Suara gaduh para siswa memenuhi kelas XI IPS 2. Hari ini ada beberapa guru yang mengikuti rapat sehingga banyak jam pelajaran yang kosong. Hal tersebut tentu membuat kelas tidak terkendali, ditambah lagi tidak ada ketua kelas yang bertugas karena sedang mengikuti bimbingan olimpiade.
Tepat meja yang berada paling depan dan dekat dengan tembok serta pintu masuk, Caca dan kedua temannya sedang membicarakan suatu hal yang serius. Ada Tamara juga di antara mereka bertiga yang membawa beberapa informasi untuk Caca, Sandra dan Ariel.
"Gimana, Ca? Lo bisa iku join kan?" tanya Tamara dengn tatapan penuh harap.
Caca masih berpikir dan juga bingung. Ia tidak memiliki pengalaman tentang dance atau dunia tari. Terlebih cheerleaders, Caca tidak pernah membayangkan akan menjadi salah satu anggota ekskul tersebut. Tapi hari ini, Tamara tiba-tiba datang dan mengatakan kalau ia membutuhkan anggota tambahan untuk acara pertandingan basket minggu depan.
"Bisa lah, Ca. Otak lo kan encer, pasti cepet lah buat ngapalin gerakan," kata Ariel.
"Ada Ariel juga yang ikut, jadi lo nggak sendirian," Sandra ikut menanggapi.
"Dan yang jelas di pertandingan itu ada Xavier, Ca. Lo jadi bisa lihat dia secara dekat gitu. Apalagi nanti pas latihan kita bakalan satu ruangan sama anak-anak basket," ujar Tamara mencoba untuk membujuk Caca supaya mau membantunya.
"Kenapa harus gue yang lo ajakin?" tanya Caca.
"Karena gue percaya sama lo," jawab Tamara cepat. "Lo tau sendiri kan, kalo gue nggak mudah percaya sama orang. Apalagi buat urusan cheerleaders yang gue ketuai. Gue nggak mau ngerekrut orang sembarangan buat join di grup itu."
Caca tidak langsung menanggapi jawaban Tamara. Jujur, ia merasa sangat berterimakasih karena mendapat kepercayaan dari Tamara.
"Masih ada waktu satu minggu, Ca. Dan gue janji nggak bakal ngasih koreo yang susah-susah. Yang penting anggotanya lengkap dan bisa ikut nyemangatin anak-anak basket," kata Tamaran kembali meyakinkan Caca.
"Ayolah Ca ikutan join. Sekalian temenin gue," Ariel berucap sembari menyenggol-nyenggol lengan Caca.
Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Caca. Ia selalu tidak tega jika menolak permintaan teman-temannya. Pada akhirnya Caca pun mengangguk dan menyetuji ikut gabung di cheerleaders bersama Tamara dan Ariel.
"Yeyyy! Makasih Caca!" seru Tamara sambil memeluk Caca.
"Habis ini gue invite kalian di grup, terus gue share jadwal latihannya. Gue balik ke kelas dulu, ya. Thanks semuanya!" Tamara memeluk Caca dan Ariel secara bergantian sebelum ia keluar dari kelas mereka berdua.
"Jangan banyak tingkah lo, Riel" kata Sandra sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Banyak tingkat gimana, San?" tanya Ariel bingung.
"Jaga image di depan gebetan. Jangan sampai Noah ilfeel sama sikap lo," jawab Sandra.
"Lo juga sama, Ca" sambung Sandra beralih menatap Caca.
"Gue rasa, gue nggak bakal fokus buat latihan," kata Caca tampak lesu.
"Yang semangat dong, Ca. Kan mau ketemu doi," seru Ariel heboh.
Caca menggeleng cepat. "Bukannya semangat tapi malah gue-nya deg-degan. Takut kalo malu-maluin gitu."
"Nervous juga kalo dilihatin Xavier," lirih Caca.
"Heh, Ca! Harusnya pas ada kesempatan kayak gini, lo tunjukin sama Xavier kalo lo itu punya bakat yang bagus. Yang bisa ngebuat orang lain terpukau sama lo. Siapa tau Xavier jadi klepek-klepek sama lo pasti lihat lo ngedance," papar Ariel menyemangati temannya.
"Orang-orang bakal kaget pas lihat lo tampil besok," timpal Sandra.
"Kaget kenapa?" tanya Caca.
"Tamara punya kebiasaan kalo sebelum tampil itu dandan dulu. Dia bawa alat make up sendiri dari rumah buat memfasilitasi anggota cheers. Dan … lo masih alergi sama beberapa produk make up, kan? Lo bisa jamin kalo nggak bakal bawa make up sendiri?" Sandra memberi penjelasan pada Caca dan membuat temannya tersebut tampak berpikir.
"Dandan dari rumah aja, Ca. Biar bisa mengurangi kecurigaan orang-orang," kata Ariel.
"See? Lo akhirnya harus menunjukkan diri lo yang sebenarnya sama anak-anak sekolah," ucap Sandra membuat Caca berdecak pelan.
"Cuma ngelihatin muka cantik lo aja kok, Ca. Gue rasa nggak ada yang curiga dan nganggap lo anak orang kaya."
"Anggap aja ini sebagai tahap awal. Sebelum nantinya lo benar-benar membongkar jati diri lo yang sebenarnya," sambung Ariel memberikan kalimat yang lebih halus daripada yang dikatakan Sandra.
Caca semakin kesal mendengarnya. Ia tidak suka jika orang-orang mengetahui siapa Caca sebenarnya. Caca tidak ingi orang-orang bersikap baik pada Caca hanya karena Caca memiliki banyak uang. Selain itu, Caca belum bisa memutuskan untuk ikut bersama ibunya atau justru bersama keluarga ayahnya.
***
"ASTAGA! KENAPA PADA DEMEN BANGET TEBAR PESONA DI DEPAN GUE SIH?! KASIHAN DIKIT DONG SAMA GUE YANG JOMBLO!"
Romeo terus saja berteriak histeris sejak duduk di kantin. Ada saja yang membuat laki-laki tersebut mengeluarkan suara cemprengnya dan membuat Xavier dan Noah merasa kesal karena ulahnya.
"Eh, No. Marahin mereka sih. Lo kan anggota OSIS, kasih tau ke mereka dong kalo sekolah itu bukan tempatnya pacaran," pinta Romeo sambil menunjuk ke arah beberapa siswa yang tampak duduk berpasang-pasangan.
"Ogah," tolak Noah tanpa perlu pikir panjang.
"Ck. Jadi temen yang baik sekali-kali nggak bisa apa, No?"
"Enggak."
Romeo berdecak kesal mendengar jawaban dari temannya. "Emang ngenes banget nasib gue. Punya dua temen kok nggak ada yang bisa ngomong."
"Nyindir gue?" tanya Xavier dengan tatapan tajam seperti biasanya.
"Enggak. Buat yang nyadar-nyadar aja. Barusan kan gue bilang yang nggak bisa ngomong itu temen gue," jawab Romeo.
"Gue bukan temen lo," sahut Xavier.
"Gue juga," Noah ikut memberikan balasan yang sama dengan Xavier.
"Jahat banget kalian sih? Udah cukup ya gue nggak diakuin sama Sandra, jangan nambah-nambahin nggak diakuin sama kalian dong," cecar Romeo menunjukkan wajah memelasnya.
"Makanya jangan suka nyindir orang," tukas Xavier.
"Kalo bisa ngomong langsung sama orangnya, kenapa harus diomong di belakang orang itu? Nggak mutu banget."
"Kayak lo sama Reva," kata Noah membuat Xavier seketika menatap ke arahnya.
"Maksud lo apa nyamain omongan gue sama Reva?" tanya Xavier dengan nada biacara yang terdengar tidak suka.
"Salah?" tanya Noah dengan suara enteng. "Katanya sama-sama suka tapi belum bisa terbuka satu sama lain."
"Setuju banget gue sama Noah!" seru Romeo ikut menanggapi.
"Dari awal gue lihat Reva ngobrol sama lo, berasa kayak ada yang disembunyiin. Lo juga kayak gitu. Kayak ada yang mau lo omongin ke Reva tapi lo nggak bisa."
"Nggak usah ikut campur kehidupan orang lain," sinis Xavier beralih menatap ke layar ponsel.
Noah terkekeh pelan mendengar ucapan Xavier. "Bedakan antara ikut campur kehidupan orang lain, sama ngebantu temen biar nggak salah mengambil keputusan."
"Gue emang bukan ahli cinta yang udah sering gonta-ganti pasangan. Tapi kalo urusan tahu apa enggaknya orang itu benar-benar punya perasaan cinta atau enggak, kayaknya gue lebih berpengalam dari pada lo, Xav"
"Lo belum pernah pacaran, jadi nggak usah sok tau," kata Xavier.
"Setidaknya gue pernah sakit hati karena ditolak cinta sama cewek yang gue suka. Dan gue juga pernah ngerasain disukai sama cewek walaupun gue belum ada perasaan sama dia," Noah kembali menyangkal ucapan Xavier.
Xavier terdiam di tempatnya. Ia sudah cukup lama mengenal Noah. Memang kalau urusan cinta, Noah lebih bisa bersikap dewasa. Pengalaman percintaannya Xavier memang jauh lebih mengenaskan daripada yang dialami Noah. Dua kali Xavier menyukai perempuan, namun ia selalu salah menjatuhkan hati pada perempuan yang hanya memanfaatnya kekayaannya saja.
"Lo mau tau cara paling simpel buat minta dapat restu dari nyokap lo?" tanya Noah.
"Emang lo tau caranya, No? Lah, kalo tau caranya kenapa nggak lo omongin dari dulu-dulu?" heran Romeo.
"Cari tau identitas Reva. Lo cari tahu juga dimana tempat tinggal cewek itu," kata Noah meski Xavier belum menjawab pertanyaannya.
"Yang diharapkan nyokap lo itu bukan dapat pasangan yang kaya. Tapi dapat pasangan yang jelas identitasnya."
Noah mengakhiri ucapannya dengan kalimat yang lugas. Mencoba untuk menunggu respon yang akan diberikan oleh Xavier. Sebenarnya, dari dulu Xavier ingin mengatakan hal tersebut pada Xavier. Tapi mengingat jika Xavier sudah terlalu menyukai Reva, Noah tidak yakin jika Xavier akan menuruti saran darinya.
"Ada benernya juga sih saran dari Noah," ujar Romeo pelan. "Udah buruan telfon Reva, Xav. Pura-pura nganterin dia pulang terus … eh, tapi hp lo baik-baik aja kan, Xav? Tadi pagi gue telfon lo kok nggak diangkat-angkat?"
Xavier jadi teringat jika ponselnya hilang sepulang membeli kopi di minimarket. Ia tidak tahu pasti dimana ponselnya hilang. Bisa jadi di minimarket, atau mungkin di café yang sempat Xavier datangi bersama Reva.
"Hp gue kemarin—"
"Noah."
Suara lembut tersebut membuat Xavier dan kedua temannya menoleh ke belakang. Dilihatnya Caca yang sedang berdiri sendirian sambil menatap ke arah mereka berdua.
"Boleh minjem Noah sebentar nggak?" tanya Caca meminta persetujuan pada kedua teman Noah.
"Serius minjem Noah, Ca? Enggak minjem Xavier? Apa lo udah nyerah sama Xavier terus pindah ke Noah? Yah kok gitu sih, Ca. Jangan cepet nyerah gitu dong. Gue kan mau jadi tim Caca-Xavier," tanya Romeo beruntun.
Caca menggeleng sembari tersenyum. "Enggak kok, gue emang ada urusan penting sama Noah."
"Bolah kan, Noah-nya gue pinjem sebentar?" tanya Caca mengulang pertanyaannya.
"Nggak perlu minta persetujuan mereka," kata Noah sambil beranjak berdiri.
"Ayo," Noah menggenggam satu tangan Caca lalu mengajak perempuan tersebut keluar dari area kantin.
"Xav Xav Xav, lihat tuh si Noah pegang-pegangan tangan sama fans lo," ujar Romeo sambil menyenggol lengan Xavier.
"Wahhh. Gue kira Caca bakal setia terus mencintai lo meski bertepuk sebelah tangan. Ck ck ck, emang semuanya itu nggak ada yang abadi. Seorang Caca juga bisa merasakan lelah kalo kelamaan menaruh hati sama cowok yang belum pasti membalas perasannya dia."
Xavier tidak berniat menanggapi ucapan Romeo. Lagi pula, apa yang dilakukan Caca dan Noah tidak ada sangkut paut dengannya. Memang Caca menyukai Xavier, tapi hal tersebut tidak berlaku pada Xavier.
Di sisi lain, Noah menghentikan langkahnya setelah berada di parkiran sekolah. Sebenarnya bukan tempat ini yang diinginkan Caca. Tapi karena Noah yang membawanya ke parkiran, mau tidak mau Caca mengikutinya.
"Jauh banget sih nyari tempatnya," kata Caca setelah melepaskan tangannya dari Noah.
"Kenapa? Mau marah sama gue?" tanya Noah dengan suara serak khas miliknya.
"Enggak. Mana bisa gue marah sama lo," jawab Caca membuat Noah tersenyum simpul.
"Ada kepentingan apa sama gue? Mau ngajak gue kencan?"
"Yang jelas kalo ngomong," sahut Caca cepat sambil memukul pelan lengan Noah.
"Gue mau ngasih tau kalo Mama ngajak kita datang ke acara … lah, gue lupa namanya apa. Pokoknya Mama mau buka cabang restorannya dan nyuruh kita buat datang," ujar Caca menjelaskan maksud kedatangannya menemui Noah.
"Kapan?" tanya Noah.
"Sabtu malam. Jam setengah delapan," jawab Caca.
"Oke. Gue jemput lo dimana?"
"Di rumah Simbok. Nggak mau kalo di rumah Mama, entar pasti rempong suruh milih baju terus dandan menor," Caca tampak tidak suka jika mengingat sikap ibunya yang selalu ingin tampil perfeksionis.
"Mau gue temenin beli baju?" tanya Noah mengajukan penawaran.
"Emangnya lo mau? Ada waktu luang juga? Kan, lo harus latihan basket buat tanding minggu depan," Caca masih ingat jika Noah adalah anggota basket di sekolah. Jadi otomatis dia akan ikut tanding juga.
"Buat lo, gue pasti ada waktu kapan pun lo butuhin," jawab Noah dengan satu tangan mengacak pelan puncak kepala Caca.
"Makasih Noah," kata Caca terlihat menyunggingkan senyum manis di wajahnya.
"Oh ya. Ini ada titipan dari Ariel buat lo," Caca memberikan sebuah paperbag warna biru pada Noah.
"Sekali-kali lo bilang makasih ke Ariel dong, No. Dia tuh beneran niat masak makanan buat lo. Wanita idaman banget tau si Ariel. Kenapa nggak lo terima aja sih cintanya dia?"
"Lo tau sendiri siapa cewek yang gue suka," ucap Noah sengaja mengeluarkan satu kalimat yang ia yakin tidak akan direspon oleh Caca.
Dan dugaan Noah memang benar. Caca tidak lagi membicarakn soal Ariel setelah mendengar jawaban dari Noah. Yang Caca lakukan justru mengambil sebuah ponsel dari dalam sakunya lalu memberikannya pada Noah.
"Minta tolong kasihin ke Xavier ya. Kemarin hp-nya dia ketinggalan di minimarket," kata Caca setelah Noah menerima posel yang ia berikan.
"Lo kasih sendiri aja," Noah berniat mengembalikan ponsel tadi namun segera ditolak oleh Caca.
"Nggak mau. Gue lagi nggak mau ketemu sama dia," tolak Caca.
"Kenapa? Lo udah nggak suka lagi sama Xavier?" tanya Noah.
Caca tampak menggeleng cepat. "Enggak lah. Gue masih setia kok sama Xavier. Masih sabar juga nunggu Xavier suka sama gue."
Jawaban yang diberikan Caca membuat Noah tersenyum getir. Aneh rasanya karena ia masih merasa sakit hati meski sudah sering mendengar hal semacam itu keluar dari mulut Caca.
"Lo mau kan, nolongin gue buat ngasih hp ini ke Xavier?" tanya Caca menatap lurus ke arah Noah.
Andai saja Noah bisa menolak, ia sudah pasti akan melakukannya dari dulu-dulu. Namun pada kenyataannya, Noah sama sekali tidak mampu menolak permintaan Caca.
"Iya," jawab Noah singkat.
"Makasih Noah! Tambah ganteng deh kalo kayak gini terus," seru Caca sambil memeluk singkat tubuh Noah.
"Gue balik ke kelas dulu. Jangan lupa kasihin hp-nya ke Xavier. Oke-oke?!" Caca mengacungkan kedua jempolnya seraya tersenyum, lalu mulai berlari kecil meninggalkan area parkiran.
Noah kembali menampilkan senyumnya melihat Caca yang semakin menjauh darinya. Tidak, Caca tidak benar-benar menjauh dari Noah. Karena sampai kapan pun Noah tidak akan membiarkan Caca pergi jauh darinya.
***