Chereads / PERJALANAN MENEMBUS KABUT / Chapter 4 - KASIH SAYANG PAMAN

Chapter 4 - KASIH SAYANG PAMAN

Aku masih menangis, namun kali ini semakin keras, karena para semut sepertinya mengerahkan seluruh bala tentaranya untuk menyerang kaki mungilku bahkan sudah menjalar sampai ke perutku.

Paman berlari ke arah sumber suara tangisanku dan akhirnya menemukanku di balik pohon rambutan yang sangat besar itu.

"Ya Allah!" serunya panik, mungkin karena melihat kakiku yang sudah berbuah menjadi sarang semut.

Paman segera mengangkatku dari kerumunan semut merah itu, membersihkan kakiku, lalu menggendongku masuk ke dalam rumahnya.

Paman tinggal sendiri di rumahnya, karena belum lama ini dia harus terpaksa bercerai dengan istrinya karena suatu hal.

Setelah membuka pintu rumahnya, aku dibawanya masuk ke dalam. Masih dalam keadaan menggendongku, paman mengambil segelas air putih lalu diberikan padaku.

"Ayo Ndil, minum dulu. Sudah, cup... cup... jangan nagis ya," ucapnya dengan sabar.

Aku menuruti perintah paman untuk minum air putih itu. Setelah meminumnya, aku merasa lebih baik, mata air pegunungan memang sangat menyegarkan. Selain sangat jernih, airnya juga terasa manis.

Perlahan tangisku mulai reda, aku minta diturunkan dari gendongan paman dan hendak duduk sendiri di kursi bambu favoritku.

Setelah aku berhenti dari tangisanku, paman mulai bertanya kenapa aku bisa di sini dan siapa yang mengantarku kemari.

"Ndil, Pak Lek mau tanya," ucapnya memulai pembicaraan. Pak Lek adalah panggilanku ke pamanku, singkatan dari Bapak cilek dalam bahasa jawa artinya bapak kecil, adiknya ibuku.

Aku mengangguk kecil sembari berguling-guling di kursi bambu milik paman.

"Kamu sama siapa ke sini?" tanya paman, "Siapa yang mengantarkanmu main ke sini?" ucap paman lagi meralat pertanyaannya.

Aku menggeleng.

Paman mengerti maksudku, menggeleng artinya tidak ada yang mengantarku kesini atau aku datang sendiri ke rumah paman.

"La kok sendirian?! kok ya tega banget Mbak Amanah, membiarkan kamu kesini?!" ucap paman lagi, dia mulai panik setelah tahu kalau aku datang sendiri ke rumahnya.

Aku mengacuhkan ucapan paman, aku mulai sibuk bermain sendiri.

"Ndil?" panggil paman.

Aku menoleh, namun tetap diam membisu.

"Kalau dipanggil itu jawab ya nduk," ucap paman mengajariku adab yang baik.

Akhirnya aku menjawab, "Hemm," jawabku pendek.

Paman tidak marah mendengar jawabanku, dia malah mendekat lalu membelai rambut kritingku.

"Lain kali jangan ke sini sendiri ya Ndil," ucap paman menasehati. Paman melihat strawberry di kantung celanaku, dia tahu kalau aku pasti memetiknya di persimpangan jalan, karena memang di sana banyak sekali tumbuhan strawberry liar. "Kamu tahu gak? di persimpangan, yang ada buah strawberry-nya itu, di sampingnya ada jurang yang dalam banget. Kalau Brindil kepleset, jatuh, gak bisa keluar lagi dan gak ada yang bisa bantu Brindil keluar dari sana," ucap paman, bukan bermaksud menakut-nakutiku karena memang di sana ada jurang yang sangat dalam. Tapi, memperingatkan-ku agar tidak main ke sana lagi. Paman melanjutkan ucapannya, "Di dalam jurang itu, ada banyak ular, kalajengking, dan kecoa. Brindil gak takut digigit apa?" ucap pamanku lalu menggelitik pinggangku.

Aku tertawa sambil memohon agar paman menghentikan gelitikannya.

"Ampun! ampun Pak Lek!" teriakku sambil tertawa.

Paman menghentikan gelitikannya, lalu mengambil dua piring plastik. Kemudian membuka penutup nasi.

"Makan dulu," ucap paman sembari mengambil satu entong nasi dari dalam bakul kecil. "Mau makan pakai apa? tempe? sayur daun singkong?" tanya paman sambil menoleh ke arahku. Karena di meja makan memang hanya tersedia dua menu itu, tempe goreng dan sayur daun singkong.

"Dua-duanya," tukasku.

Dengan sabar dan telaten paman meladeniku, hal yang selalu ku perjuangkan setengah mati dari ayah tapi malah aku dapatkan dari pamanku.

Dengan manja aku merajuk, "Paman, aku mau tempenya dua," ucapku sambil merengek.

Paman masih dengan sabar menuruti kemauanku, padahal tanpa aku memintapun paman sudah tahu kalau aku suka dengan tempe goreng.

"Iya," jawab paman lembut.

Sepiring nasi jagung, sayur daun singkong dan dua potong tempe goreng. Aku menyambut makananku dengan tidak sabar. Ku ketuk-ketuk meja paman dengan kedua tanganku yang mungil.

"Baca doa dulu sebelum makan Ndil," ucap paman mengingatkan-ku.

Aku nyengir malu, terkadang aku sering lupa saat makan di rumah. Karena Mbok Lastri juga sering lupa mengingatkan-ku.

"Bismillah," ucapku. Lalu dilanjutkan doa mau makan yang diajarkan oleh pamanku.

Aku dan paman makan bersama-sama, sembari menyuapkan nasi kemulutku, aku berceloteh.

"Aku tadi lihat Bapak, Pak Lek," ujarku dengan nada khas anak kecil. "Bapak bohong," ujarku polos.

"Bohong apa?" tanya Pak Lek ku, "Lihat dimana? Bapakmu 'kan kerja, dagang di pasar," ujar pamanku.

Aku menyangkal ucapan paman, "Enggak Pak Lek, aku tadi lihat Bapak sama Mbok Lastli, di sana," tukasku membantah ucapan paman.

Paman hanya tersenyum, tidak menanggapi ucapanku lagi. Lalu mengalihkan pembicaraan dengan bertanya apakah aku ingin menambah nasi atau tidak.

"Nambah ya?" tanya paman.

Aku menggeleng.

"Nanti, setelah sholat zuhur paman antar kamu pulang ya Ndil. Ibumu pasti kebingungan nyariin kamu," ujar paman.

Aku mengangguk patuh.

Paman lebih dulu menyelesaikan makannya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah beberapa saat kemudian, paman sudah selesai mandi. Sedangkan aku masih berkutat dengan piringku.

"Paman azan dulu ya Ndil, kamu jangan kemana-mana," ucap paman.

Aku kembali mengangguk patuh.

"Nanti kalau sudah selesai, piringnya letakkan di situ saja terus kamu cuci tangan. Kalau mau ikut sholat di mushola, ambil wudhu dulu, bisa 'kan?" tanya paman.

"Bisa," tukasku tanpa menatap ke arah paman.

Paman segera pergi ke mushola yang berada di samping rumahnya. Tidak berselang lama, suara azan mulai berkumandang dengan merdu.

Aku sudah menyelesaikan makan siangku, lalu piringnya aku biarkan tergeletak di atas meja. Aku berlari kecil ke arah kamar mandi paman, di sana aku mencuci tanganku.

Tapi ternyata airnya sangat dingin dan menyegarkan, air yang mengalir langsung dari pegunungan dan disalurkan lewat pipa air yang berbahan bambu. Awalnya niatku adalah mencuci tangan lalu mengambil wudu, tetapi ternyata keinginanku berubah. Aku malah asik bermain air, hingga semua bajuku basah kuyub.

Beberapa menit kemudian, aku merasa sedikit bosan dan rasa dingin mulai menyentuh kulitku.

Aku keluar dari kamar mandi dan duduk di kursi bambu milik paman. Kurebahkan tubuh mungilku, lalu meringkuk ke sebelah kiri dengan tangan kuselipkan di antara kedua lututku.

Rasa kantuk mulai menyerangku, perlahan pandanganku mulai kabur dan akhirnya aku tertidur lelap dengan pakaian yang masih badah kuyup.

*

Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggil namaku, semakin lama semakin jelas. Antara sadar dan setengah bermimpi, aku mengabaikan panggilan itu. Lalu berbalik arah dan merubah posisi tidurku. Kali ini tangan kananku ku jadikan bantal, sedangkan tangan kiriku ku gunakan untuk menutup telingaku.

To be continued...