Kami melewati persimpangan yang banyak ditumbuhi strawberry liar. Aku mengajak ibu dan pamanku untuk berhenti sejenak, memetik strawberry itu.
"Bu, ayo... ambil stlawbelli," rengekku.
Ibu menuruti kemauanku, kami berhenti sejenak dan tidak membuang kesempatan, aku segera memetik buah strawberry sebanyak-banyaknya.
"Jangan terlalu ke pinggir An," ucap ibu memperingatkan, saat melihatku sudah sangat dekat dengan jurang.
"Enggak lo!" bantahku.
Ibu melihat ke arahku, lalu tersenyum simpul. Mungkin karena melihat wajahku yang cemong setelah menyantap strawberry atau melihat mulut, saku celana dan baju, sekaligus tangan mungilku penuh dengan strawberry.
"Ayo pulang," ajak ibu.
"Iya Ndil, sudah hampir malam," sahut paman.
Sebenarnya aku juga tahu kalau sebentar lagi malam, tapi sepertinya aku dilahirkan dengan sifat yang dramatis dan manja.
"Gak mau," rengekku, lalu bergulung di tanah.
"Eh, Ana mau nginep sini?" tanya ibu menggodaku.
"Gak mau!" sahutku ketus sambil terus merengek.
Akhirnya paman mengerti maksudku, "Ayo paman gendong," tawar paman.
Seketika aku diam, memang itu yang ku inginkan. Rasanya kaki kecilku ini cukup lelah naik turun bukit dan pegunungan yang jalannya cukup curam dan berliku, belum lagi tanjakannya. Huh... rasa-rasanya aku ingin berhenti di tempat ini dan membuat tenda, lalu menginap di sini.
Aku bernyanyi riang gembira di sepanjang jalan sambil terus berceloteh. Namun anehnya, ibuku tidak bertanya apapun padaku. Kemana tadi aku pergi? apa saja yang terjadi padaku? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang biasa seorang ibu tanyakan saat anaknya pergi dari rumah. Mungkin juga karena ibu tidak tahu tujuan awalku, ibu mengira aku memang berniat pergi ke rumah paman.
"Bu, ibu!" panggilku dengan nada melengking, padahal ibu juga sedang berjalan di sampingku.
"Iya," jawab ibu dengan sabar.
"Aku tadi lihat Bapak," tukasku.
"Dimana?" tanya ibu masih.
"Dilumahnya Mbok Lastli," jawabku enteng. "Kayaknya lagi kelokan, Bapak gak pake baju. Hihihi...." ucapku lalu tertawa malu sambil menutup mulutku menggunakan tangan mungilku.
Tiba-tiba saja paman menghentikan langkahnya, begitupun dengan ibu. Hening, dalam sedetik itu, ibu dan pamanku seakan berhenti bernafas. Aku juga tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan, yang aku lihat hanya raut wajah ibu berubah seketika.
"Halah Ndil, kamu itu pinter ya membuat cerita," ucap paman mengalihkan pembicaraan, lalu tertawa terkekeh.
Aku nyengir kuda, sembari sibuk menyuapkan strawberry ke mulutku.
*
Kami sudah sampai di halaman depan rumah. Di teras rumah, Mbak Is, Mas Hadi, dan Mbak Sri, sedang duduk dengan gelisah, mungkin menunggu kepulanganku. Saat paman menginjakan kaki di teras rumah, hidungku mengendus bau-bau aneh. Seperti kemenyan, dupa, atau wewangian yang biasa digunakan oleh dukun lainnya, aku juga tidak tahu.
"Emh, bau apa ini!" teriakku kesal.
"Bau apa Ndil?" tanya paman santai.
"Ini lo Lek, bau wangi-wangi tapi gak enak!" gerutuku.
Paman menurunkan aku dari gendongannya.
"Sudah, sudah sampai rumah. Cepat sana mandi lalu ambil wudu, kita salat berjamaah," ucap pamanku.
Mbak Is langsung berlari ke arahku dan memelukku erat, ku rasakan hangatnya tali persaudaraan yang mbak Is berikan untukku.
"Dari mana aja Dek?" bisik mbak Is, suaranya jelas terdengar parau walaupun volumenya sangat lirih. Aku bisa merasakan kekhawatiran yang mendalam sedang dirasakan oleh kakak-ku yang satu ini.
"Sudah, ayo masuk dulu. Biar adekmu ganti baju dulu Is, sekalian kita sholat berjamaah," ucap Pamanku.
Sepertinya ibu baru menyadari kalau sepeda ayah terparkir di pagar bambu rumah kami. Sembari mengajak kami masuk, ibu bertanya pada Mbak Sri.
"Sri, itu sepeda Bapakmu? kok ada di sana?" tanya ibu.
Mbak Sri menoleh ke arah sepeda, "Iya Bu, Bapak baru aja pulang, katanya sepedanya rusak, ban-nya bocor," tukas Mbak Sri.
Ibu tidak melanjutkan pertanyaannya, hanya saja matanya terus melihat ke arah sepeda itu. Aku melihatnya, ibu mengeriyitkan keningnya, sepertinya sedang berpikir keras dan ada kecurigaan besar dalam hatinya.
Mungkin ibu sedang berpikir, tidak biasanya bapak pulang seperti ini. Biasanya, walaupun sepedanya rusak, bapak tetap akan melanjutkan perjalanannya, karena di kota pasti akan menemukan bengkel. Apalagi bapak pergi sudah sejak pagi dan suasana cerah, pasti perjalanannya juga tidak banyak menemui kendala. Sekilas aku melihat mata ibu menatap ke arah-ku, aku hanya bisa menerka-nerka apa yang sedang ibu pikirkan. Mungkin, ibu memikirkan tentang ucapanku tadi.
"Bu..." rengekku manja, lalu bergelayut di lengan ibu.
Ibu hanya tersenyum ke arahku. Tatapan matanya sayu, aku yakin ada yang sedang ibu pikirkan.
*
Saat kami hendak mengambil air wudu, bapak sedang duduk di kursi goyang kesayangannya. Bapak menatap kosong ke depan sembari sesekali menghisap cerutunya, seakan tak menghiraukan azan magrib yang sedang berkumandang.
"Dari mana kamu Na?" tanya bapak dengan nada berat dan dingin.
Aku melihat kemarahan di wajah bapak, ku pegang dengan erat tangan ibu lalu perlahan bersembunyi di belakang ibu.
"Kalau ditanya jawab Na!" gertak bapak dengan suara yang lebih keras.
Semua orang tertunduk dan diam, tidak ada satupun yang berani menjawab pertanyaan bapak, kecuali ibu.
"Sudah Pak, sebaiknya kita sholat dulu ya. Dia cuma main ke rumah pamannya," jawab ibu.
Aku melihat api amarah di mata bapak, tiba-tiba saja bapak mendekat ke arah ibu dan tamparan keras dari tangan kekar itu mendarat di wajah manis ibuku.
Plakk... suaranya menggema ke seluruh ruangan rumah. Tidak ada satupun yang membela ibu, termasuk pamanku. Mereka semua terdiam layaknya patung yang bernyawa.
"Itu lah kebodohanmu! kamu tidak becus mengurus anak! apa kerjaanmu seharian? tidur?! terus saja belain dia, biar dia semakin ngelunjak! kamu terlalu memanjakan dia, kamu ceroboh!" umpat ayahku, di depan semua orang bapak menghina dan menyalahkan ibu atas kesalahanku.
Aku mengumpulkan semua keberanianku untuk membela ibuku, entah kenapa, sejak hari itu aku merasa sangat sakit hati luar biasa. Padahal saat itu aku masih anak-anak, yang bisa dibilang hanya mengerti bermain saja. Aku tidak terima melihat ibuku diperlakukan seperti itu.
Ku lepaskan genggaman tangan ibu, lalu berlari ke arah ayahku. Ku dorong tubuh ayah dengan sekuat tenaga.
"Jangan pukul ibuku!". Itu adalah kata-kata pertama yang meluncur dari bibir kecilku. Ku rekatkan gigi gerahamku yang ompong, lalu berkacak pinggang layaknya seorang jagoan.
Sesuatu yang tidak bisa aku lupakan hingga aku dewasa, sebuah luka yang begitu dalam dan sulit untuk kering atau memang tidak akan pernah kering.
Awalnya ayah terlihat marah dengan sikapku, tapi dia lebih memilih mundur dan tidak melanjutkan permasalahan ini.
Aku memeluk ibu dengan sangat erat, sambil melihat satu persatu wajah yang diam saja saat melihat ketidakadilan ini sedang berlangsung. Mbak Is, dia menangis sesenggukan lalu berlari ke kamarnya. Paman, aku melihat kemarahan di matanya, namun juga tidak mampu berbuat apapun. Karena ini menyangkut masalah rumah tangga, dia juga segera pergi mengambil wudu. Mbak Sri dan Mas Hadi seakan tidak perduli, mungkin karena hal biasa yang sering terjadi. Sedangkan Mbok Lastri, dia malah sibuk membuat teh untuk ayahku. Ada rasa muak saat melihat Mbok Lastri, dia seakan sedang mengambil hati ayahku dengan berbuat sok perhatian.
Aku dan ibu juga segera berlalu untuk mengganti pakaianku lalu mengambil wudu. Saat melintas di samping ayah, lagi-lagi aku mencium aroma dupa itu.
***
To be continued...