Xavier terlihat berdiri di depan kelasnya dengan wajah gusar. Tatapannya tampak menjelajah ke seluruh sudut yang bisa ia lihat dari depan kelasnya. Sesekali Xavier berdecak kesal karena tidak kunjung melihat orang yang sedang ia cari.
"Xavier," panggil seseorang dari sebelah Xavier.
Tidak ada sahutan sama sekali. Xavier masih fokus melihat ke arah kerumunan siswa yang berlalu lalang di depannya.
"Xavier!" panggilan tersebut terdengar lebih keras dari yang pertama.
Namun hasilnya tetap saja sama. Mulut Xavier tetap tertutup rapat. Begitu juga dengan kedua kupingnya yang sepertinya tidak berfungsi.
"Xavier."
"Ya?" jawab Xavier sambil menoleh ke samping.
Sontak kedua mata Xavier mendelik sempurna saat melihat Caca yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Ck. Emang kuping cowok semuanya itu sama," kata Romeo yang jelas ditujukan untuk Xavier.
"Maksud lo apa?" tanya Xavier sinis.
"Gue panggil dua kali juga mulut lo diem aja. Tapi pas denger yang manggil cewek, baru deh auto noleh ke samping," ujar Romeo yang semakin membuat Xavier menatap sinis ke arahnya.
Caca yang melihat hal tersebut pun hanya mampu menggeleng pelan. Sudah tidak heran bagi Caca kalau harus melihat ketidakakuran antara Xavier dengan teman-temannya. Sebagai pengagum Xavier kelas berat, Caca sudah tau betul bagaimana tabiat dari biasnya tersebut.
"Caca kangen nih sama lo, Xav. Makanya minta gue anterin dia sampai sini," kata Romeo yang membuat Caca menggeplak keras lengan pria tersebut.
"Duh! Fans lo bar-bar banget nih, Xav. Pegat aja deh dari klub fans lo," ujar Romeo sambil memegangi lengannya yang terasa sakit karena dipukul oleh Caca.
"Makanya kalo ngomong itu yang bener," omel Caca.
"Kasar banget sih, Ca. Lo nggak malu apa dilihatin Xavier? Harusnya kan lo jaga image gitu di depan cowok yang lo suka," tutur Romeo yang justru membuat Caca kembali memukul lengan cowok tersebut.
"Ngapain jaga image coba? Yang suka sama Xavier kan gue, terus Xavier-nya nggak suka sama gue. Jadi ngapain gue repot-repot jaga image segala?" kata Caca terdengar sangat santai.
Xavier yang mendengar hal tersebut terlihat menaikkan sebelah alisnya. Ia terlihat heran dengan sikap Caca. Baru kali ini Xavier mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut seorang gadis yang menyukainya.
Memang Xavier tidak pernah bertegur sapa dengan Caca. Namun dari sekian banyak siswa perempuan di sekolahnya yang menyukai Xavier, Caca lah sosok yang paling menonjol di antara siswi lain. Bahkan banyak guru yang suka menjodohkan Xavier dengan Caca.
"Lo kalo kasar kayak gini kapan mau punya pacar, Ca?" tanya Romeo.
"Nunggu Xavier mau sama gue lah," jawab Caca cepat.
"Kalo Xavier keburu nikah tapi enggak sama lo gimana?"
"Tinggal jadi istri kedua. Apa susahnya coba?" kata Caca yang semakin membuat Xavier takjub. Ia tidak menyangka jika gadis seperti Caca bisa begitu pandai berbicara.
"Jadi istri kedua kok bangga. Mending juga lo peka sama perasaannya Noah deh, gue kok tiba-tiba ngerasa itu es batu suka sama lo, Ca" tutur Romeo.
"Gue nggak suka sama cowok selain Xavier, Romeo. Paham nggak sih?" kesal Caca.
"Lo beneran nggak malu daritadi muji-muji Xavier di depan orangnya?" tanya Romeo sambil melirik ke arah Caca dan Xavier secara bergantian.
Mendengar pertanyaan dari Romeo tersebut pun membuat Caca seketika terdiam. Sekilas Caca melirik ke arah Xavier yang terlihat sama sekali tidak menatapnya.
"Syukurlah. Gue nggak perlu malu buat muji orang yang sama sekali nggak ngelirik ke arah gue," batin Caca.
Lagipula Caca sudah sering memuji Xavier di depan banyak orang yang ia temui. Bahkan Ariel dan Sandra pun kerap mengatakan jika mereka bosan mendengar cerita dari Caca yang terus menerus membahas soal Xavier.
"Ada butuh sama gue?" tanya Xavier yang berhasil membuat Caca menoleh.
"Ada. Kalo nggak ada juga gue nggak bakal susah-susah nyari lo," kata Caca sambil berusaha mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Setelah menemukan barang yang dicari, Caca segera mengambil barang tersebut kemudian kembali menutup tas ranselnya.
"Ini," kata Caca menyerahkan selembar cek bertuliskan nominal uang yang cukup besar.
Xavier yang melihat cek tersebut tidak langsung mengambilnya. Untuk sesaat otaknya masih belum bekerja dengan benar.
"Buat ganti rugi celana sama jaket lo yang ketumpahan kuah mie," ujar Caca memperjelas maksud dari cek yang ia berikan.
"Ganti rugi apaan, Xav?" tanya Romeo sambil melirik ke arah cek yang dipegang oleh Caca.
"WHAT? LIMA JUTA? LO MINTA GANTI RUGI SEMAHAL INI SAMA CACA?!" pekik Romeo yang membuat Xavier berdecak kesal ke arahnya.
"Diem, bego" geram Xavier.
"Wahh, kalo kayak gini gue nggak bisa tinggal diem. Masa lo tega sih Xav minta ganti rugi buat celana sama jaket lo yang harganya nggak ada akhlak. Apalagi lo minta ganti rugi sama Caca. Dia aja pontang-panting nyari kerja buat bayar sekolah, bukan buat bayarin jaket buluk lo itu." cecar Romeo masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Xavier.
Mulut ember Romeo memang tidak bisa dikondisikan. Hal semacam itu sering membuat Xavier emosi dan ingin mengahajar mulut lebar milik Romeo.
"Gue udah searching soal harga pakaian lo, dan emang enggak semurah ini sih. Buat sisanya gue kasih ke elo kalo udah bayaran lagi," kata Caca sambil memberikan cek tadi ke tangan Xavier
Sebenarnya Xavier ingin segera mengembalikan cek tersebut pada Caca demi melindungi harga dirinya. Namun, jika diingat-ingat, Xavier masih memiliki keperluan dengan Caca. Ia masih membutuhkan bantuan dari gadis tersebut.
"Karena gue udah kasih DP-nya, jadi tolong lo jangan ngebentak temen gue lagi. Oke?" kata Caca yang kemudian hendak berlalu dari hadapan cowok tersebut.
"Gue butuh jaminan." kata Xavier secara tiba-tiba membuat langkah Caca terhenti.
Caca terlihat menolehkan kepalanya dan menatap wajah datar nan tampan milik pria yang ia sukai. Di saat-saat seperti saja Caca masih bisa memuji ketampanan Xavier.
"Gue butuh jaminan kalo lo benar-benar akan melunasi semuanya," kata Xavier yang berhasil menyadarkan lamunan Caca.
"Lo mau jaminan apa?"
"Belum kepikiran," jawab Xavier cepat.
Jawaban yang sangat tidak mendukung bagi Caca. Bagaimana bisa Xavier meminta jaminan tapi dia sendiri tidak tahu wujud jaminan yang ia mau.
"Lo bisa hubungin gue kalo udah kepikiran jaminannya apa," kata Caca. Kemudian Caca segera berbalik arah karena merasa keperluannya sudah selesai.
"Nomer lo," kata Xavier kembali membuat langkah Caca tertunda.
Dengan kesabaran yang berlipat ganda, Caca kembali menoleh ke arah Xavier. Ia kemudian menengadahkan tangannya untuk bersiap-siap menerima ponsel dari Xavier.
Namun sepertinya bukan hal itu yang akan Xavier lakukan. Ia justru mengambil ponsel yang tengah digenggam oleh Caca, yang tentu membuat pemiliknya terkejut.
"Kenapa lo ambil hp gue?" tanya Caca bingung.
Xavier hanya terdiam. Ia terlihat mengotak-atik ponsel milik orang. Tidak butuh waktu lama bagi Xavier untuk menemukan kata sandi dari ponsel milik Caca. Setelah berhasil membuka ponsel tersebut, Xavier segera mengetikkan nomer ponselnya pada ponsel Caca.
Selesai menuliskan nomernya, Xavier segera mengembalikan ponsel tersebut pada tempat semula.
"Hubungi gue secepatnya tanpa harus mengganggu waktu sibuk gue." kata Xavier kemudian segera berlalu dari hadapan Caca.
Melihat kepergian Xavier tentu membuat Caca merasa sangat bingung. Caca yakin jika tadi Xavier meminta nomer ponselnya. Tapi, kenapa justru ponsel milik Caca yang Xavier ambil?
"Dasar cowok aneh," gerutu Caca lalu melangkahkan kakinya untuk menuju ke ruangan kelasnya.
***
"Ada gitu cowok yang lebih aneh dari Xavier?"
"Seaneh-anehnya Xavier juga Caca tetep suka."
"Nah itu dia yang gue bingungin. Goblok banget nggak sih? Bisa-bisanya gue stuck sama satu cowok yang aneh bin nyebelin bin enggak tertarik sama sekali sama gue. Udah gila apa?"
"Kan lo emang udah dari dulu gila gara-gara Xavier."
Caca mengangguk paham. Gara-gara bertemu dengan Xavier membuat otak Caca tidak bisa berfungsi dengan baik. Ia bahkan tidak bisa menjadikan laki-laki lain untuk menggantikan posisi Xavier di hatinya.
"Padahal ya, banyak kok cowok ya suka sama lo, Ca" kata Ariel.
"Kata siapa?" tanya Caca.
"Mana ada lah cowok yang mau sama cewek miskin dan buluk kayak gue," imbuhnya lagi.
"Haish, itu mah salah lo sendiri pake nutupin jati diri lo yang asli. Coba aja lo nggak pura-pura miskin dan buluk kayak gini. Pasti deh anak-anak Trisakti pada klepek-klepek sama lo," ujar Ariel.
Setiap harinya Caca memang berpenampilan biasa saja saat di sekolah. Ia sama sekali tidak merias dirinya, tidak menggunakan barang-barang yang mahal, dan lebih terkesan seperti gadis biasa-biasa saja. Benar-benar penyamaran yang sempurna.
"Muka lo dipoles dikit juga bakal kelihatan kinclong, Ca" kata Ariel.
"Gue tadi habis diinterogasi sama beberapa anak bahasa," kata Sandra yang langsung membuat Caca dan Ariel menoleh.
"Diinterogasi soal apa, San?" tanya Ariel.
"Soal Caca lagi," jawab Sandra.
"Lo kemarin habis pergi ke salon?" tanya Sandra pada Caca.
Gadis bernama Caca yang mendengar pertanyaan tersebut hanya menyengir tanpa dosa. Membuat Sandra yang melihatnya terlihat berdecak kesal.
"Jangan ceroboh kalo nggak mau kebohongan lo terungkap," peringat Sandra tegas.
"Sorry-sorry. Kemarin nyokap gue ngajak nyalon bareng. Ya kali gue nolak dapat gratisan kayak gitu," ujar Caca.
"Emang Caca habis nyalon di mana?" tanya Ariel.
"Di mall lah." jawab Sandra cepat.
"Elahh. Pantes aja. Anak-anak bahasa pada ngelihat Caca?"
Sandra mengangguk. "Pada heran lihat anak penjual pecel bisa ke mall apalagi sampai nyantai di tempat salon,"
"Cuma sekali doang kok," kata Caca.
"Sekali apanya? Udah tiga kali lo kepergok sama anak-anak sekolah di mall yang sama," timpal Sandra membuat Caca mengacungkan kedua jari tangannya.
"Gue juga pernah ditanyain sama Romeo tuh, kenapa kok gue sama Sandra mau temenan sama lo," ujar Ariel sambil mengingat pertanyaan Romeo satu tahun yang lalu.
"Terus lo jawab apa, Riel?" tanya Caca.
"Ya gue jawab kalo gue pengin aja gitu," jawab Ariel santai.
"Banyak juga kok yang heran sama lo, Ca. Maksudnya kan lo memperkenalkan diri sebagai anak biasa-biasa aja, tapi banyak disegani sama anak-anak sini. Apalagi si Serena biang kerok itu cuma bisa dikendalikan sama lo," tutur Ariel
"Cuma kebetulan aja, mereka semua nggak bener-bener tau gue yang sebenernya kok,"
"Tapi Noah tau." kata Sandra membuat Ariel seketika menoleh.
"Serius Noah tau?"
"Iya."
"Engga-"
"MATA LO DIMANA! HA!"
Teriakan tersebut membuat ucapan Caca seketika terhenti. Kali ini Caca dan kedua temannya sedang menoleh ke arah kerumunan siswa yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk. Dua orang siswa yang tidak lain adalah Serena dan Reva sedang menjadi bahan tontonan siswa lain.
"KALO JALAN ITU YANG BENER! LO MAU NANTANGIN GUE APA GIMANA!" bentak Serena yang hanya mampu membuat Reva menunduk lemah.
Di SMA Trisakti tidak ada siswa perempuan yang berani menantang Serena. Gadis tersebut selain sangat galak dan keji, ia juga menjadi salah satu donatur di sekolah ini yang membuat siswa bahkan guru segan untuk menegurnya. Kecuali satu orang yang bisa menjinakkan Serena.
"KENAPA CUMA DIEM AJA! MULUT LO NGGAK BISA NGOMONG! IYA!" emosi Serena sudah tidak bisa lagi dipendam saat ada orang yang berani menganggunya. Terlebih kekasihnya pun juga akan mendapat omelan dari Serena jika berani mengganggu ketenangan hidupnya.
"WOIII WOIII WOIII! ADA KERIBUTAN APA NIH?" seru Romeo sambil berjalan membelah kerumunan siswa yang sedang menonton amarah Serena pada Reva.
"Biasain lihat kejadian dulu, baru nanya!" omel Serena pada Romeo.
"Eits. Sabar dong Ser. Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua loh," gurau Romeo.
"Bodoamat." saut Serena galak.
"Heh! Kenapa daritadi lo cuma diem? Nggak mau jawab kenapa lo dorong gue sampai jatuh? Apa lo mau nunggu pahlawan lo datang datang dulu, baru lo mau jawab? Ha!" cecar Serena semakin merasa kesal karena Reva hanya diam.
"Maaf, gue nggak sengaja," lirih Reva pelan.
"Gue nggak butuh maaf dari lo. Gue butuh penjelasan. Paham nggak!" sentak Serena sambil menatap tajam ke arah Reva.
"Maaf, Ser. Maaf," lirih Reva.
Muak dengan sikap Reva membuat emosi Serena semakin memuncak. Ia mendekat ke arah Reva kemudian menyeret paksa rambut panjang Reva, yang tentu membuat sang pemilik rambut mengaduh kesakitan.
"Jangan main kasar dong, Rev"
"Diem!" bentar Reva pada Romeo.
Serena semakin menarik keras rambut Reva. Teriakan kesakitan Reva sengaja Serena buat untuk membuat mulut gadis tersebut berbicara. Namun Reva masih tetap diam. Hingga satu suara menginterupsi keduanya.
"SERENA STOP!"
Suara bariton tersebut membuat seluruh siswa yang berada dalam kerumunan menoleh. Terlihat tubuh jangkung Xavier yang berjalan mendekat ke arah Serena dengan tatapan tajam penuh amarah.
Sebelum Xavier sampai di depan Serena, gadis tersebut sudah melepaskan rambut Reva dan melempar gadis tersebut ke arah Xavier.
Xavier yang melihat hal tersebut pun segera menangkap tubuh Reva. Ia meneliti wajah Reva yang sudah terlihat ketakutan.
"Kamu nggak papa? Apa ada yang sakit?" tanya Xavier yang dijawab gelengan kepala oleh Reva.
"Aku nggak papa, Xav" jawab Reva lemah.
Sesaat Xavier berusaha menenangkan Reva dari rasa takut. Ia kemudian menitipkan Reva pada Romeo, dan setelah itu Xavier tampak mendekat ke arah Serena.
"Maksud lo apa, Ser?!" geram Xavier.
"Lo nyalahin gue?" tanya Serena santai.
"Lo udah nyakitin cewek gue, bangsat!" geram Xavier sambil mengepalkan kedua tangannya. Jika saja Serena bukan wanita, sudah pasti Xavier akan langsung menghajarnya.
"Dia duluan yang gangguin gue!" ujar Serena yang tak kalah galak dengan Xavier.
"Tapi Reva udah minta maaf!"
"Gue nggak butuh kata maaf dari dia!"
"Terus lo butuh apa!"
"Gue butuh penjelasan dari cewek murahan itu!"
"JANGAN SEKALI-KALI NGATAIN CEWEK GUE. BANGSAT!" bentak Xavier yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia benci jika orang-orang menyakiti Reva.
"Nggak usah lebay, Xav. Jangan mentang-mentang Reva cewek lo jadi ngebuat lo buta. Itu cewek lo yang selalu lo banggakan dan lo jaga, nggak pernah sekalipun punya sopan santun sama gue!" cecar Serena tidak mau kalah dengan Xavier. Ia pun merasa benci jika mendengar Xavier terus membela Reva.
"Minta maaf sekarang sama Reva!" titah Xavier.
"Nggak!"
"Minta maaf sekarang, atau lo gue laporin ke BK?" ancam Xavier yang membuat Serena tersenyum licik.
"Lo laporin gue ke BK, gue bakal laporin lo ke Tante Tiana kalo lo habis bayarin SPP-nya Reva. Gimana?" tantang Serena yang berhasil membuat emosi Xavier kembali naik.
"Lo berani—"
"Serena."
Panggilan tersebut membuat Serena menoleh. Dilihatnya Caca yang sekarang sudah berdiri diantara dia dan juga Xavier.
"Aduh, Ca. Kenapa lo datangnya sekarang sih?" kesal Serena pada Caca. Kali ini tatapan Serena lebih membaik saat menghadapi Caca.
"Berisik banget tau, Ser. Gue benci sama suara cempreng lo," ujar Caca yang diakhiri dengan kekehan kecil.
"Tahan bentar dong. Gue belum kelar marahin gebetan lo ini," kata Serena sambil melirik ke arah Xavier.
"Marahnya dipending dulu. Dua menit lagi mau bel," kata Caca berusaha menghentikan pertengkaran antara Serena dan Xavier.
"Harus banget gue tunda?" tanya Serena memastikan.
Caca mengangguk cepat. "Entar habis pulang sekolah gue traktir indomie pake telor deh."
Serena tampak menghela napas panjang. Sangat kecewa karena kemarahannya tidak bisa dikeluarkan semuanya.
"Okedeh. Gue ikutin kemauan lo," kata Serena yang membuat Caca tersenyum lega.
"Dan buat lo!" seru Serena melirik ke arah Reva yang berada di belakang Xavier.
"Urusan kita belum selesai!" imbuh Serena masih terus menatap tajam ke arah Reva.
"Udah yuk ke kelas, Ser" ajak Caca sambil menarik lengan Serena untuk menjauh dari kerumunan.
Setelah Serena pergi dengan Caca, para siswa yang tadinya berkerumun tampak membubarkan barisan. Sampai akhirnya hanya tinggal Xavier dan Reva saja yang berada di tempat tersebut.
Xavier terlihat masih berdiam diri di tempatnya. Ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya. Ya. Xavier heran dengan hungan Serena dan Caca yang sangat dekat. Bahkan rumor jika Serena hanya takluk dengan Caca, memang benar adanya.
"Xavier," panggil Reva yang membuat Xavier segera menoleh.
"Lagi mikirin apa?" tanya Reva saat melihat raut wajah Xavier.
"Tidak ada," jawab Xavier. "Kamu beneran tidak apa-apa?"
Reva mengangguk. "Aku tidak apa-apa, Xav. Masih sehat-sehat gini,"
"Syukurlah. Kalau gitu aku anter kamu sampai ke kelas ya?" ajak Xavier yang segera disetujui oleh Reva.
***