Tidak bisa dipungkiri, setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang bahagia dalam hidupnya. Begitupun denganku, seorang gadis yang sejak kecil sudah harus dituntut untuk menjadi seorang wanita yang kuat. Aku juga menginginkan kehidupan yang sama seperti teman-temanku, berbahagia dengan perhatian yang utuh dari kedua orang tuanya.
Tapi apalah dayaku? aku harus puas dengan segala pahitnya kehidupan yang terus menghimpitku. Lika-liku hidup yang terus menempaku menjadi seorang gadis yang pemberani dan kuat.
Setiap manusia punya kadar ujiannya masing-masing dan selalu ada alasan serta jalan untuk melalui semuanya tanpa mengeluh. Kita hanya butuh berproses, pelan tapi pasti, yakinlah pada diri sendiri kalau Allah subhanahuwataala mempercayaimu dengan memberimu berbagai ujian hidup, itu berarti kamu mampu untuk melalui semuanya.
Terimakasih untuk semua yang telah hadir, masuk ke dalam kisah hidupku ini. Aku bersyukur, masih banyak orang yang begitu perduli dan mau mengiringi setiap langkahku. Membimbingku dan memberi motivasi agar aku bisa lebih kuat dalam menghadapi peliknya hidup.
Hingga akhirnya aku mampu melangkah ke depan dengan mantap tanpa keraguan di dalam hatiku.
~KIRANA NINGRUM~
***
~20 januari 1974~
Mereka memanggilku dengan sebutan "BRINDIL", yah... mungkin karena rambutku yang bisa dibilang sedikit keriting, atau lebih tepatnya kribo. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan panggilan itu, bagaimana pun juga walaupun rambutku keriting aku tetap tidak terima jika ada orang yang mengatakan aku kribo.
Umurku saat itu menginjak usia 4 tahun. Aku hidup bahagia bersama kedua orang tuaku, ketiga kakakku, dua orang adik dan satu pembantu yang merangkap menjadi baby sitter.
Kami tinggal di desa yang berada di daerah pegunungan yang cukup terpencil. Bisa dibilang, saat itu ekonomi keluarga kami cukup baik, buktinya kami bisa membayar satu pembantu rumah tangga.
Ayahku seorang pedagang, dia berjualan di pasar yang berada di kota. Jarak antara desa dan kota sangat jauh, hampir satu hari satu malam untuk mencapai kota. Belum lagi, tidak ada transportasi apapun yang melintas di desa kami. Hanya mengandalkan sepeda onthel, yang pada masa itu masih sangat mewah dan hanya beberapa orang yang memilikinya.
Tapi tunggu dulu, kami memiliki harta lebih bukan karena ayah kami yang seorang pedagang. Tetapi warisan yang diperoleh dari nenek dari pihak ibu. Beliau meninggalkan banyak sekali tanah, sawah, dan perladangan. Dari hasil bumi itulah kami mempunyai uang lebih untuk hidup di desa yang sangat jauh dari hiruk-pikuk kota dan sangat terpencil. Bahkan dari hasil bumi itu juga ayahku bisa mendapatkan modal berjualan.
Setiap kali ayah hendak pergi, aku selalu merengek ingin ikut ke kota. Sebenarnya tidak seberapa ingin, aku hanya ingin mendapat perhatian lebih dari ayahku. Mungkin juga karena saudara kandungku lumayan banyak, jadi perhatian dan kasih sayang pun juga harus dibagi rata.
Aku merengek sembari berguling-guling di halaman rumah kami yang ditumbuhi rumput hijau. Menangis, meraung dengan sangat keras, sampai akhirnya ayah tidak tega dan menggendongku.
Aku masih ingat sekali, setiap aku berbuat nakal seperti itu ayah selalu berkata dengan tegas namun lembut, "Jangan menangis, nanti kalau Bapak pulang, Bapak bawakan kamu rese (ikan asin)," ujar ayahku dengan suara yang sangat tegas namun lembut.
Setelah ayah menggendongku, aku mulai berangsur berhenti menangis. Ku sandarkan kepalaku dengan manja di dada ayah yang bidang dan berbulu lebat. Ayahku memiliki darah keturunan arab, sehingga perawakannya tinggi, besar dan banyak bulu di dada dan dagunya menyambung hingga di bawah telinganya.
Hanya aku yang paling manja dengan ayahku, ke 3 kakakku segan pada ayah. Mereka sangat menjaga jarak, bahkan terbilang sangat takut. Sedangkan kedua adikku masih sangat kecil, mereka belum mengerti apapun. Umurku dan adikku hanya selisih satu tahun, dan dengan adikku yang terakhir selisih dua tahun.
Akhirnya, setelah ayah berjanji akan membelikanku rese, aku berhenti menangis dan mau ditinggal oleh ayah. Beliau menurunkanku dari gendongannya, namun sebelumnya ayah mencium keningku.
"Jangan nakal ya?" pesan ayah setiap kali hendak pergi, kata-kata itu yang selalu diucapkannya saat hendak pergi ke kota, karena ayah tahu, aku lah yang selalu membuat keributan dan mengganggu adik-adikku.
Aku mengangguk patuh, terlihat seperti anak yang baik dan polos. Padahal sebuah rencana besar sudah tersusun rapi di dalam benakku.
Ayah mulai mengayuh sepedanya setelah berpamitan dan mengucap salam. Hanya aku yang terus melambaikan tangan sampai punggung ayah tak lagi nampak oleh jangkauan mata.
"Ndil!" panggil Mbok Lastri, pembantu sekaligus pengasuh kami. "Sini makan dulu," ucap wanita yang berusia sekitar 30 tahunan itu.
Ayah dan ibu membiasakan kami memanggil Lastri dengan sebutan "Mbok" walaupun sebenarnya usianya lebih pantas kami panggil tante atau bibi, biar lebih akrab dan dekat kata ayahku.
"Iya Mbok!" sahutku, lalu segera menghambur ke arah mbok Lastri.
Saat berlari ke arah mbok Lastri, aku menyempatkan diri untuk melongok ke kamar ibuku. Di dalam kamar, ibu sedang menidurkan kedua adikku, Ahmad dan Diyah.
Terbersit ke-isengan dalam benakku, jika aku mencubit kulit Ahmad sedikit saja, maka suasana yang sepi ini akan berubah menjadi lebih ramai, dan aku rasa itu cukup menyenangkan.
Aku mengurungkan niatku untuk memenuhi panggilan mbok Lastri. Aku lebih memilih untuk masuk ke kamar ibuku, mengendap-endap, dan bersembunyi di bawah ayunan adikku, Ahmad.
Ku lihat ibuku sedang tertidur lelap di samping Diyah, mungkin lelah karena semalaman penuh ibu terjaga. Diyah dan Ahmad rewel, di mulai setelah maghrib hingga sebelum subuh mereka tidak berhenti menangis.
Tapi apalah dayaku, aku yang masih berumur 4 tahun dengan segala sifat kekanak-kanakanku, akhirnya kelanjutkan rencana jahilku. Ku cubit lengan kecil Ahmad, dengan sekali cubitan namun cukup keras.
Tanpa hitungan detik, Ahmad menangis meraung-raung. Aku sengaja memilihnya, karena suaranya lebih menggema dari pada suara Diyah.
Aku berlari keluar dengan tergesa-gesa, namun sepertinya ibu sempat melihat sekelebat bayanganku.
Seluruh isi rumah gempar setelah mendengar tangisan Ahmad. Kakak pertamaku, Sri Handayani, ikut berteriak karena dia sedang menyelesaikan tugas sekolahnya. Kakak keduaku, Hadi, juga ikut menghambur ke kamar Ahmad setelah mendengar tangisan Ahmad yang sangat keras. Sedangkan kakak ketiga ku, Aisyah, dia juga ikut panik dan berlari untuk melihat keadaan Ahmad.
Aku bersembunyi di balik pintu, aku menyaksikan mereka semua berlari ke arah Ahmad dengan wajah panik, kecuali mbok Lastri. Aku tidak melihatnya, kemana dia? bahkan belum ada beberapa menit dia memanggilku untuk makan, mana mungkin dia sudah pergi? tapi tidak mungkin juga mbok Lastri tidak mendengar teriakan Ahmad.
Aku tidak perduli, ini kesempatanku untuk pergi dan menjalankan rencana selanjutnya. Saat semua orang sedang sibuk menenangkan Ahmad, aku bisa menyelinap keluar rumah tanpa diketahui oleh siapapun.
Ku ambil sandalku, ku tenteng, lalu dengan sedikit berjinjit aku berjalan keluar rumah lewat pintu belakang.
Kebetulan saat itu kampung sedang sepi. Warga desa sedang sibuk di ladang saat pagi hari dan akan kembali saat mendekati waktu zuhur.
Aku berlari kecil sambil terus bernyanyi tidak jelas. Sesekali aku berhenti karena melihat kupu-kupu atau capung yang hinggap di pagar rumah tetanggaku.
Seorang tetanggaku, nenek tua, dia sangat hafal dengan suaraku yang sedikit cadel dan cempreng. Dia mendengar aku sedang bernyanyi di samping pagarnya.
"Brindil!" panggilnya, "Siapa itu? Brindil ya?" ucapnya. Pendengarannya masih sangat baik, hanya penglihatannya yang sudah sedikit menurun.
Aku tertawa kecil, "Iya Mbah!" tukasku.
"Heh, mau kemana? jangan main jauh-jauh!" ujarnya sembari tertatih berjalan menggunakan tongkatnya ke arahku.
Aku segera berlari kecil, aku tidak ingin dia mendekat, nanti malah dia banyak mengajukan pertanyaan padaku.
"Brindil!" panggilnya lagi.
Kali ini aku tidak menyahut, aku ingin segera sampai di tempat tujuanku. Keinginan yang selama ini selalu aku pendam.
To be continued...