Suasana di lorong depan kelas Bahasa terlihat sangat ramai. Beberapa siswa tampak berkerumun di tempat itu untuk melihat aksi Serena yang baru saja memarahi salah seorang siswi baru yang berada di kelasnya.
"Ada apa ini, Ser?" tanya Caca yang baru saja sampai di sekolah.
"Biasalah, Ca. Gua lagi ngasih tes mental buat murid-murid baru," jawab Serena sambil merangkul pundak Caca.
"Jangan galak-galak Ser. Lo nggak mau masuk BK lagi, kan?"
Serena mengangguk. "Dan gue udah janji sama lo buat jadi anak yang baik."
"Anak baik versi gue sama versi lo beda loh," sambung Serena.
"Penting lo engga ngelakuin hal yang diluar batas, gue udah tenang banget dengernya," kata Caca sambil terkekeh pelan.
"Lo sama Ben baik-baik aja, kan?" tanya Caca.
"Baik kok, Ca. Terus juga bisnis kuenya sekarang udah makin laris, Ca. Kemarin habis dapat lima pesanan dalam sehari. Itu cuma yang kue aja. Belum lagi pesanan snack buat acara hajatan. Banyak banget pokoknya, Ca. Gue sama Ben hampir kewalahan ngurusnya," tutur Serena tampak bersemangat.
Caca ikut senang mendengar cerita dari Serena. Ia ingat betul pertama kali mengenal Serena. Dulu Caca juga menjadi target pembullyan yang dilakuakan Serena. Namun saat Caca tidak sengaja melihat pertemuan Serena dengan orangtuanya membuat Caca tahu apa yang membuat Serena bersikap nakal saat di sekolah.
Sebenarnya Serena adalah gadis baik-baik yang juga memiliki keinginan yang sama dengan remaja lain seusianya. Orangtua Serena yang bekerja di luar kota dan jarang pulang membuat Serena kurang mendapatkan kasih sayang dari mereka. Alhasil, Serena meluapkan emosinya dengan sikap-sikap buruk yang ia lakukan di sekolah.
"Eh Ca. Gue ke kelas dulu ya. Ada PR yang kelupaan belum gue kerjain," ujar Serena sambil melepaskan rangkulannya dari pundak Caca.
"Nanti gue samperin lo di kelas pas istirahat. Daaaahhh…." Serena kemudian berlari menjauhi Caca menuju ke kelasnya.
Saat Caca akan berbelok ke lorong sebelah, ia tidak sengaja berpapasan dengan Reva. Keduanya tampak terdiam satu sama lain. Reva terlihat menatap Caca dengan tatapan yang Caca sendiri tidak tahu artinya. Seolah ada sesuatu yang ingin Reva katakan pada Caca.
Belum sempat Caca membuka suaranya, Reva sudah terlebih dahulu pergi dari hadapan Caca. Hal tersebut tentu membuat Caca merasa penasaran. Tapi melihat tindakan Reva membuat Caca mengambil kesimpulan kalau Reva belum ingin berbicara dengan Caca. Entah karena alasan apa, sepertinya Reva terlihat tidak menyukai keberadaan Caca.
Tidak terlarut dalam pikiran yang tidak pasti kebenarannya, Caca memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun lagi-lagi Caca harus menghentikan langkahnya saat melihat Xavier yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Sama halnya yang dilakukan oleh Reva, laki-laki tersebut hanya diam di hadapan Caca tanpa mengeluarkan suara. Ditambah lagi ekspresi Xavier yang tidak dapat Caca deskripsikan sama sekali.
Tanpa menunggu waktu lama, Caca bergegas pergi dari hadapan Xavier karena ia yakin sampai kapan pun Xavier tidak akan pernah menyapanya atau mengawali pembicaraan dengannya.
"Tunggu."
Suara berat Xavier secara tiba-tiba membuat Caca menghentikan langkahnya. Ia sempat menoleh ke sekitar. Memastikan jika dialah yang diajak biacara oleh Xavier. Setelah menyadari jika kondisi lorong sepi, Caca mulai menolehkan kepalanya ke belakang. Xavier masih berdiri di tempatnya dengan tatapan lurus ke dapan.
"Temui gue pulang sekolah," kata Xavier secara langsung membuat Caca mengernyit bingung.
"Gue tunggu di café kemarin. Jam empat tepat," tegas Xavier lalu berlalu begitu saja dari hadapan Caca.
Benar-benar keterlaluan. Xavier pergi begitu saja tanpa menunggu respon dari Caca. Apakah seperti ini cara yang dilakukan laki-laki tampan jika mengejak bertemu seorang perempuan?
"Sial. Kenapa gue bisa jatuh cinta sama cowok kejam kayak dia?" heran Caca sebelum akhirnya ia kembali berjalan menuju kelasnya.
***
Jam pelajaran olahraga mungkin menjadi waktu menyenangkan bagi sebagian besar siswa. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Caca dan kedua temannya. Olahraga menjadi waktu paling membosankan sekaligus menyebalkan untuk Caca, Sandra dan juga Ariel.
"Dah lah. Capek gue sekolah di sini kalo gurunya kayak Pak Boni semuanya. Tiap-tiap hari kok cuma nyuruh kita olahraga bebas tapi dianya engga ikut olahraga. Makan gaji buta tuh namanya," cecar Ariel yang kini sedang duduk di bawah pohon besar yang ada di lapangan.
"Nggak di kelas atau diluar kelas pasti ngeluh terus," sindir Sandra melirik sekilas ke arah Ariel.
"Gimana gue nggak ngeluh coba? Di kelas udah dibuat pusing buat mikir pelajaran, terus pas di lapangan disuruh olahraga sama guru bayangan. Ngeselin tau," ujar Ariel dengan tampang kesalnya.
"Caca kok dari tadi diem aja sih? Laper apa gimana?" tanya Ariel.
"Paling lagi mikirin Xavier," tebak Sandra.
"Serius lagi mikirin Xavier?"
Caca mengangguk pelan. "Dia ngajak gue ketemuan."
"HAH! KETEMUAN?!" seru Ariel yang buru-buru dibungkam mulutnya oleh Sandra.
"Suara lo kecilin, pinter. Kelas lain lagi pada pelajaran," peringat Sandra dengan tatapan tajamnya.
"Ish. Xavier ngapain ngajak lo ketemuan sih? Bikin baper orang aja tau nggak. Entar ujung-ujungnya cuma buat lo sakit hati, Ca. Udah sih abaikan aja ucapan dia," ujar Ariel terdengar tidak suka dengan tindakan Xavier.
Caca sendiri tidak tahu mengapa Xavier meminta bertemu dengannya. Kemungkinan besar Xavier menyuruh Caca menemuinya untuk membahas soal Reva. Jika diingat-ingat lagi, Xavier belum melaksanakan perintah Caca untuk membawa Reva ke hadapannya.
"KUMPUL SEMUA DI TENGAH LAPANGAN SEKARANG!"
Seruan tersebut membuat lamunan Caca seketika buyar. Belum sempat Caca menyadarkan diri, ia sudah terlebih dulu ditarik tangannya oleh Sandra dan Ariel untuk berlari ke tengah lapangan.
"Xavier?" batin Caca dalam hati.
Kenapa ada Xavier dan kedua temannya di lapangan? Bukankah jadwal olahraga di kelas mereka bukan hari ini?
"Siang semuanya!" seru Romeo menyapa siswa-siswa kelas IPS 2.
"Jadi, hari ini kita bertiga akan jadi pelatih basket kalian. Sesuai yang diamahkan Pak Boni, selama beliau tugas di luar kota, kita bertiga yang akan mendampingi kalian di pelajaran olahraga. Seneng apa seneng nih?!" Romeo kembali berseru dengan suara lantang. Membuat Xavier dan Noah yang berada di sebelahnya mendengus kesal.
Sebagian besar siswa, khususnya perempuan terdengar berseru heboh. Tentu saja mereka sangat senang mengetahui jika tiga siswa paling tampan di sekolah yang akan mengajari mereka olahraga.
"Oh my god! Mimpi apa gue semalem sampai dapat kabar bahagia kayak gini," Ariel terdengar menahan suaranya supaya tidak berteriak.
"Gilak. Gilak. Gilak! Noah ganteng banget kalo pake baju olahraga!"
Sandra menggeleng beberapa kali mendengar respon berlebihan yang diberikan Ariel. Tidak hanya Ariel saja, namun teman-teman sekelasnya yang lain juga ada yang melakukan hal yang sama.
"Pasti seneng dong dapat guru yang ganteng kayak kita-kita. Iya kan iya kan?" Romeo mulai mengeluarkan gurauannya lagi.
"Harus bersyukur kalian tuh karena Pak Boni ada tugas ke luar kota, jadi kalian bisa menikmati kegantengan kita-kita setiap seminggu sekali secara live! Dan nggak cuma itu aja, kalian juga bisa—"
"Langsung ke intinya," kata Noah dengan suara pelan namun sarat akan ketegasan.
"Oke-oke," sahut Romeo tampak patuh dengan perintah Noah.
"Baiklah, karena waktu sudah semakin siang. Kita bisa mulai pemanasan bareng-bareng. Setelah itu kita baru akan mulai latihan basket lalu—"
"Ketua kelasnya siapa?"
"Shit, dipotong lagi, dipotong lagi," kesal Romeo karena ucapannya kembali dipotong. Kalau tahu akan seperti ini, Romeo tidak akan mau membuka pelajaran.
"Sabar Romeo sabar. Orang sabar bakal jadi pacarnya Sandra kok," lirih Romeo sambil tersenyum ke arah Sandra, namun tidak ditanggapi apa-apa oleh perempuan tersebut.
"Gue tanya sekali lagi, siapa ketua kelasnya?" tanya Xavier dengan suara yang meninggi.
"Ketua kelas sama wakilnya lagi ada bimbingan olimpiade. Mereka baru ikut pelajaran setelah jam sepuluh," jawab salah seorang siswa yang menjabat sebagai sekretaris kelas.
"Yang biasa menggantikan tugas mereka siapa?"
"CACA!"
Mendengar namanya disebut oleh teman-temannya membuat Caca mendongak dengan perasaan terkejut. Dilihatnya tatapan-tatapan aneh dari teman-teman sekelasnya. Caca tahu betul jika semua rakyat sekolah mengetahui jika ia sangat menyukai Xavier. Tapi, kadang Caca merasa kesal jika mereka sengaja melakukan hal semacam ini dengan alasan supaya ia bisa berdekatan dengan Xavier.
"Ikut gue sekarang," titah Xavier lalu beralih pergi menjauhi lapangan.
"Ca, buruan ikutin Xavier. Keburu dia marah terus ngamuk-ngamuk di kelas kita," ujar Ariel dengan suara pelan.
Caca justru masih terdiam di tempat. Tidak tahu kenapa tubuhnya belum juga ingin bergerak. Ada banyak keterkejutan yang Caca rasakan hari ini.
"Buruan, Ca. Bapernya ditunda dulu," Ariel menyenggol lengan Caca untuk menyadarkan lamunan temannya tersebut.
Dengan perasaan yang masih tak karuan, Caca akhirnya mengikuti perintah Xavier. Ia berlari kecil untuk menyusul langkah panjang laki-laki tersebut. Awalnya Caca pikir Xavier akan memintanya untuk mengambil bola di ruang basket. Tapi ternyata Xavier justru mengajaknya ke ruang guru.
Beberapa guru yang melihat Caca memasuki ruangan mereka dengan Xavier terlihat menyunggingkan senyum penuh arti. Seperti yang pernah Caca katakan, jika banyak guru di sekolahnya yang mengetahui kalau Caca sudah lama menyukai Xavier dan justru mendukung Caca.
"Pegang," kata Xavier sambil menyerahkan daftar presensi siswa di kelas Caca.
"Kelas gue udah penilaian minggu kemarin. Nggak perlu pake buku presensi lagi," sahut Caca.
"Gue butuh catatan siapa aja yang nggak masuk."
"Udah gue catat di kelas," ucap Caca cepat. "Lo bisa minta ke sekretaris kalo butuh catatan kayak gitu."
Xavier manatap ke arah Caca untuk beberapa saat. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut laki-laki tersebut. Sampai akhirnya Xavier melewati Caca dan keluar dari ruang guru.
Melihat apa yang baru saja dilakukan Xavier membuat Caca menaikkan alisnya. Bingung dengan maksud sikap Xavier yang terlalu absurd. Bisa-bisanya Caca masih menyukai laki-laki yang sama sekali tidak bisa ia tebak apa kemauannya.
"Kenapa masih diem di situ?" tanya Xavier yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Gue masih harus ngikutin lo?"
"Pikir sendiri menurut lo gimana," jawab Xavier lalu berjalan pergi menjauhi ruang guru.
Tidak mau membuat Xavier marah dan melampiaskan kepada teman-teman sekelasnya, Caca bergegas menyusul Xavier yang tampak berjalan ke arah ruang olahraga. Saat sampai di dalam ruang olahraga, Caca teringat jika ia harus mengatakan pada Xavier kalau tidak dapat menemuinya di café milik ibunya.
"Pulang sekolah nanti gue ada acara, Xav" kata Caca sambil menatap punggung Xavier. Laki-laki tersebut sedang fokus memilih bola basket yang ada di keranjang.
"Terus juga jarak café yang kemarin itu jauh banget kalo dari rumah gue."
"Misal lo mau bahas soal permintaan yang kemarin, gue rasa nggak ada hal berarti yang bisa gue lakuin buat hubungan lo sama Reva," ujar Caca secara tidak sengaja mengubah topik pembicaraan.
"Kayaknya Reva juga nggak mau ketemu sama gua dan dia juga nggak mau ada orang lain yang ikut campur di dalamnya. Intinya sih, kalo kalian berdua udah saling suka dan saling percaya satu sama lain, gue rasa kalo buat minta restu sama orangtua itu udah nggak ada alasan lagi. Baik lo ataupu Reva harus sama-sama terbuka dan percaya satu sama lain. Jangan ada yang ditutup-tutupin."
Xavier terlihat menghentikan aktivitasnya memilih bola. Ia membalikkan badannya dan menatap wajah mungil Caca yang tengah menatapnya. Xavier tidak tahu ekspresi apa yang sedang ditunjukkan oleh Caca saat ini. Entah senang atau sedih, atau justru bukan keduanya.
"Gue sering bilang sama temen-temen yang minta saran ke gue kalau salah satu kunci hubungan yang awet itu harus saling percaya. Emm … mungkin lo juga bisa nerapin hal semacam itu buat hubungan lo sama Reva. Kali aja dengan begitu, lo sama Reva bisa secepatnya resmi pacarana dan dapat restu dari nyokap lo. Paham kan sama maksud gue?" tanya Caca balas menatap lurus ke arah Xavier.
Caca harap yang baru saja ia ucapkan tidak membuat Xavier salah paham. Caca hanya berusaha memberikan saran pada Xavier sekaligus memberi ganti karena ia tidak bisa menemui Xavier sepulang sekolah nanti.
"Lo … nggak marah karena gue nggak bisa—"
"Oke."
Satu kata yang keluar dari mulut Xavier membuat Caca menatapnya bingung. Baru saja Caca akan mengeluarkan suaranya, namun Xavier sudah terlebih dahulu pergi dari hadapannya. Meninggalkan Caca begitu saja tanpa memberikan penjelasan.
***