Chereads / About Is Love / Chapter 14 - BAGIAN 13 II LOVE IS BLIND

Chapter 14 - BAGIAN 13 II LOVE IS BLIND

"AKU NGGAK BISA, XAVIER"

Lagi, Reva menolak ajakan Xavier untuk menemui ibunya. Padahal Xavier sudah mengatakan pada Reva kalau ia yang akan menjelaskan perihal hubungan keduanya dengan sang ibu. Tapi Reva tetap saja menolak dengan alasan yang sangat konyol.

"Mau dengan alasan apapun, Mama kamu tetap tidak akan merestui hubungan kita. Selera Mama kamu itu tinggi. Bukan seperti aku yang cuma anak panti," ujar Reva terlihat kesal karena terus diajak Xavier untuk menemui ibu laki-laki tersebut.

"Bukan seperti itu, Rev. Mama hanya tidak mau—"

"Tidak mau anaknya jatuh ke tangan perempuan miskin. Intinya seperti itu, Xav" potong Reva cepat.

"Aku sama sekali nggak nyalahin keputusan Mama kamu. Memang ada baiknya kamu dapat perempuan yang satu level sama kamu. Sama-sama kaya dan dari keluarga terpandang. Aku yakin Mama kamu bilang seperti itu supaya nantinya kamu enggak menyesal karena salah memilih pasangan," tutur Reva.

Xavier menggeleng pelan. Menyangkal semua pendapat yang baru saja dikatakan oleh Reva.

"Enggak, Rev. Aku sama sekali nggak menyesal karena menjatuhkan hati aku buat kamu. Lagi pula, aku tidak menginginkan pasangan yang harus dari keluarga kaya. Aku tidak seperti Mama aku, Reva" ujar Xavier sembari memegang satu tangan Reva.

"Iya, aku percaya sama kamu. Tapi aku belum yakin kalau hanya dengan kita saling suka bisa ngebuat Mama kamu merestui hubungan kita. Modal cinta aja itu nggak cukup, Xav" balas Reva dengan tatapan melembut.

Xavier tahu jika Reva akan kembali mengatakan banyak alasan untuk menolak ajakannya. Semalam suntuk Xavier memantapkan dirinya untuk berani meminta restu pada ibunya. Xavier berusaha keras untuk bisa meyakinkan Reva, namun hanya kata penolakan yang akhirnya Xavier dapatkan.

"Xavier lihat aku," kata Reva meminta Xavier untuk menoleh ke arahnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Xavier untuk menurut permintaan Reva. Sangat kentara jika saat ini Xavier sedang menunjukkan ekspresi kecewa karena keinginannya tidak dikabulkan oleh Reva.

"Aku cinta sama kamu, Xav. Bisa melihat kamu setiap hari udah lebih dari cukup untuk ngebuat aku bahagia. Apalagi aku tau kalau kamu juga mencintai aku, semua itu sudah menjadi sumber kebahagian terbesar buat aku."

"Aku paham kenapa kamu sangat ingin mengajak aku untuk bertemu Mama kamu. Semua orang pasti ingin hubungan percintaannya bisa direstui oleh orangtuanya. Sama Xav sama. Aku juga pengin seperti itu. Aku pengin bisa merasa tenang mencintai kamu tanpa harus mendapat bayang-bayang tentang Mama kamu yang tidak merestui hubungan kita."

"Tapi apa yang aku dan kamu harapkan itu tidak serta merta bisa langsung dikabulkan. Semua butuh proses. Kita masih perlu banyak hal untuk meyakinkan Mama. Masih banyak yang harus aku persiapkan sebelum menghadap ke Mama kamu. Dan selama fase proses itu berlangsung, mungkin … backstreet menjadi pilihan terbaik untuk kita berdua, Xav. Toh juga kita sudah melakukannya selama satu tahun dan kita berdua masih saling menyukai satu sama lain juga, kan?"

"Cobalah untuk bersabar lebih lama lagi. Aku janji, kalau suatu saat aku akan menemani kamu menghadap Mama untuk meminta restu buat hubungan kita," Reva mengakhiri ucapannya dengan seulas senyum di wajahnya.

Xavier tampak menghela napas panjang. Sebenarnya ia masih kecewa dengan penolakan yang diberikan Reva untuknya. Namun melihat wajah Reva dan mendengar semua penjelasan darinya membuat hati Xavier melunak. Ia tidak akan bisa memaksa Reva melakukan hal yang tidak bisa Reva lakukan.

"Oke. Aku coba buat lebih bersabar," kata Xavier tanpa ekspresi namun sukses membuat Reva tersenyum lega.

"Senyum dong Xav. Jangan cemberut terus. Entar gantengnya ilang," kata Reva memaksa Xavier untuk tersenyum.

Meski hanya sebentar, Xavier tetap tersenyum untuk melegakan hati Reva. Perasaannya masih campur aduk. Ada kekecewaan yang belum juga pergi dari hati Xavier.

"Besok jadi nemenin aku nge-gym, kan?" tanya Xavier sengaja mengubah topik pembicaraan.

"Haduhh. Aku lupa bilang sama kamu kalo besok aku ada kerja kelompok. Disuruh buat baju anak-anak. Jadi aku harus kerja juga supaya bisa beli alat-alat jahit sama keperluan lainnya," jawab Reva.

"Mau kerja dimana?" tanya Xavier.

"Di kantin panti. Lumayan kok kalau bisa kerja di shift malam dapat bonus. Kan sekalian jagain panti," jawab Reva lagi.

Xavier menggeleng tak percaya. "Nggak usah kerja. Kamu bilang butuh apa aja buat kerja kelompok. Biar nanti aku beliin."

"Nggak mau, Xav. Aku udah sering ngerepotin kamu. Aku bisa cari uang sendiri kok," tolak Reva.

Sudah Xavier tebak jika Reva akan menolak bantuannya. Hal semacam ini sudah sering Xavier alami selama ia dekat dengan Reva. Dan cara selanjutnya yang akan Xavier lakukan adalah mengambil uang dari dalam dompetnya lalu memberikannya pada Reva.

"Xavier …"

"Pake," kata Xavier sebelum Reva kembali menolak. "Aku nggak suka sama cewek yang nggak nurut."

"Kamu nggak mau aku beliin, berarti kamu lebih suka beli sendiri. Tinggal kamu pake uangnya, nanti kalo kurang langsung bilang ke aku."

Ucapan Xavier terdengar tegas dan tidak ingin mendapat bantahan. Akhirnya mau tidak mau Reva menerima uang pemberian dari Xavier.

"Gitu dong nurut. Kamu tambah cantik kalo nurut sama aku," kata Xavier sambil tersenyum manis ke arah Reva.

***

Minimarket malam ini terlihat sangat ramai. Ditambah lagi hujan yang mengguyur di Kawasan tersebut membuat beberapa pengendara memilih untuk berteduh di emperan minimarket sembari menyeduh kopi atau mie instan.

"Wahh, kalo nggak reda-reda gimana caranya gue pulang?" tanya Dela.

"Entar gue antar lo pulang. Santai aja," kata Caca yang masih fokus memainkan ponselnya.

Dela menatap sekilas ke arah rekan kerjanya. Sudah bukan rahasia lagi bagi Dela kalau Caca sebenarnya adalah anak orang kaya. Karena suatu hal yang menimpa keluarga Caca, membuat perempuan tersebut memilih untuk hidup sederhada dan membuang kemewahan yang dimilikinya.

"Kalo gue jadi lo, nggak bakal mau deh gue susah-susah kerja malam hari kayak gini. Siang hari udah capek buat sekolah loh, Ca" ujar Dela mengutarakan kalimat yang sering ia ucapkan di depan Caca.

"Emang lo nggak cape kapa Ca kerja terus? Bokap lo tuh bisa banget kalo disuruh beli minimarket kayak gini. Nggak perlu deh lo susah-susah kerja malem."

Caca tersenyum getir mendengar ucapan Dela. Tidak hanya Dela saja. Ariel dan Sandra juga pernah mengatakan hal yang sama. Caca sempat berpikir bahwa mungkin banyak orang diluar sana yang menganggap jika kehidupan Caca sangat beruntung. Yang pertama mereka pikirkan hanyalah tentang uang yang terlihat dapat membuat hidup siapa saja bahagia.

"Karena kalian belum ngerasain apa yang gue rasain, makanya bisa bilang gitu," balas Caca singkat lalu kembali memainkan ponselnya.

Dela terlihat mengangguk paham. Ia rasa Caca memang tidak menyukai topik pembicaraan yang mengaitkan tentang keluarganya. Lebih baik Dela membicarakan hal lain saja supaya suasana hati Caca tidak lagi murung seperti ini.

"Eh Ca, lo dapat kabar kalo sekolah lo bakal tanding basket sama mantan sekolah gue?" tanya Dela.

"Enggak. Kan gue bukan anak cheerleaders apalagi anak basket. Lo kok update banget sih soal begituan, Del" heran Caca menatap temannya.

"Kan gue pecinta cogan, Ca. Harus rajin cari info dong soal cogan-cogan gue," sahut Dela dengan mata berbinar.

"Kalo ada pertandingan basket … berarti Xavier juga ikut tanding dong!" seru Caca.

"Lo pikir sendiri deh, Ca. Ya kali harus gue jawab."

"Yahhh. Kok gue nggak tau sih kalo Xavier mau tanding. Ish. Tau gitu gue lihat mereka latihan pas pulang sekolah. Nyesel kan jadinya," Caca tampak kesal menyadari jika ia baru saja ketinggalan berita tentang Xavier.

"Masih ada waktu seminggu kok. Besok lo buntutin tuh gebetan lo pas latihan. Jangan lupa jaga jarak, soalnya kan gebetan lo udah punya pacar," ucap Dela memperingati Caca.

"Gue mikir apa sih dari kemarin? Sampe kelupaan kalo minggu depan Xavier mau tanding. Nggak mau tau deh pokoknya besok gue harus cari informasi soal …."

Ucapan Caca terhenti saat melihat pelanggan yang menyodorkan selembar uang di meja kasir. Tapi bukan karena itu yang membuat Caca seketika menutup mulutnya rapat-rapat.

"Kembaliannya ambil," kata Xavier datar kemudian berlalu keluar dari minimarket.

Dela yang melihat sikap dingin Xavier antara merasa takut dan terpesona denga kharisma Xavier.

"Ca Ca Ca! Sumpah gilak! Ganteng banget gebetan lo, Ca!" seru Dela saat memastikan jika Xavier tidak mendengar ucapannya.

Lain halnya dengan Dela, Caca justru masih berpikir tentang sejak kapan Xavier berada di minimarket. Dan kenapa Caca tidak menyadari kedatangannya? Tentu saja Caca merasa khawatir jika Xavier mendengar ucapannya tadi.

Caca menepuk-nepuk kepalanya dengan tangannya sendiri. Merasa bodoh karena sudah bertindak sangat ceroboh dan memalukan dirinya sendiri. Tapi, jika mengingat Xavier yang tidak memiliki perasaan apapun pada Caca, sepertinya Caca dapat bernapas lebih tenang.

"Ke gudang yuk, Ca. Ada beberapa barang baru yang harus ditata di rak," ajak Dela lalu segera diangguki oleh Caca.

Baik Caca dan Dela kembali fokus melakukan pekerjaan mereka. Hingga tidak terasa tiga jam berlalu dan jam di dinding minimarket menunjukkan jika shift kerja mereka sudah selesai. Dela sudah lebih dulu pulang karena harus membantu ibunya membereskan dagangan. Sedangkan Caca, ia baru saja selesai berganti pakaian dan berjalan keluar minimarket.

Saat berada di luar minimarket, Caca dikejutkan keberadaan Xavier yang sedang terlelap di salah satu kursi yang disediakan oleh minimarket tempatnya bekerja. Caca pikir Xavier akan langsung pulang setelah membeli kopi. Ia tidak mengira jika Xavier juga memiliki kebiasaan menikmati kopi di depan minimarket.

Dengan langkah perlahan, Caca berjalan mendekati Xavier. Caca berniat untuk membangunkan Xavier karena saat ini sudah larut malam. Xavier tidak seharusnya tidur di depan minimarket dengan cuaca yang sangat dingin seperti saat ini.

"Xavier …." panggil Caca sambil menepuk pelan pundak Xavier.

Dan ternyata, Xavier bukanlah jenis manusia biasa yang sering Caca temui. Belum sempat Caca memanggil nama Xavier lagi, namun laki-laki tersebut sudah membuka kedua matanya dan memberikan tatapan sinis pada Caca.

"Maaf, gue nggak bermaksud ganggu lo. Gue cuma mau bangunin lo biar …."

Caca tidak lagi melanjutkan ucapannya setelah melihat Xavier yang berlalui begitu saja dari hadapan Caca.

"Haish. Benar-benar nggak ada sopan santunnya. Masih mending gue bangunin. Coba aja kalo gue biarin, udah masuk angin tuh cowok. Nyebelin banget sih lo jadi cowok!" seru Caca yang tentu tidak di dengar oleh Xavier karena laki-laki tersebut sudah melajukan mobilnya.

Baru saja Caca akan melangkahkan kakinya menuju ke parkiran, namun sudut matanya melihat sebuah benda pipih yang tergeletak di atas kursi. Satu tangan Caca meraih benda tersebut dan menekan tombol layarnya beberapa kali. Gambar pertama yang Caca lihat dari layar ponsel tersebut adalah foto Xavier dan Reva yang sedang berada di pantai.

Sudut bibir Caca menyunggingkan senyum masam melihat foto seorang perempuan yang menjadi saingan besarnya. Tidak, sepertinya bukan saingan. Karena sudah jelas jika Caca yang kalah dalam pertandingan meluluhkan hati Xavier.

"Reva emang cantik, pantes aja Xavier suka," kata Caca pelan sebelum ia memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas selempangnya.

***