"Beraninya kamu sakiti Lastri!" bentak bapak, tanpa basa-basi. Suara bapak begitu menggelegar, membuat jantungku berdebar hebat.
Ibu tidak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik baru kemudian ku dengar suara ibu, "Maksudnya, apa Pak? Ibu gak ngerti?" tanya ibuku, bingung.
"Halah! tidak perlu berlagak bodoh! kamu bentak dia kan?! kamu menyalahkan dia karena Diyah 'kan?! padahal kamu yang bodoh! kamu yang ceroboh!" bentak bapak dengan suara menggelegar.
Ibu hanya menelan salivanya, lalu menghela nafas. Ibu sama sekali tidak marah atau membalas tuduhan bapak dengan emosi.
"Pak," ucap ibu lembut. "Bapak sabar dulu, sepertinya ada kesalah pahaman di antara kita," jelas ibu.
Tapi bapak langsung menyangkal ucapan ibu dengan terus membela mbok Lastri.
"Sudah! kamu tidak perlu menjelaskan apapun. Lastri sudah cerita semuanya, dia sampai nangis-nangis. Bahkan, dia berpikir akan berhenti bekerja dari sini! Kamu gak punya hati nurani ya Nah?! kamu tahu, dia itu hidup sebatang kara," oceh bapak.
"Pak, Bapak 'kan gak tahu kebenarannya, Bapak hanya mendengar cerita dari Lastri saja. Bapak belum mendengar cerita dariku," ucap ibu mencoba menjelaskan.
"Saya gak butuh penjelasan kamu! kamu seharusnya berpikir dulu sebelum memarahi Lastri, dia itu kesini saya yang bawa! kamu jangan seenaknya sama dia!" tukas ayahku lagi.
Ada yang berbeda dari ayah, dia tidak seperti ayahku yang dulu. Yang sangat mencintai ibu dan juga kami anak-anaknya. Ayah berubah drastis, lebih banyak diam, sekalinya berucap kasar, sering marah-marah dan sikap buruk lainnya.
Aku masih ingat, saat usiaku dua tahun. Ayah selalu menggendongku kemanapun kami pergi, karena memang dari kecil akulah yang paling manja dengan ayah. Saat itu ibu sedang mengandung Ahmad, dan walaupun saat itu aku masih sangat kecil, tapi aku ingat dengan jelas ayah sangat sayang dan perhatian pada ibu.
Selain itu, mbak Is juga sering mengatakan kalau sikap ayah berubah. Aku tidak cukup mengerti, tapi mbak Is selalu mengatakan kalau ayah seperti di bawah kendali. Entahlah maksudnya apa, di bawah kendali? aku hanya meng-iyakan saja. Mbak Is memang paling peka di antara ke dua kakakku yang lain. Menurutku dia lah yang paling dewasa pemikirannya dan perilakunya di banding yang lain, terutama dia adalah kakak yang paling menyayangiku.
"Jangan sampai aku melihat atau mendengar lagi Lastri menangis gara-gara kamu! kalau sampai itu terjadi lagi, kamu akan tahu akibatnya!" gertak bapak.
Setelah mengatakan hal itu, bapak pergi meninggalkan ibu sendirian di dapur.
*
Aku masih duduk meringkuk di bawah meja, tanpa terasa air mataku mulai menetes. Apa salah ibuku? kenapa ayah begitu kasar padanya? kenapa ayah lebih membela pembantu kami? beribu pertanyaan mulai bermunculan di kepalaku.
Aku memberanikan diri keluar dari persembunyianku. Ku lihat ibu sedang duduk dengan menyangga wajahnya di atas meja. Ibu memang paling bisa menutupi kesedihannya di depan kami, anak-anaknya. Tapi, kali ini aku benar-benar melihat ibu menangis. Tak berkata apapun, hanya air mata yang terus mengalir deras, sebagai ungkapan tentang semua kesedihannya.
Aku berjalan mendekat, lalu ku sentuh lengan ibu.
"Bu," ucapku lirih.
Ibu sepertinya sangat terkejut dengan kedatanganku. Lalu secepat mungkin mengusap air matanya.
"Loh, Ana?" ucapnya terbata, suaranya parau dan serak.
"Bu," ucapku lagi, melihat ibu menangis, aku pun akhirnya ikut menangis.
"Ana, kenapa?" tanya ibu, masih berusaha menahan air matanya. "Sudah, jangan nangis ya sayang? cup... cup..." ucap ibu menenangkan aku.
Aku memeluk ibu, erat. Lalu air mata ibu pecah, ibu tidak lagi mampu membendungnya lagi.
**
"Assalamualaikum," ucap mbak Is yang baru saja pulang dari sekolah. Lalu disusul oleh mbak Sri dan mas Hadi.
Aku dan ibu menjawab serentak, "Waalaikumusalam,"
Mereka terlihat sangat letih, bagaimana tidak? untuk sampai ke sekolah, mereka harus melewati barisan bukit dan jalan pegunungan yang menanjak dan berliku. Belum lagi jika musim hujan, jalanan akan semakin licin dan terjal.
Melihat kedatangan ketiga kakakku, ibu segera mengusap air matanya lalu berbisik di telingaku.
"Jangan bilang apa-apa sama mbak dan mas-mu ya An, janji?" ucap ibu lalu mengusap rambut keritingku yang basah karena keringat, ke belakang. Setelah itu mencium kening dan pipiku.
Aku mengangguk pelan, lalu mengusap mataku yang masih sedikit berair.
Gegas ibu membuka tudung saji, lalu menyiapkan makanan untuk ketiga kakakku yang baru saja pulang sekolah.
"Ana mau ikut sekalian?" tanya ibu.
Aku menggeleng, lalu berlari ke kamar adik-adikku. Sampai di depan pintu kamar, tak lagi terdengar ocehan Diyah ataupun tangisan keduanya. Sunyi, entah kemana kedua adikku.
Aku masuk ke kamar dengan sangat perlahan, dan kudapati kedua adikku tertidur pulas di lantai yang beralaskan kayu dan dilapisi tikar.
Setelah melihat kedua adikku tertidur pulas, aku kembali berlari ke dapur dan memanggil ibu, agar memindahkan kedua adikku ke ranjang.
"Bu! ibu!" teriakku sembari berlari.
Aku berlari tanpa melihat kiri kanan, hingga nyaris menabrak mbok Lastri yang sedang berjalan membawa secangkir kopi untuk bapak.
"Ya ampun Brindil! hampir saja tumpah! gimana kalau ini tadi tumpah? ya kalau kena Mbok sih gak masalah, lah kalau kena kamu?! bisa kena marah lagi Mbok 'kan?" oceh mbok Lastri dengan suara keras, seakan-akan ingin agar ayah mendengarnya dan aku pasti akan dimarahi habis-habisan.
Aku tidak menjawab, hanya ku lirikkan ekor mataku dengan tajam ke arahnya. Lalu aku kembali berlari sambil menjulurkan lidahku ke arahnya. Sepertinya aku sekarang sangat membencinya. Kebencian itu perlahan mulai tumbuh dan berakar di dalam hatiku, mungkin masih tanpa alasan yang jelas, karena aku belum sepenuhnya mengerti. Tapi yang jelas, aku sangat membencinya.
"Dasar gak sopan! gak pernah diajari sopan santun sih sama ibunya!" gerutunya lirih, tapi aku masih mampu mendengarnya.
Aku sempat berhenti berlari dan menoleh ke arahnya, karena kesal dengan ucapannya. Lagi-lagi dia membawa-bawa ibuku dalam setiap masalahnya. Ingin rasanya ku hajar mulutnya yang berbisa itu dengan tangan kecilku, tapi ibu selalu menasehatiku, tidak baik jika kita terlalu mengikuti emosi atau kemarahan dalam hati. Mungkin untuk sekarang kita merasa puas karena mampu melampiaskannya, tapi kita tidak pernah tahu penyesalan apa yang akan terjadi setelahnya.
"Ibu!" panggilku lagi.
"Iya An, ada apa?" tanya ibu yang baru saja selesai mencuci tangannya.
"Diyah sama Ahmad bobok di lantai, dua-duanya Bu," ucapku antusias.
Ibu mengelap tangannya yang basah, "Iya, ibu juga mau ke kamar An," ucap ibu. "Kalian bertiga, nanti kalau sudah selesai makan langsung dicuci ya piringnya," perintah ibu, masih dengan nada lembut dan tenang. Membuat kami, anak-anaknya tidak pernah mampu untuk menolak perintahnya.
"Iya Bu," jawab ke tiga kakakku serentak.
Kami selalu diajarkan untuk hidup rajin, selalu mencuci piring bekas kami makan, mencuci baju kami masing-masing, meletakkan semua peralatan sekolah kami pada tempatnya dan beberapa pekerjaan ringan lainnya yang mampu untuk kami kerjakan. Begitu pula dengan keagamaan, ibu lah yang selalu mengingatkan kami tanpa lelah untuk salat tepat waktu, membaca dan menghafal Al-Qur'an, dan lainnya.
Ibu tidak pernah marah pada kami, walaupun terkadang kami tidak patuh, terutama aku yang bisa di bilang paling nakal di antara saudaraku yang lainnya. Menurut kami, ibu adalah satu-satunya ibu terbaik di dunia ini, yang mau mengerti tanpa meminta untuk dimengerti.
**
To be continued...