Chereads / About Is Love / Chapter 17 - BAGIAN 16 II LOVE IS BLIND

Chapter 17 - BAGIAN 16 II LOVE IS BLIND

Kringggg!

Suara bel tanpa waktu pelajaran dimulai membuat Caca berlari kencang menuju kelasnya. Gara-gara semalam Caca menonton drama sampai dini hari membuatnya bangun kesiangan. Sebenarnya Caca sudah sering bangun kesiangan gara-gara alasan seperti itu, tapi biasanya ia tidak lupa untuk memastikan jika seragam sekolahnya sudah siap pakai.

Bagaimana bisa Caca lupa jika seragam sekolah yang akan ia pakai hari ini masih basah karena kehujanan saat masih dijemur. Alhasil, Caca harus mencari stok baju seragam lainnya yang masih baru dan belum ia pakai.

Mungkin jika Caca tinggal di rumah ibunya, semua keperluan Caca akan siap sedia setiap saat. Caca tidak perlu takut bangun kesiangan, takut jika bajunya akan kehujanan saat dijemur, dan yang jelas tidak akan takut telat masuk sekolah karena pasti ada sopir yang akan mengantarnya. Namun sayangnya, Caca belum bisa memantapkan hatinya untuk tinggal bersama sang ibu. Masih ada bayang-bayang wajah ayahnya yang mungkin akan kecewa jika Caca lebih memilih tinggal bersama ibunya daripada bersama ayahnya.

Brukk!

"Maaf-maaf, gue nggak sengaja," kata Caca sembari berjongkok dan memunguti buku-buku yang berserakan.

Karena Caca tidak fokus saat berlari menyusuri lorong sekolah membuatnya tidak sengajak menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.

"Lo nggak papa kan …" Caca menjeda ucapannya saat menyadari jika orang yang baru saja ia tabrak adalah Reva.

Kedua tangan Reva fokus mengambil lembaran-lembaran kertas yang berceceran di lantai tanpa membalas tatapan Caca. Terasa sedikit canggung karena ucapan Caca juga tidak dibalas oleh Reva.

"Gue bantu bawa ke kelas ya?" tawar Caca namun masih tidak direspon juga.

Reva justru bergegas pergi dari hadapan Caca tanpa mengucap sepatah kata pun. Hal tersebut tentu membuat Caca merasa bingung dengat sikap Reva. Sudah dua kali mereka berdua berpapasan secara tidak sengaja, namun reaksi Reva terlihat mencurigakan.

"CACA BURUAN MASUK KELAS!!!"

Teriakan melengking milik Ariel membuat Caca menoleh ke arah kelasnya. Menunda terlebih dulu rasa penasarannya, dan kembali berjalan memasuki kelasnya yang sudah penuh dengan kebisingan.

"Kok berisik banget sih? Tomi nggak ada di kelas apa nggak masuk?" tanya Caca saat ia baru saja sampai di dalam kelasnya.

"Ada kok, tapi kan sekarang jamkos, Ca. Jadi pada brutal semua anak-anak kelas kita," jawab Ariel.

"Jamkos? Kok bisa ada jamkos pagi-pagi?" heran Caca. Pasalnya jam pertama pagi ini adalah matematika, yang sangat jarang ada jam kosong.

"Guru-guru ada rapat apaan gitu katanya. Lupa gue. Lo tanya sama Tomi aja deh," kata Ariel benar-benar tidak ingat dengan pengumuman yang dikatakan oleh ketua kelasnya.

"Ada rapat antar pemimpin sekolah. Beberapa guru ikut membantu juga, dan salah satunya ada Bu Lita. Makanya kita jamkos pagi ini," ujar Sandra membantu menjelaskan.

Caca tampak mengangguk paham. Agak kesal rasanya mendengar pagi ini jam kosong. Bukan karena Caca tidak suka jam kosong. Ia juga siswa biasanya yang menyukai momen-momen saat mendapat kebebasan di sekolah. Hanya saja, Caca merasa kesal karena sudah susah payah berlari menuju kelasnya namun ternyata tidak ada guru yang masuk.

"Kantin yuk. Laper banget gue, tapi belum sempet sarapan," ajak Caca namun tidak langsung direspon oleh kedua temannya.

"Gue traktir. Pada mau—"

"Ayo!" seru Ariel dan Sandra secara bersamaan.

"Lo juga demen traktiran, San?" tanya Caca pada Sandra.

"Gue juga manusia biasa yang suka sama gratisan," jawab Sandra enteng.

Caca menatap kedua temannya sambil menggeleng tak percaya. Meskipun begitu, Caca tetap beranjak dari duduk dan berjalan keluar menuju kantin.

Beberapa kelas lain juga seperti sedang jam kosong. Terlihat dengan banyaknya siswa yang duduk di depan kelas, berjalan-jalan di sekitar lorong, berjoget-joget ria di dalam kelas, bahkan ada yang nobar juga bersama teman-teman satu kelas dengan memanfaatkan proyektor yang ada di setiap kelas.

"Gue taruh buku di loker dulu nggak papa?" tanya Caca yang diangguki oleh kedua temannya.

Sandra dan Ariel menunggu di depan lorong sedangkan Caca berjalan sendiri menuju lokernya. Sampai di depan loker, Caca segera menaruh bukunya dan menutup kembali loker tersebut. Namun saat pintu loker belum sepenuhnya tertutup, Caca melihat secarik kerta yang terselip di antara buku-bukunya. Tanpa pikir panjang Caca mengambil kertas tersebut dan membaca tulisan yang ada di dalamnya.

-Jangan banyak tingkah. Lo cuma orang asing yang merusak kebahagiaan orang lain!-

Satu alis Caca terangkat saat membaca surat tersebut. Jujur, Caca merasa takut saat membaca isinya. Namun ia lebih merasa penasaran dengan siapa yang mengirim surat tersebut. Caca menduga jika orang yang mengirim surat tersebut tidak menyukai kehadiran Caca.

"Caca udah belum naruh bukunya?" seru Ariel.

"Iya-iya udah!" balas Caca lalu segera melipat kembali surat tersebut dan memasukkan ke dalam loker.

Tanpa memperlihatkan ekspresi ketakutannya, Caca menghampiri kedua temannya lalu kembali melanjutkan langkah menuju ke kantin sekolah.

***

"Jam kosong tiba! Jam kosong tiba! Jam kosong tiba! Tiba-tiba jam kosong, tiba jam kosong. Asekk asekk, Hokka Hokke!"

Suara demi suara memenuhi setiap kelas yang sedang jam kosong. Begitu juga yang terjadi di kelas Xavier yang terkenal paling ramai di antara kelas lainnya.

"Berisik," komentar Noah pada Romeo yang sejak tadi tidak juga menutup mulutnya.

"Heh No, ada temen bahagia itu harusnya lo juga bahagia. Bukannya malah sirik. Emang aneh kok lo. Jamkos bukannya seneng malam murung gitu," kata Romeo masih dengan posisinya yang sedang berdiri di atas meja.

"Gue nggak sendirian," sahut Noah, melirik sekilas kearah Xavier.

"Heran gue, punya dua teman kok pada hobi diem-dieman. Apa nggak pegel itu mulut diem terus?"

"Enggak!" jawab Noah dan Xavier secara bersamaan.

Romeo menggelengkan kepalanya sambil berdecak pelan. Memilih untuk bergabung dengan teman-teman sekelasnya yang normal daripada terus dipelototi oleh kedua temannya yang abnormal.

"Reva nyariin lo," kata Noah setelah Romeo pergi dari hadapannya.

Xavier tidak terlihat memiliki niat untuk merespon kabar yang diucapkan oleh Noah. Ia menatap sekilas ke arah ponselnya, melihat pesan terakhir yang dikirim oleh Reva.

Reva: Maaf Xav, aku gabisa nemenin kamu nanti sore

Reva: Minggu ini aku lagi banyak acara

Reva: Kamu pergi sendiri gpp kan?

Reva: Aku harus kerja buat dapat uang biar bisa bayar field study

Reva: Kamu ga marah kan?

Xavier meletakkan kembali ponselnya di atas meja hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Membuat Noah yang duduk di sebelahnya menolah ke arah Xavier. Melihat ekspresi Xavier saat ini, Noah tebak jika temannya tersebut sedang dalam kondisi yang kurang baik.

"Lepaskan kalau memang sudah tidak layak diperjuangkan," cetus Noah dengan ekspresi datar miliknya.

"Maksud lo?" tanya Xavier.

"Udah bukan cinta lagi kalo cuma ngebuat lo sengsara. Buat lo kecewa, dan hanya menyulitkan diri lo sendiri," jawab Noah mengutarakan pendapatnya.

"Buat apa dipertahankan kalau dianya nggak satu frekuensi sama lo. Mending memperjuangkan orang lain yang sudah jelas ngedukung lo dan emang cinta sama lo."

Mendengar ucapan Noah membuat Xavier merenung di tempat. Merasa jika apa yang diucapkan Noah ada benarnya juga. Namun Xavier belum bisa menerima sepenuhnya pendapat Noah.

"Gue keluar bentar," pamit Xavier sambil beranjak dari duduknya.

"Kemana?" tanya Noah.

"Bayar field study," jawab Xavier sambil berjalan keluar kelas.

Noah tampak tersenyum sinis mendengar jawaban Xavier. Ternyata ceramahnya di hadapan Xavier belum sepenuhnya berhasil membuka hati dan pikiran temannya tersebut.

Di sisi lain, Noah berjalan dengan pikiran yang berkecamuk. Entah sudah ke berapa kalinya Xavier membayari sekolah Reva. Setiap ada event sekolah yang mewajibkan seluruh siswa ikut, Xavier selalu menraktir Reva karena ia tahu jika Reva bukan dari golongan keluarga yang sama dengannya.

Beberapa kali saat Reva hampir di skors karena menunggak SPP, Xavier mengeluarkan uang tabungannya untuk melunasi SPP perempuan tersebut. Segala cara sudah Xavier coba untuk meyakinkan Reva kalau dia memang benar-benar menyukai Reva.

Namun apa yang sudah Xavier lakukan sampai detik ini, tidak juga membuat Reva yakin akan perasaan Xavier. Reva terus menolak ketika Xavier mengajaknya bertemu dengan sang ibu. Selalu ada alasan yang Reva katakan untuk menoleh ajakan Xavier.

"Hai Xav!"

Sapaan tersebut membuat Xavier menoleh. Ia baru saja menyerahkan uang untuk membayar field study pada pegawai sekolah, dan tidak menyadari akan kedatangan Caca.

"Kok banyak banget bayarnya. Lo bayarin anak-anak sekelas?" tanya Caca penasaran.

"Gue sama Reva," jawab Xavier tanpa menoleh ke arah Caca.

"Ohhh," Caca terlihat menampilkan senyum getir di wajahnya saat mendengar Xavier menyebut nama Reva. Namun dengan cepat Caca berhasil mengembalikan mood-nya.

"Jadi pengin di posisinya Reva," kata Caca tanpa sadar membuat Xavier menoleh singkat ke arahnya.

"Pengin dapat gratisan field study dari lo, kan lumayan tuh duitnya bisa buat jajan pas di sana. Bisa ditabung juga buat keperluan lain," sambung Caca terlihat menyenderkan tubuhnya ke tembok yang berada di belakangnya.

Xavier yang mendengar ucapan Caca pun terlihat mengeluarkan beberapa kartu kredit dari dalam dompetnya dan memberikannya kepada petugas.

"Tambah satu," kata Xavier.

"Loh, mau bayarin siapa lagi?" tanya Caca.

"Lo."

Mata Caca membulat sempurna. Buru-buru Caca merebut kartu kredit milik Xavier yang sudah dipegang oleh petugas.

"Nggak perlu, Xav" kata Caca sambil menyerahkan kembali kartu kredit milik Xavier.

"Lo nggak seharusnya bayarin field study buat gue. Bukan kewajiban lo juga kok," sambung Caca lagi.

"Lo nggak ngerasa rugi?" tanya Xavier yang jelas diluar dugaan Caca.

"Rugi kenapa? Rugi karena nggak dibayarin field study sama lo?"

"Rugi karena nolak pemberian gebetan lo," ujar Xavier membuat Caca menggeleng cepat.

"Yang buat gue rugi itu kalo misal lo bales perasaan gue tapi guenya khilaf malah nolak lo. Rugi besar tuh namanya. Udah gue perjuangin dengan sepenuh jiwa kok malah gue lepas gitu aja. Bodoh dong gue kalo gitu," tutur Caca panjang lebar.

Xavier tampak melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap ke arah Caca. Perlahan mulai menyadari jika perempuan yang sedang berbicara dengannya ini memiliki sisi manarik yang berbeda dari perempuan lagi.

"Jangan ngelihatin gue kayak gitu, Xav" kata Caca.

"Kenapa?" tanya Xavier tanpa ekspresi.

"Baper lah," jawab Caca cepat.

"Gampang banget baperan," sindir Xavier.

"Lo lupa kalo gue cinta mati sama lo sampe rela merjuangin lo sendirian padalah lo-nya suka sama cewek lain?" tanya Caca. "Wajar lah kalo gue baper ditatap intens sama lo. Udah kayak lari marathon nih jantung gue."

Xavier tersenyum sinis. "Alay."

"Gue alay juga gara-gara lo," sahut Caca.

"Tapi kalo dipikir-pikir … mungkin karena gue cerewet, alay, nggak modis, cantik juga enggak, makanya lo nggak suka sama gue."

"Siapa yang bilang lo nggak cantik?" tanya Xavier.

"Menurut lo gue cantik, Xav?"

"Biasa," jawab Xavier membuat Caca memutar bola matanya.

"Nyebelin banget jadi orang. Udah lah gue mau balik ke kalas. Kelamaan ngobrol sama lo ngebuat gue jadi tambah suka sama lo. Gue pergi dulu. Daahhh," Caca mulai berjalan menjauhi Xavier setelah mengucapkan satu kalimat yang cukup panjang.

Setelah Caca sudah tidak terlihat dari hadapan Xavier, satu senyuman tampak muncul dari wajah datar Xavier. Tidak tahu pasti apa yang membuat Xavier bisa tersenyum seperti ini, namun sepertinya tingkah konyol Caca berhasil mengembalikan mood Xavier dalam sekejap.

***