"Makan dulu, Non"
Mbok Ati menyajikan satu porsi pecel di hadapan Caca yang masih sibuk bermain ponsel. Hari ini Caca pulang sekolah lebih awah, jadi bisa membantu Mbok Ati berjualan.
"Makasih, Mbok" balas Caca kemudian mulai menyantap pecel tersebut.
"Non Aca masih betah tinggal sama Simbok?" tanya Mbok Ati yang dibalas anggukan kepala oleh Caca.
Bukan kali pertama Mbok Ati menanyakan hal semacam itu pada Caca—majikannya. Sudah lebih dari lima tahun Caca tersebut memilih tinggal bersamanya, daripada bersama kedua orangtuanya. Perceraian yang menimpa kedua orangtua Caca, cukup membuat Mbok Ati sadar jika hal tersebut membuat Caca trauma. Usia Caca saat itu masih terbilang kecil dan masih butuh kasih sayang kedua orangtunya.
"Kalo Caca udah siap, nanti Caca ajak Simbok buat balik ke rumah Mama," kata Caca sambil menunyah pecel di dalam mulutnya.
Mbok Ati tersenyum sendu melihat wajah Caca. Merasa terharu dan juga bangga karena Cacadapat tumbuh dengan baik meski tidak di damping secara langsung oleh kedua orangtuanya. Mbok Ati selalu berusaha sebaik mungkin menjaga Caca sesuai amanah yang diberikan oleh orangtua Caca, yang tak lain adalah majikannya. Mbok Ati bahkan sudah menganggap Caca sebagai anaknya sendiri dan selalu siap sedia berbagi keluh kesah dengan Caca.
"Oh ya Mbok, nanti sore Caca mau pergi sama Noah. Paling pulang malem. Simbok makan malam sendiri nggak papa, kan?" tanya Caca membuat Mbok Ati tersenyum sembari mengangguk pelan.
"Non Aca jangan lupa makan malam juga. Jangan makan yang pedes-pedes," ujar Mbok Ati mengingat jika Caca mengalami gangguan asam lambung.
"Siapp bos!" seru Caca menampilkan senyumnya, lalu kembali menyelesaikan makan siangnya sebelum ia pergi ke rumah Noah.
***
Caca menggerutu kesal dari dalam mobilnya saat melihat jalanan yang begitu padat. Satu hal yang paling Caca benci jika berkendara sendiri adalah saat menemui kemacatan seperti ini. Membosankan sekali menunggu kendaraan lain berjalan supaya kendaraan yang Caca kendarai bisa berjalan setelahnya.
"Noah kenapa nggak bisa jemput sih? Tau bakal macet gini mending nggak usah pergi," gerutu Caca.
Di perjanjian awal, Noah harusnya menjemput Caca di rumah Mbok Ati dan menemani Caca membeli baju untuk acara minggu depan. Tapi siang tadi Noah mengirim pesan kalau ia tidak bisa menjemput Caca dan menyuruh Caca datang ke rumahnya.
Alhasil, Caca harus melewati kemacetan selama satu setengah jam untuk bisa sampai di rumah Noah. Sepertinya Caca akan beristirahat sebentar di rumah Noah sebelum ia pergi ke butik.
"Sore Pak Tisna!" sapa Caca pada tukang kebun di rumah Noah.
"Sore Non Aca," balas Pak Tisna ramah.
Setelah memastikan mobilnya terparkir di garasi, Caca segera turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah Noah. Terlihat sangat sepi. Mungkin kedua orangtua Noah belum pulang dari bekerja.
"NOAH!!!" seru Caca dengan suara nyaring.
Belum ada jawaban yang Caca terima. Mungkin Noah sedang bersemedi dalam kamarnya yang kedap suara sehingga tidak mendengar panggilan Caca.
"Capek banget gue. Tidur bentar deh," kata Caca lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk yang berada di ruang tamu.
Kedua mata Caca mulai terpejam. Tubuhnya terasa remuk akibat duduk terlalu lama di dalam mobil.
"Ngapain lo di sini?"
Suara serak tersebut membuat Caca terkejut bukan main. Ia yakin bukan Noah pemilik suara tersebut. dengan gerakan ragu, Caca menolehkan wajahnya ke belakang dan menemukan Xavier yang berdiri tegap di belakangnya.
"Mampus lo, Ca" batin Caca dalam hati.
"Hai Xav," sapa Caca sambil terkekeh pelan.
Xavier tidak membalas sapaan Caca melainkan ikut serta duduk di atas sofa yang berada di hadapan Caca.
"Lo … lagi ada acara sama Noah?" tanya Caca penuh kehati-hatian.
"Jawab dulu pertanyaan gue," cetus Noah dengan tatapan tajam.
Caca seketika menunduk. Menyesali kecerobohannya karena tidak mengabari Noah jika ia sudah sampai di rumahnya. Lebih menyebalkan lagi, kenapa Noah mengijinkan Xavier datang di saat Caca juga memiliki janji dengannya?
"Nggak bisa jawab pertanyaan gue?" tanya Xavier.
Caca menggeleng cepat. "Gue ada janji sama Noah."
"Janji apa?"
"Emm …" Caca berusaha keras berpikir untuk menemukan alasan yang tidak membuat Xavier curiga.
"Aah, Arie nitip sesuatu buat Noah dan dia nyuruh gue buat ngasihin ke Noah. Makanya gue datang ke sini," ujar Caca dengan satu kali tarikan napas.
Berharap jika Xavier mempercayainya, atau paling tidak Xavier tidak curiga dengan jawaban Caca.
"Noah nggak ada di rumah."
"Eh?"
"Papanya nyuruh dia buat bantu ngurusin kerjaan," kata Xavier terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sepertinya Caca tidak langsung mempercayai ucapan Xavier. Ia tampak mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menemukan pesan masuk dari Noah.
Noah: Sorry, papa tiba-tiba nyuruh gw buat bantuin nyelesaiin pekerjaan
Noah: Lo bisa pergi sama Xavier
Noah: Gw udah nyuruh dia buat nemenin lo
Noah: Gausah alay
Noah: Anggap aja simulasi kencan
Caca menggeram kesal membaca pesan dari Noah. Bisa-bisanya Noah bertindak ceroboh dalam situasi seperti ini. Kalau sampai Xavier curiga dengan identitas Caca, Noah akan menjadi orang pertama yang Caca salahkan.
"Gue nggak peduli ada hubungan apa antara lo sama Noah, yang jelas gue cuma mau jadi sahabat yang baik untuk Noah," ujar Xavier terlihat membuat Caca mendongakkan kepalanya.
"Gue anter lo beli baju."
"Eh, nggak usah Xav. Gue bisa beli baju sendiri kok," tolak Caca.
Bagaimana bisa Xavier tau jika Caca akan membeli baju? Tapi tunggu dulu, jika Xavier sudah tahu alasannya datang ke rumah Noah, kenapa tadi ia repot-repot bertanya pada Caca?
"Gue anter."
"Nggak usah!" serus Caca secara tidak sengaja. "Maaf-maaf. Gue nggak mau ngerepotin lo. Lagian juga gue bisa beli sendiri kok. Jadi biar gue pergi—"
"Bisa jalan sendiri?" tanya Xavier yang kini sudah berdiri di sebelah Caca.
"Gue seret kalo emang nggak bisa jalan," lanjutnya yang kemudian berlalu pergi dari hadapan Caca.
Benar-benar tidak bisa diharapkan. Tidak ada satu hal pun yang Caca harapkan dapat ia terima dari Xavier. Karena Caca bukanlah Reva. Jadi tidak selayaknya Caca menaruh harapan pada Xavier.
***
Sepertinya Caca perlu banyak bersabar untuk hari ini. Mulai dari sabar melewati kemacetan, sabar dengan rencana konyol Noah, dan sabar menghadapi sikap menyebalkan Xavier.
Caca pikir Xavier akan menemaninya membeli baju. Tapi ternyata, Xavier hanya mengantar Caca sampai di parkiran dan menunggu di dalam mobil. Kalau hanya sampai sejauh ini, lebih baik Caca pergi sendiri saja yang justru membuatnya merasa lebih tenang dan leluasa.
Meskipun Caca kesal dengan sikap Xavier, namun tindakan Xavier kali ini cukup membantu Caca untuk tidak terlihat mencurigakan di hadapan Xavier. Karena Caca berbelanja sendiri, ia memiliki waktu untuk menelfon Sandra untuk menjemputnya. Caca juga sudah membawa barang belanjaannya ke mobil Sandra sebelum akhirnya ia datang menemui Xavier.
Tok tok tok.
Xavier yang tadinya sedang memainkan ponsel tampak membuka kaca mobilnya. Menemukan senyum Caca yang menyambutnya dari luar mobil.
"Makasih udah anterin gue ke sini. Gue pulang sama Sandra aja, jadi lo nggak perlu nganterin gue pulang," kata Caca sambil memperlihatkan keberadaan mobil Sandra yang tidak jauh dari mobil Xavier.
Sekilas Xavier melirik ke arah mobil yang tidak asing dari penglihatannya. Ia juga bisa melihat jelas keberadaan Sandra yang berada di dalam mobil.
"Oh ya. Gue beliin ini buat lo. Kalo lo nggak suka, bisa kasih ke orang lain yang ada di rumah lo," Caca menyodorkan sebuah bungkusan berisi martabak manis di atas dashboard mobil.
"Gue balik dulu. Sekali lagi makasih udah anterin gue belanja," pamit Caca kemudian beranjak pergi dari hadapan Xavier.
Lagi. Caca pergi begitu saja dari hadapan Xavier bahkan sebelum Xavier membalas ucapan perempuan tersebut.
Xavier melirik ke arah bungkusan berisi martabak pemberian Caca. Ia memindahkan bungkusan tersebut di atas jok yang berada di sebelahnya lalu mulai menjalankan mobilnya ke luar parkiran.
Setelah kurang lebih dua puluh menit mengendarai mobil, Xavier sampai di depan rumahnya. Ia kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Seperti biasanya, sang ibu sudah menunggunya dan ruang tengah yang mengharuskan Xavier menemuinya.
"Tumben tidak sampai malam hari," komentar Tiana saat melihat putranya duduk di hadapannya.
Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Xavier justru meletakkan martabak pemberian Caca di atas meja.
"Mama tidak yakin kalau kamu yang membelinya," kata Tiana yang sudah paham dengan sikap Xavier.
"Teman Xavier yang beli," ujar Xavier.
"Temanmu yang mana? Noah? Romeo? Atau perempuan itu yang membelikan makanan ini?" tanya Tiana sengaja tidak menyebut nama Reva.
"Bukan mereka bertiga, Ma" jawab Xavier mulai menyandarkan tubuhnya ke belakang.
Tiana tampak menganggukkan kepalanya. Ia membuka sekilas bungkusan yang dibawa oleh putranya dan kemudian menyunggingkan senyuman.
"Mama tidak menyangka kalau kamu memiliki teman perempuan selain Reva."
Ucapan Tiana kali ini membuat Xavier menatap bingung ke arah ibunya. Bagaimana ibunya bisa tahu jika Xavier baru saja pergi dengan seorang perempuan?
"Mama—"
"Mama tidak akan marah sama kamu untuk hari ini," Tiana mulai beranjak berdiri dari duduknya.
"Selain karena kamu tidak pergi bersama Reva …" Tiana menjeda ucapannya sambil melirik bungkusan berisi martabat yang sudah ia tenteng.
"Mama senang karena kamu berhasil menemukan perempuan baik-baik yang lebih pantas menjadi pasangan kamu."
Tiana tersenyum penuh arti sebelum pergi meninggalkan Xavier yang masih bingung dengan perubahan sikapnya.
Selama Xavier menginjakkan kaki di bangku SMA, baru kali ini sang ibu tidak memarahinya sehabis ia selesai pergi. Biasanya, pasti ada saja alasan yang buat Xavier mendapat amukan ibunya. Entah karena Xavier pergi bersama Reva atau karena ia terlalu lama bermain bersama kedua temannya.
***
Terik matahari siang ini benar-benar sangat menyengat. Caca yang baru saja selesai olahara terlihat penuh oleh keringat yang membasahi tubuhnya. Setelah ia mengganti seragam olahraganya dengan seraga sekolah, Caca duduk bersandar di taman belakang sekolah untuk mencari udara segar.
Baru beberapa detik Caca duduk di tempat tersebut, sebuah benda dingin tiba-tiba menempel di pipi kanannya yang membuat Caca terlonjak kaget. Dengan cepat Caca menolah ke samping dan mendapati Noah yang sedang berdiri di sampingnya.
"Rese banget jadi cowok," kesal Caca namun justru membuat Noah terkekeh. Ia kemudian duduk di sebelah Caca tanpa menunggu persetujuan Caca.
"Gimana sama yang kemarin?" tanya Noah memulai pembicaraan.
"Kacau," jawab Caca setelah meminum minuman pemberian Noah.
"Gue udah bilang jangan bersikap alay—"
"Gue sama sekali nggak bersikap alay, Noah. Gimana mau bersikap aneh-aneh kalo gue aja udah ketakutan setengah mati pas tau Xavier ada di rumah lo," papar Caca mengingat kejadian semalam.
"Tapi lo udah jadi beli baju?" tanya Noah memastikan.
Caca mengangguk cepat dan membuat Noah merasa lega karenanya. Keduanya pun kembali terdiam satu sama lain. Sampai akhirnya Caca teringat akan satu hal yang harus ia bicarakan pada Noah.
"Noah," panggil Caca.
"Hemm."
"Gue … kemarin gue nyeritain soal lo sama Sandra," kata Caca dengan suara pelan. Takut-takut jika Noah marah dengannya.
"Cuma sama Sandra sih, tapi mungkin nantinya Ariel juga bakal tau," Caca tampak menyesal karena tidak meminta ijin terlebih dulu pada Noah.
"Gue bakal pastiin sama Sandra dulu, dia udah cerita ke Ariel apa belum. Misal nanti Ariel udah tau—"
"Nggak papa," kata Noah memotong ucapan Caca.
Caca menatap lurus ke arah Noah yang saat itu juga dibalas dengan senyuman lebar dari laki-laki tampan yang duduk di sebelahnya.
"Gue nggak masalah kalo lo nyeritain soal gue ke temen lo. Jadi lo nggak perlu ngerasa bersalah. Oke?" Noah menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Caca.
"Gue lebih seneng kalo lo nyeritain hal ini ke Xavier," ucap Noah secara lansung membuat Caca membuang napas kasar.
"Kenapa? Masih belum siap kalau Xavier tau semuanya?" tanya Noah pada Caca.
"Gue jadi mikir sesuatu, Noah" kata Caca dengan suara pelan.
"Apa mungkin … Xavier bakal suka sama gue kalau dia tau gue ini anak orang kaya?" tanya Caca pada Noah, namun justru membuat Caca menggeleng cepat.
"Nggak nggak nggak. Itu jelas nggak mungkin banget. Xavier bukan cowok matre yang suka sama cewek dari keluarga kaya. Buktinya? Xavier klepek-klepek sama Reva yang notabenenya anak panti asuhan."
Noah terkekeh pelan mendengar penuturan Caca. Sejak mengenal Xavier, Caca lebih sering menceritakan hal positif tentang Xavier dan tidak memedulikan kekurangan Xavier. Bahkan setelah tahu kalau Xavier sudah menyukai perempuan lain, Caca tetap melakukan hal yang sama.
"Ada waktunya lo bisa merasakan dicintai sama orang yang lo cintai," kata Noah sambil mengusap pelan rambut panjang Caca.
Tidak perlu ditanyakan lagi seberapa besar Noah mencintai Caca. Perjuangan hingga berakhir harus merelakan perasaannya dipendam karena tidak mendapatkan balasan. Noah akan tetap mencintai Caca meski tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi kekasihnya.
***