengajari olahraga di kelas saya boleh, Bu?" tanya Caca sesopan mungkin.
"Wuihhhh! Caca ngajak Xavier ngedate gaess!" seru Romeo memulai kericuhan di kelas.
Siswa lain yang tadinya diam pun mulai menyoraki Caca dan melontarkan gurauan-gurauan padanya.
"Masih sekolah, Ca. Kalo mau kencan ntar aja pas pulang sekolah," kata Romeo dengan suara lantang.
"Romeo diam!" peringat Bu Lita tegas dan membuat seisi kelas seketika diam.
"Xavier bisa meninggalkan kelas saya hari ini," kata Bu Lita mempersilakan Xavier untuk mengajar olahraga di kelas Caca.
"Terimakasih, Bu. Saya permisi dulu," pamit Caca yang diangguki oleh Bu Lita.
Caca keluar dari kelas Xavier setelah melihat laki-laki tersebut sudah berjalan keluar kelas. Situasi awkward pun melanda saat Caca berjalan di belakang Xavier. Sejak keluar dari kelas, Xavier sudah membawa sebuah bola voli yang Caca sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
Baiklah, Caca tidak akan peduli asal muasal bola yang dibawa Xavier. Yang terpenting ia sudah berhasil membawa Xavier keluar dari kelas untuk mengisi jam olahraga di kelasnya.
Dug!
"Aduh!" ringis Caca saat ia tidak sengaja menubruk punggung Xavier.
"Ish! Bilang-bilang dong kalo mau berhenti. Sakit tau jidat gue kepentok punggung lo yang kayak batu," kesal Caca sambil mengusap-usap jidatnya dengan satu tangan.
Xavier tampak memperhatikan Caca dan membuat Caca merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.
"Jangan ngelihatin gue kayak gitu dong, Xav. Jangan buat gue bapar juga kalo nggak mau tanggung jawab," ujar Caca memalingkan wajahnya dari Xavier.
"Ngapain jalan di belakang?" tanya Xavier mulai mengeluarkan suaranya.
"Ya-ya terus gue harus jalan dimana?" sahut Caca gugup.
"Lo bukan budak apalagi bodyguard gue."
"Iya gue tau. Tapi gue nggak bisa kalo harus jalan di samping lo."
"Kenapa?" tanya Xavier.
Caca tampak mendengus kesal. "Supaya gue nggak baper lah. Lo sih nggak pernah ngerasain mencintai tapi enggak dicintai. Jadi ya nggak tau apa yang gue rasain."
"Emang lo sanggup buat tanggung jawab misal gue jalan di samping lo terus berakhir dengan kebaperan gue yang akut? Nggak sanggup kan? Nggak bakal mau juga pastinya. Gue cukup sadar diri kok Xav buat jaga jarak dari lo. Gue juga masih sayang sama diri gue sendiri. Gue nggak mau sakit hati kalo terlalu berhasap sama …."
Caca terkejut bukan main saat Xavier tiba-tiba menarik satu tangannya dan membuat Caca tidak sanggup menyelesaikan ucapannya. Jangankan berbicara, Caca sendiri tidak yakin bisa menormalkan degupan jantungnya saat ini.
"Astaga … ini terlalu dekat. Sumpah, gue nggak sanggup," gerutu Caca dalam hati.
Berada dengan jarak yang begitu dekat dengan Xavier membuat tubuh Caca menegang. Apalagi satu tangan Xavier masih menggenggam erat pergelangan tangan Caca. Benar-benar satu tindakan yang tidak pernah Caca bayangkan akan jadi kenyataan.
"Bawel banget," kata Xavier kemudian melanjutkan langkahnya dengan satu tangan yang masih menggandeng tangan Caca.
Tidak-tidak. Caca tidak boleh baper hanya karena hal semacam ini. Ayolah Caca … Xavier pasti sering melakukan hal seperti ini dengan perempuan lain.
"Ya ampun, kenapa jantung gue deg-degan parah cuma gara-gara digandeng Xavier?"
***