"XAVIER GILAK!"
"ITU COWOK EMANG GA ADA PERASAAN SAMA SEKALI!"
"TEGA BANGET JADI ORANG SUMPAH!"
"BENCI GUE BENCI!"
Sejak pagi tadi saat Caca menceritakan kejadian yang ia alami kemarin, Ariel terus menerus histeris penuh emosi. Padahal Caca yang seharusnya mencak-mencak dan mengomel. Tapi justru orang lain lah yang melakukan hal tersebut.
"Terus juga kenapa lo mau bantuin dia sih, Ca?!" heran Ariel dengan keputusan yang diambil oleh Caca.
"Please deh, Ca. Jangan karena cinta lo jadi goblok kayak gini," kata Ariel.
"Kalo lo bantuin mereka buat pacaran, otomatis bakalan ngebuat lo tambah sakit hati, Caca"
"Caca udah kebal, Riel. Dia nggak mungkin sakit hati cuma gara-gara lihat Xavier nembak Reva," ujar Sandra mulai mengeluarkan suaranya.
"Ya tapi kan tetep aja keputusan Caca itu konyol banget, San" timpal Ariel masih terus menyangkal.
Caca hanya terdiam di tempatnya. Ia tidak membalas ocehan Ariel, apalagi memberi pembelaan diri dari apa yang sudah ia perbuat. Caca sudah bisa menebak jika kedua sahabatnya tentu tidak akan setuju dengan keputusan yang ia buat dengan Xavier. Meskipun seperti itu, Caca tetap akan melakukan apa yang sudah ia putuskan.
"Lo nyuruh Xavier buat ngapain, Ca?" tanya Sandra.
"Gue nggak nyuruh apa-apa," jawab Caca membuat Sandra dan juga Ariel bingung.
"Mereka udah saling suka, gue cuma ngebantu Xava buat meyakinkan perasaannya dan ngasih sedikit motivasi biar dia lebih berani buat nembak Reva," imbuhnya.
"Kenapa harus lo yakinin segala? Mereka berdua kan udah lama deket," heran Ariel.
"Nah itu dia. Gue juga bingung. Kalo dilihat dari gerak-gerik Xavier waktu ngomong sama gue kemarin, yang ngebuat dia nggak juga nembak Reva itu karena dia masih ragu. Tapi gue juga nggak tau ragu di sebelah mananya," tutur Caca memberitahu pada kedua sahabatnya.
"Gue rasa karena mereka udah deket lama, jadi nggak perlu lagi ragu buat meresmikan hubungan. Tapi yang kemarin Xava lakukan justru berkebalikan dengan dugaan gue."
"Emang cowok nggak waras kok. Udah dari MOS si Xava suka sama Reva, udah lebih dari setahun tuh hubungan mereka gantung kayak gitu," kata Ariel.
"Nyokapnya Xava kan nggak setuju kalo anaknya pacaran sama Reva," ujar Sandra.
"Jadi Xava minta tolong sama gue gimana caranya biar Tante Tiana setuju sama hubungan mereka," timpal Caca yang terlihat membuat kedua sahabatnya paham.
"Mahal tuh tarifnya, Ca" kata Ariel membuat Caca mengernyit.
"Maksudnya?"
"Buat dapat restu dari orangtua itu butuh perjuangan loh. Kalo Xava bisa dapat restu dari hasil kerja keras lo, ya lo harus dapat imbalan yang gede dong dari Xavier," papar Ariel mengutarakan uneg-unegnya.
Betul juga apa yang dikatakan Ariel. Meskipun Caca cinta mati dengan Xavier, tapi dia juga tidak mau terlihat sangat bucin dan bodoh di depan semua orang. Biar nanti Caca pikirkan dulu imbalan apa yang akan Caca minta pada Xavier.
"Terus lo minta Xavier buat meyakinkan nyokapnya pake cara apa, Ca?" tanya Ariel.
"Kalian pada tau alasan kenapa Tante Tiana nggak suka sama Reva?" tanya Caca yang dijawab gelengan kepala oleh kedua sahabatnya.
"Tapi gue pernah denger kalo nyokapnya Xavier itu orangnya materialistis banget. Sangat selektif juga. Mungkin beliau nggak setuju karena Reva itu bukan dari golongan orang kaya," ujar Sandra mengutarakan pendapatnya.
"Hooh. Gue juga sempet mikir gitu deh. Xavier kan anak orang kaya, duitnya juga banyak. Jadi kayak di novel-novel gitu loh, ga dapat restu karena ceweknya miskin," timpal Ariel.
"Dan gue juga sempet mikir kayak gitu. Tapi setelah gue denger detail ceritanya dari Xavier, gue jadi mikir kalo alasan Tante Tiana nggak setuju sama Reva itu bukan karena Reva anak orang yang nggak mampu," tutur Caca. Membuat Sandra dan Ariel mengernyit.
"Tante Tiana pasti marah besar kalo udah nyinggung soal asal usul Reva. Dan alasan kenapa beliau marah itu karena emang asal usul Reva enggak jelas."
"Engga jelas gimana?" tanya Ariel bingung.
"Reva tinggal di panti asuhan, tapi Xavier sendiri nggak tau nama panti asuhan itu apa dan letaknya dimana," jawab Caca.
"Lo serius?" tanya Sandra yang diangguki oleh Caca.
"Bukannya setiap hari Xavier pasti ngantar jemput Reva? Harusnya Xava tau dong nama panti asuhannya," ujar Ariel yang tampaknya disetujui oleh Sandra.
"Gue baru tau kemarin kalau ternyata Xavier nggak pernah nganterin Reva sampai depan panti. Xava cuma nganter sampai perempatan doang. Si Reva itu ga pernah mau dianter sampai ke depan panti," papar Caca kembali membuat kedua sahabatnya bingung.
"Kok aneh sih?" kata Ariel.
"Emang. Kemarin pas gue tanya lebih lanjut soal itu sama Xava, dia cuma diem dan langsung mengalihkan pembicaraan. Bingung lah gue," kata Caca.
"Gue baru bisa ngasih saran kalo Xava bersedia cerita semuanya sama gue,"
"Terus-terus?"
"Gue minta Xavier buat bawa Reva ke hadapan gue. Tanpa Xavier. Gue mau bicara empat mata sama dia," ujar Caca.
Ya. Caca perlu tahu alasan Reva menyembunyikan jati dirinya pada Xavier. Dan hanya dengan cara itulah Caca bisa memberikan bantuan untuk hubungan mereka berdua.
***
"REVA!"
Xavier tampak berlari kearah gadis yang sedang duduk di depan kelas. Reva yang melihat kedatangan Xavier terlihat mengulum senyuman lebar.
"Kamu nggak ke kantin bareng temen kamu?" tanya Reva saat Xavier sudah duduk di sebelahnya.
"Kamu sendiri kenapa nggak ke kantin?" tanya Xavier.
"Mager. Lagipula aku juga jarang ke kantin kalo engga karena diajak sama kamu," jawab Reva yang membuat Xavier mengangguk paham.
Sejak dulu Reva memang tidak berubah. Gadis tersebut lebih memilih berdiam diri di dalam kelas, daripada pergi ke luar kelas untuk bermain dengan teman-teman. Tapi, sepertinya Reva juga tidak banyak memiliki teman selain Xavier.
Pernah beberapa kali Xavier menanyakan mengapa Reva tidak mau bergaul dengan teman sekolah. Dan jawaban Reva pasti hanya tersenyum tanpa mengeluarkan suara. Kadang Xavier merasa jika Reva belum bisa bersikap terbuka dengannya.
"Pulang sekolah nanti kamu ada acara?" tanya Xavier mengingat tujuan utamanya menghampiri Reva.
"Belum tau. Memangnya kenapa?" tanya Reva sembari menatap kearah Xavier.
"Aku meminta bantuan Caca untuk kelanjutan hubungan kita," kata Xavier. Membuat Reva seketika terdiam.
"Kamu minta…"
"Aku minta bantuan Caca buat ngasih saran gimana caranya supaya Mama mau nerima kamu, Rev" ujar Xavier menegaskan tujuan utamanya meminta bantuan pada Caca.
"Mama kamu itu nggak suka sama aku karena aku miskin, Xav. Mama kamu cuma butuh gadis kaya yang bisa mendampingi kamu," papar Reva.
"Dan kalaupun kamu meminta bantuan dari Caca, tidak akan bisa membuatku kaya, Xav. Aku hanya anak panti yang miskin dan akan selamanya miskin." Cecar Reva yang terdengar tidak setuju dengan tindakan Xavier.
"Bukankah aku sudah pernah bilang sama kamu, kalau cukup kita berdua aja yang menanggung beban perasaan kita. Jangan pernah melibatkan orang lain dalam hubungan kita, Xava." tegas Reva.
"Aku ingat semua permintaan kamu, Rev. Tapi sekarang? Kita udah ngelewati hubungan ini selama satu tahun tapi belum mendapat titik terang sama sekali." kata Xavier tak kalah tegas dengan ucapan Reva.
"Aku sayang sama kamu, Reva. Aku hanya mau secepatnya bisa memiliki kamu seutuhnya dengan mendapat restu dari Mama. Beban berat buat aku kalo terus-menerus seperti ini." imbuhnya lagi.
"Jadi kamu menganggap aku sebagai beban? Iya?!" tanya Reva.
"Bukan seperti itu Reva. Aku hanya—"
"Sudah jelas barusaja kamu bilang kalau aku ini beban buat kamu! Kamu jahat Xava! Kamu jahat!" maki Reva pada Xavier. Setelah itu Reva segera beranjak pergi meninggalkan Xavier yang masih terdiam di tempat.
Kenapa Reva semarah ini?
Satu kata yang sejak tadi memenuhi otak Xavier. Pasalnya Xavier tidak merasa jika keputusan yang ia ambil itu salah. Lalu, ada apa dengan Reva? Kenapa gadis itu begitu marah dengannya?
***
Caca baru saja memarkirkan mobilnya di depan rumah milik ibunya. Saat pulang sekolah tadi Caca mendapat kabar dari sang ibu untuk mampir ke rumah karena ada suatu hal penting yang akan ibunya katakan. Jika Caca tidak salah menebak, ibunya pasti ingin menyuruhnya pulang ke rumah dan tinggal bersamanya.
"Selamat sore Non Aca," sapa Mamang—tukang kebun di rumah ibunya.
"Sore juga, Mang. Gimana kabar Mamang?" balas Caca dengan senyum lebar di wajahnya.
"Alhamdulillah baik, Non. Non Aca sendiri gimana kabarnya?"
"Baik juga dong pastinya," seru Aca membuat Mamang tersenyum.
"Aca masuk ke dalam dulu ya, Mang" pamit Aca yang langsung diangguki oleh Mamang.
Terdengar sangat aneh saat mendengar orang-orang di rumah ibunya memanggil Caca dengan sebutan "Aca". Panggilan tersebut sebenarnya sangat familiar saat Caca masih kecil. Namun setelah kedua orangtuanya berpisah, dan Caca memiliki tinggal bersama pengasuhnya membuat Caca memutuskan untuk tidak lagi menggunakan nama tersebut.
"Mamaaa!" panggil Caca dengan suara lantang saat ia sudah memasuki rumah.
"Masuk rumah itu salam dulu. Bukannya langsung teriak-teriak," komentar Indira—ibunya Caca.
"Maafkan saya ibu negara," sahut Caca mulai berakting.
Indira tampak menggelengkan kepalanya. Tingkah Caca dari dulu tidak pernah berubah. Selalu terlihat seperti anak kecil. Kadang Indira merasa heran setiap kali menanyakan kabar Caca pada Ariel atau Sandra. Mereka berdua selalu mengatakan kalau Caca sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang mandiri. Namun jika Indira berhadapan langsung dengan Caca, sosok Caca masih sama di mata Indira. Caca adalah putri kecilnya yang masih perlu perhatian darinya.
"Duduk dulu. Mama mau bicara serius sama kamu," titah Indira.
"Nggak perlu, Ma. Berdiri di sini aja nggak papa kok. Lagi pula Caca nggak mau kalo disuruh nginep di rumah—"
"Mama nggak bilang kalau mau menyuruh kamu menginap di rumah," potong Indira cepat. Ia yakin Caca pasti berpikir kalau ia memanggilnya ke sini untuk kembali menyuruhnya tinggal di rumah.
Meski harus Indiria akui jika ia sangat ingi Caca kembali tinggal bersamanya. Berkali-kali Indira menyuruh Caca untuk tinggal bersamanya, namun selalu Caca tolak. Sudah lebih dari lima tahun Caca memilih untuk tinggal bersama pengasuhnya saat kecil daripada tinggal bersamanya.
"Kalau enggak nyuruh Caca nginap, terus mau nyuruh apaan, Ma?" tanya Caca penasaran.
"Mama bilang duduk itu ya duduk dulu. Jangan biasakan melawan ucapan orangtua," ujar Indira tegas sambil mendahului Caca untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
Melihat apa yang dilakukan ibunya membuat Caca mau tidak mau harus menurut. Ia kemudian menyusul ibunya dan duduk tepat di sebelahnya.
"Jadi … sudah berani pacaran tanpa ijin dulu sama Mama?" ucap Indira terdengar serius.
Caca mengerutkan keningnya bingung. "Pacar? Maksud Mama gimana? Caca sama sekali enggak punya pacar, Ma"
Indira menggelengkan kepalanya. Tidak langsung percaya dengan jawaban putrinya tersebut. Indira lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada putrinya.
Dengan ragu-ragu Caca mengambil ponsel milik ibunya untuk melihat foto yang terpampang di layar ponsel tersebut. Kedua mata Caca membelalak sempurna melihat foto yang memperlihatnya dirinya dan Xavier yang sedang bertemu di café beberapa hari yang lalu.
"Ma-mama dapat ini …"
"Kalau dilihat dari penampilannya, Mama yakin cowok yang bersama kamu itu anak orang kaya. Tampangnya juga sudah oke dan tidak bisa Mama komentari. Tapi yang ingin mama tanyakan itu—"
"Xavier buka pacar aku, Ma" ucap Caca sebelum Indira menyelesaikan ucapannya.
"Ohh … jadi namanya Xavier? Lumayan bagus namanya," komentar Indira. "Si Xavier itu benar-benar mencintai kamu atau tidak, Ca? Mama tidak mau kalau kamu pacaran sama laki-laki yang hanya mempermainkanmu saja."
Caca menggeleng cepat. "Dia bukan pacar Caca, Ma. Cuma temen aja."
"Kalau hanya teman, kenapa ada acara ketemuan di café? Kalian hanya berdua saja kan di café itu? Yakin hanya teman saja?" tanya Indira memastikan.
"Iya Mama. Kita cuma temenan aja. Lagi pula juga Xavier sudah punya pacar," kata Caca terdengar lesu saat mengatakan jika Xavier sudah memiliki pacar.
"Kamu menyukai Xavier, kan?" tebak Indira saat ia menyadari perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh putrinya.
"Diamnya kamu akan Mama anggap sebagai jawaban kalau kamu memang menyukai Xavier."
Sebagai seorang ibu, Indira sangat paham dengan gerak-gerik putrinya. Bagaimana perasaan putrinya saat ini, secara tidak langsung akan dirasakan oleh Indira juga. Meskipun Caca sudah lama tidak tinggal bersamanya, tapi status Indira sebagai ibu kandung Caca tetap tidak dapat digantikan oleh siapa pun.
"Kamu menyukai Xavier, tapi Xavier tidak menyukai kamu. Mama juga pernah merasakan hal semacam itu," kata Indira secara tidak sengaja membuat Caca menoleh.
Caca belum pernah mendengar jika ibunya pernah berada di posisi yang sama dengan Caca saat ini. Mungkin karena Caca sudah lama tidak tinggal bersama ibunya, membuatnya jarang bertukar cerita dengannya.
"Mama pernah mencintai laki-laki yang tidak mencintai Mama," kata Indira.
"Bodohnya Mama yang tidak bisa membuang perasaan itu meski Mama tau kalau dia tidak menyukai Mama," Indira terkekeh mengingat tingkah konyolnya dulu saat masih muda.
"Karena terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak pasti, Mama akhirnya memutuskan untuk mencoba menerima seseorang yang mencintai Mama. Dulu usia Mama sudah terlalu tua dan sering dibicarakan tetangga karena belum juga menikah."
Caca masih mendengarkan cerita ibunya dengan saksama. Ia yakin ada banyak pelajaran yang akan ia dapatkan dari kisah cinta sang ibu.
"Awalnya Mama pikir dengan hidup bersama orang yang mencintai Mama akan membuat kehidupan Mama bahagia. Mama pikir kalau Mama juga akan menyukai orang yang menyukai Mama. Hari demi hari, berganti bulan dan berganti tahun, Mama masih terus menunggu. Sampai pada akhirnya Mama sadar, kalau tidak semua hal bisa dipaksakan. Tidak semua hal berjalan sesuai harapan kita."
"Pernikahan yang Mama harapkan bisa terus langgeng sampai mau memisahkan, namun ternyata takdir tidak merestui harapan Mama. Ada scenario lain yang digariskan Tuhan untuk Mama. Kata 'perpisahan' yang tadinya sangat Mama benci dan Mama hindari, harus Mama terima saat hati sudah tidak lagi bisa Mama paksakan," Indira menoleh ke arah putrinya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
"Jadi sebenarnya, Mama dan Papa—"
"Mama tidak ingin kamu mengalami hal yang sama dengan Mama. Dan Mama juga tidak menyuruh kamu untuk tetap atau berhenti menyukai Xavier. Mama hanya ingin berpesan sama kamu supaya nantinya kamu menjatuhkan hati kamu pada orang yang memang kamu cinta dan orang tersebut juga mencintai kamu," tutur Indira menasihati putri semata wayangnya.
Caca tersenyum manis mendengar ucapan ibunya. Kedua tangannya dengan sigap memeluk tubuh ibunya yang duduk di sebelahnya. Mencurahkan rasa sayang dan terimakasih pada sang ibu karena sudah memberikan banyak pelajaran dalam hidup Caca.
"Makasih, Ma. Makasih buat segalanya. I love you, Mama"
***