Chereads / About Is Love / Chapter 11 - BAGIAN 10 II LOVE IS BLIND

Chapter 11 - BAGIAN 10 II LOVE IS BLIND

"Karena cinta masih menguasai segalanya …"

Happy Reading!

Pulang sekolah hari ini Caca terlihat sangat buru-buru keluar dari kelas. Ia bahkan meminta ijin pada Tomi-ketua kelasnya untuk tidak mengikuti piket harian. Sandra dan Ariel yang melihat Caca buru-buru ke parkiran pun mau tidak mau ikut serta bergegas seperti Caca.

"Kenapa buru-buru sih, Ca?" tanya Ariel saat sudah masuk ke dalam mobil.

"Lo yang nyetir?" tanya Sandra memastikan.

Saat sampai di parkiran Caca langsung masuk ke dalam jok kemudi. Membuat Sandra yang melihat hal tersebut pun beralih masuk pada pintu belakang mobil dengan perasaan bingung.

"Pake sabuk pengaman kalian," peringat Caca.

Sandra dan Ariel yang tidak paham dengan maksud permintaan Caca pun hanya terdiam di tempat. Tanpa mereka berdua sadari, secara tiba-tiba Caca menacapkan gas mobil dengan begitu kencang.

"CACA GILA! KENAPA LO GA BILANG-BILANG KALO MAU NGEBUT!" seru Ariel masih terkejut karena Caca mengendarai mobil begitu cepat.

"NGAPAIN NGEBUT-NGEBUT SIH, CA!"

Mendengar teriakan dari Ariel tidak membuat Caca menggubris sama sekali. Ia masih fokus mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Sandra yang duduk di belakang hanya diam tanpa mengeluarkan satu pun suara.

Sampai di depan lampu merah Caca mengentikan mobilnya dengan sangat cekatan. Jelas terlihat jika Caca sangat lihai mengendarai mobil.

"Heh! Lo kalo mau bunuh diri jangan ngajak-ngajak gue sama Sandra dong, Ca" omel Ariel sambil menoleh kesal kea rah Caca.

"Gue lagi buru-buru, Riel" kata Caca.

"Buru-buru kenapa sih?"

"Mau ketemu Xavier," jawab Caca membuat Ariel dan Sandra saling menatap satu sama lain.

"Juna, Xavier maksud lo? Yang temen sekolah kita? Yang lo suka sejak dari embrio?" tanya Ariel beruntun. Untuk kali ini Ariel tidak lagi mengeluarkan suara TOA-nya.

"Iyaaa. Xavier Manggala Putra. Gue ada urusan sama dia," jelas Caca pada kedua sahabatnya.

"Ada urusan apa sama Xavier?" tanya Sandra.

"Gue juga gatau," jawab Caca.

"Lah. Lo mau ketemu Juna tanpa tau mau ngomongin apa?" heran Ariel.

Caca mengangguk cepat. "Xavier nggak bilang apa-apa."

"Mau ketemuan dimana?" tanya Sandra.

"Café deket rumah gue," kata Caca.

"Kalo deket rumah lo, ngapain buru-buru?" tanya Ariel heran.

"Itu café punya nyokap gue, Ariel" ujar Caca membuat Ariel mengangguk paham.

Barusaja teringat jika ibu kandung Caca belum lama ini membeli café yang berada di dekat rumah Caca. Alasan ibu Caca membeli café tersebut adalah supaya Caca lebih tertarik untuk kembali ke rumah.

"Terus ini lo mau pulang ke rumah?" tanya Ariel.

"Iya," jawab Caca sambil melajukan kembali mobil yang ia kendarai.

"Pegawai café udah paham semua sama gue. Mana mungkin gue ke sana dalam keadaan buluk kayak gini," ujar Caca.

"Coba aja Mama nggak ngajak gue pas pembukaan café, pasti nggak bakal seribet ini," imbuhnya merasa kesal dengan ibunya.

Caca memang paling was-was jika harus pulang ke rumah Mama. Jika Caca hanya berada di dalam rumah, masih bisa dikatakan aman. Namun jika sudah keluar rumah dan masih di sekitar komplek, sudah banyak mata-mata yang dipekerjaan oleh ibunya.

"Kok cafenya bagus sih?" komentar Ariel saat melewati café yang dimaksud Caca.

"Lo belum pernah ke sana?" tanya Sandra.

Ariel menggeleng. "Caca belum pernah ngajak ke sana kok,"

"Datang sendiri. Yang mandiri jadi orang," kata Sandra terdengar sudah mulai mengaluarkan sindirannya.

"Dengerin tuh kata Sandra, Riel" kekeh Caca sambil melepas sabuk pengamannya.

"Titip mobil gue di rumah lo ya, San" kata Caca menengok kea rah belakang.

"Rumah gue penuh sama harta benda lo," ujar Sandra.

"Kasih ke gue aja deh. Itung-itung sedekah," kata Ariel.

"Sedekah itu buat orang yang tidak mampu. Bapak lo aja kerja jadi pelayaran sama ibuk lo kerja di BUMN kok minta sedekah," timpal Sandra membuat Ariel menghela napas panjang.

"Gue rasa Xavier mau minta tolong sama lo," kata Sandra.

"Soal Reva?" tanya Ariel yang mendapat anggukan dari Sandra.

"Gue denger Romeo ngasih saran buat minta bantuan lo."

"Soal hubungannya sama Reva beneran?"

"Iya."

"Jangan mau ih, Ca. Kalo Xavier minta tolong sama lo buat bantuin dia taken sama Reva, harus lo tolak," perintah Ariel tegas.

"Gue nggak mungkin nolak permintaan tolong orang lain," kata Caca.

"Sekali-kali gapapa, Ca. Daripada lo sakit hati lagi," saut Ariel.

"Udah satu tahun lebih gue suka sama Xavier tanpa dapat balasan. Dah kebal banget gue, Riel" ujar Caca sambil tertawa pelan.

"Sudah terbiasa. Caca udah mati rasa," kata Sandra.

"Kalian tenang aja deh. Gue nggak bakal menye-menye Cuma gara-gara dimintai tolong Juna bantuin taken sama Reva," tutur Caca sambil mengulum senyumnya.

"Gue turun dulu ya. Hati-hati di jalan!" pamit Caca kemudian turun dari mobil.

Sampai di luar mobil Caca bergegas masuk ke dalam rumah. Caca tidak memiliki waktu yang banyak untuk bersiap-siap diri. Xavier adalah tipikal cowok yang tidak suka menunggu. Dan Caca tahu akan hal itu.

***

Pukul 16.15 WIB

Sudah lebih dari tiga puluh menit Xavier duduk di dalam café sendiri. Sejak tadi ia melihat kearah pintu masuk, berharap jika Caca segera datang ke lokasi yang sudah ia beritahukan lewat pesan yang ia kirim pada gadis tersebut.

Xavier memang sengaja mencari lokasi café yang cukup jauh dari daerah rumahnya. Ia juga memilih café yang belum pernah ia gunakan untuk nongkrong bersama teman-temannya. Rencana Xavier untuk meminta saran pada Caca masih akan ia tutupi dari Romeo dan Noah.

"Ck. Lama banget sih," kesal Xavier saat tidak juga melihat batang hidung Caca.

Jenuh karena hanya sendirian saja membuat Xavier mau tidak mau mengeluarkan ponselnya untuk mencari kesibukan lain. Ia sangat benci menunggu. Apalagi harus menunggu sesuatu ataupun seseorang yang tidak ia sukai.

Tring!

Suara pintu café yang terbuka sepertinya tidak membuat Xavier mendongakkan kepala. Karena terlalu lelah menunggu membuar Xavier tidak mau lagi melihat kea rah pintu masuk. Hal tersebut ternyata membuat Xavier tidak sadar jika ada seseorang yang sedang berjalan ke arahnya.

"Xavier."

Panggilan yang terdengar begitu dekat itu membuat Xavier mendongak. Kedua matanya barusaja berpapasan dengan dua bola mata hitam nan cantik milik gadis yang saat ini berdiri di depannya.

"Gue boleh duduk di sini?" tanya Caca sesopan mungkin. Ia cukup sadar diri bahwa kedatangannya di hadapan Xavier sudah melebihi batas yang ditentukan oleh cowok tersebut.

Xavier masih terdiam di tempatnya. Sorot matanya terlihat tidak bergerak sedikit pun. Seolah kedua mata Xavier telah tersihir dengan kecantikan gadis di hadapannya tersebut.

"Xavier …."

"Cantik."

"Ha?"

Xavier menggeleng cepat. Dengan sigap Xavier Kembali menampilkan tampang datarnya. Sekarang ia sudah tidak lagi menatap ke arah Caca.

Melihat tingkah laku yang diberikan Xavier kepadanya sempat membuat Caca bingung. Namun karena tidak mau berfikir lebih lama, dan karena sudah terlalu pegal berdiri, Caca segera duduk di atas kursi yang berada di depan Xavier.

"Jadi, ada perlu apa lo ngajak gue ketemuan?" tanya Caca to the point. Terdengar jelas jika Caca tidak merasa gugup.

Mungkin karena sudah terlalu lama merasakan cinta yang tidak terbalas sudah benar-benar membuat Caca kebal dan tahan banting. Ia bahkan tidak memiliki rasa malu atau deg-degan yang berlebih saat berhadapan dengan Xavier.

"Udah kepikiran jaminan yang lo mau?"

"Bukan," jawab Xavier cepat.

"Terus?"

"Gue mau minta bantuan," kata Xavier membuat Caca mengernyit bingung.

"Bantuan apa?" tanya Caca.

Xavier terdiam. Ia tengah berfikir bagaimana cara terbaik mengatakan pada Caca bahwa ia butuh saran mengenai hubungannya dengan Reva. Namun karena gerngsi yang terlalu tinggi membuat Xavier tidak bisa secepatnya mengatakan hal tersebut pada Caca.

"Gue sama Reva mau—"

"Pacaran?" tanya Caca yang sontak membuat Xavier mendongak.

"Jangan sok tau," kata Xavier sinis.

"Lah. Emang lo gamau pacaran sama Reva?" tanya Caca sambil menyenderkan tubuhnya ke belakang.

"Bukan urusan lo," kata Xavier terus menatap sinis ke arah Caca.

Caca yang melihat hal tersebut pun tampak berdecak pelan. Sikap Xavier tidak juga berubah dari sejak pertama kali Caca mengenal cowok tersebut. Galak dan menyebalkan.

"Jadi lo mau minta tolong apa sama gue?" tanya Caca santai.

"Ga mungkin lo nyuruh gue datang jauh-jauh ke sini tanpa alasan yang jelas," imbuhnya lagi.

Mendengar pertanyaan dari Caca tidak membuat Xavier menjawab pertanyaan tersebut. Ia justru menatap lurus ke arah Caca yang terlihat begitu santai duduk di dalam café yang terbilang elit seperti ini. Seakan Caca sudah terbiasa duduk di tempat mewah-mewah seperti ini. Tidak memperlihatkan jika Caca hanyalah anak penjual pecel.

Tidak hanya itu saja. Penampilan Caca saat datang ke café juga cukup menyita perhatian Xavier. Setelan dress berwarna peach dengan rambut tergerai lurus membuat Caca terlihat sangat berbeda dari penampilannya saat di sekolah. Sepertinya Caca juga menggunakan makeup di wajahnya.

"Lo dandan?" tanya Xavier terdengar sangat ambigu di telinga Caca.

"Maksudnya?" tanya Caca bingung.

"Ga jadi," jawab Xavier yang lagi-lagi membuat tingkat kebingungan di kepala Caca bertambah.

Beberapa saat kemudian keduanya kembali terdiam satu sama lain. Xavier yang masih berfikir bagaimana cara mengatakan permintaan tolong pada Caca, dan Caca yang masih terus menunggu suara yang akan keluar dari mulut cowok tersebut.

Lama menunggu Xavier berbicara membuat Caca sudah tidak lagi menahan rasa penasarannya. Ia juga tidak suka jika harus menunggu sesuatu yang tidak pasti.

"Kalo nggak ada yang mau diomongin gue pamit," kata Caca kemudian hendak berdiri dari duduknya.

"Tunggu," cegah Xavier sebelum Caca sempat pergi dari hadapannya.

"Gue nggak bisa nunggu terlalu lama, Jun" kata Caca menatap kesal ke arah Xavier.

"Duduk," titah Xavier terdengar tidak mau dibantah.

Sesaat Caca hanya terdiam di tempatnya. Tidak berkutik sedikit pun. Ia juga tidak melakukan hal yang diminta oleh Xavier.

"Lo budek?" tanya Xavier sambil menatap tajam ke arah Caca.

"Kuping gue waras," balas Caca tidak kalah tegas dengan ucapan Xavier.

"Kalo waras kenapa dari tadi lo nggak duduk?" tanya Xavier lagi.

"Mager. Entar gue duduk, tapi lo cuma diem aja. Males lah kalo cuma disuruh-suruh duduk tapi nggak dikasih kepastian mau ngapain," cecar Caca.

Mendengar celotehan Caca membuat Xavier hampir saja lepas control. Kalau saja tidak mengingat jika ia membutuhkan bantuan Caca, sudah pasti Xavier akan membentak gadis tersebut dan meninggalkannya begitu saja.

"Gue mau ngomong. Asal lo duduk dulu," kata Xavier berusaha keras menahan emosi.

"Lo nggak bohong, kan?" tanya Caca sambil menyipitkan kedua matanya.

"Engga," jawab Xavier datar.

Baiklah. Kali ini Caca akan menuruti kemauan laki-laki menyebalkan di hadapannya ini. Beruntung Caca masih terlalu menyukai pria tersebut. Jika saja Caca tidak mengidolakan Xavier, tidak akan pernah mau Caca berhadapan dengan cowok kejam bin menyebalkan seperti Xavier.

"Jadi, ada perlu apa lo nyuruh gue datang ke sini?" tanya Caca setelah ia kembali duduk.

"Mau bahas soal jaminan?"

"Bukan." Jawab Xavier cepat.

"Terus mau bahas soal apaan?"

Xavier kembali diam. Untuk kesekian kalinya ia Kembali bingung harus mengatakan seperti apa masalahnya pada Caca. Xavier sudah meniatkan diri untuk tidak peduli dengan perasaan Caca padanya. Tapi kenapa ia tetap merasa bingung dan gugup saat harus mengatakannya pada Caca.

"Ck. Diem lagi kan. Emang nggak niat buat ngomong deh," kata Caca setelah cukup lama menunggu jawaban dari Xavier.

"Oke deh. Karena lo nggak juga ngomong, gue rasa lebih baik gue pulang aja," ujar Caca kemudian kembali berdiri dari duduknya.

Jadwal Caca hari ini tidak hanya untuk bertemu dengan Xavier saja. Ia juga memiliki jadwal lain yang lebih penting daripada harus berduaan dengan Xavier, yang tidak jelas dan tidak tahu apa maksudnya.

"Bantu gue nge-date sama Reva." kata Xavier yang berhasil membuat langkah Caca terhenti.

Permintaan yang barusaja dikatakan oleh Xavier seolah berhasil menyihir seluruh tubuh Caca. Otaknya sekan terus mengulah satu kalimat yang barusaja Xavier katakan.

"Gue mau nembak Reva, tapi bingung pake cara apa. Jadi gue mau minta saran dari lo yang lebih ahli dalam hubungan seperti ini," tutur Xavier semakin memperjelas maksud dari perkataannya.

Caca terdiam di tempatnya. Tanpa sadar seulas senyum tampak muncul dari wajah cantik Caca. Setiap mendengar orang lain mengatakan:Gue minta saran sama lo karena lo lebih ahli soal hubungan seperti ini

Hello! Mengapa semua orang mengatakan hal yang sama setiap meminta bantuan pada Caca? Bahkan, Caca sama sekali belum pernah pacaran? Tapi kenapa banyak orang yang mempercayai saran dari Caca?

Dan Xavier, laki-laki yang sudah lama Caca sukai, dia juga mengatakan hal tersebut pada Caca. Satu kenyataan yang tadinya selalu Caca sangkal setiap kali muncul dalam otaknya. Tapi teranyata, apa yang dikatakan Ariel beberapa waktu lalu benar-benar terjadi.

"Ca," panggil Xavier saat Caca tidak kunjung menoleh dan merespon ucapannya.

"Lo nggak mau bantuin gue?" tanya Xavier memastikan.

Kalau memang Xavier benar-benar pria sejati, seharusnya ia tidak perlu menanyakan hal tersebut pada Caca. Sudah jelas jika Caca menyukai Xavier sejak dulu. Tentu saja Caca tidak akan mau membantu Xavier untuk berkencan dengan Reva.

"Gue bantu," kata Caca membuat Xavier seketika mendongak. Dilihatnya Caca yang saat ini sudah menatapnya.

"Gue bakal bantu lo buat jadian sama Reva," ujar Caca secara lugas tanpa meninggalkan senyuman di wajahnya.

Sebuah jawaban yang seharusnya tidak Caca katakan. Memang bodoh dan sangat bodoh. Bagaimana mungkin Caca bisa menyerahkan diri untuk membantu pria yang sudah ia sukai sejak dulu untuk dekat dengan wanita lain?

Caca memang bodoh. Dan karena cinta lah Caca menjadi seperti ini. Mengenaskan.

***