Suara panggilan dari paman Kholid membuat ibu terpaksa menunda ceritanya.
"Lis! mana kopiku?!" seru paman Kholid.
"Iya, iya! sebentar!" sahut mbok Alis. Lalu dengan tergopoh-gopoh, mbok Alis menyiapkan kopi untuk paman Kholid. "Bentar ya Mbak?" ucap mbok Alis ke ibu, lalu membawa kopi itu ke ruang tamu.
Ibu mengangguk, lalu menyeka air matanya yang sempat meleleh.
Tidak lama kemudian mbok Alis sudah kembali ke dapur.
"Lis, sebaiknya kita siapkan makanannya sekarang," saran ibuku.
Sekarang malah aku yang sedikit kesal, 'Huh! kenapa gak jadi lagi sih?!' gerutuku dalam hati.
"Iya Mbak, dari pada gak tenang dipanggil-panggil terus!" gerutu mbok Alis.
Mereka berdua pun sibuk menyiapkan makanan dan membawanya ke ruang tamu.
Mbak Is menyusulku ke dapur.
"Nah 'kan benar dugaanku! pasti Brindil main air," oceh mbak Is, lalu ikut mencebur ke dalam air. "Ndil," panggil mbak Is. Sepertinya ada yang ingin ditanyakan oleh mbak Is kepadaku.
"Hemm," jawabku.
"Apa ibu sama Bapak kemarin bertengkar?" tanya mbak Is.
Aku terdiam sesaat, aku teringat pesan ibu kalau tidak boleh mengatakan apapun pada siapapun. Tapi, bukankah mbak Is adalah kakakku yang paling aku percaya? toh, dia juga selalu menceritakan apapun padaku. Kenapa sekarang aku menyembunyikan masalah ini darinya?
"Ndil!" panggil mbak Is lagi.
"Eh, emh... iya," jawabku lirih.
"Cerita Ndil, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya mbak Is.
Aku belum sempat menceritakan semuanya tapi ibu dan mbok Alis sudah kembali ke dapur.
"Besok, janji! pasti aku celita," jawabku. Sebenarnya aku sudah lincah berbicara, hanya saja pada huruf "R" masih agak sulit untuk aku ucapkan.
"Hayo... cerita apa?" ledek mbok Alis.
Aku hanya menyeringai malu, menunjukan barisan gigiku yang tidak lengkap.
"Ya Allah Brindil! kemana itu gigimu? kok gerepes gitu, hahaha," ledek mbok Alis lagi lalu tertawa lepas.
Ibu hanya tersenyum simpul, "Is, tolong jaga adik-adikmu dulu ya, mereka masih tidur. Sri malah asik ngobrol sama teman kecilnya itu," ujar ibu meminta mbak Is untuk menjaga adikku yang masih tertidur. "Sekalian ikut makan sana," lanjut ibu lagi.
Dijawab anggukan oleh mbak Is.
Mbak Is memang sangat patuh pada ibu, tidak pernah dia membantah atau menolak perintah ibu. Sepertinya memang dia yang mewarisi sifat baik ibuku.
"Ana mau makan, ibu suapin ya Nak?". Sekarang pertanyaan ibu dialihkan kepadaku.
Rasanya aku belum lapar dan masih ingin bermain, nyaris saja aku menggelengkan kepalaku. Tapi, aku berpikir ulang, bukankah jika aku disuapi maka aku bisa mendengar lebih jelas apa yang akan ibu ceritakan nantinya pada mbok Alis? dan akhirnya akupun mengangguk.
*
Kami bertiga duduk di kursi kayu yang berada di belakang dapur mbok Alis. Sepertinya mbok Alis sudah tidak sabar ingin mendengar cerita ibu.
"Mbak, apa yang sebenarnya terjadi sama Mbak dan Mas Slamet? semua baik-baik saja 'kan?" tanya mbok Alis penasaran.
Sembari menyuapiku ibu mulai bercerita.
"Sebenarnya kami masih baik-baik saja Lis, hanya..." ucapan ibu terhenti, matanya menerawang jauh ke awan.
"Hanya apa Mbak?" sahut mbok Alis.
"Hanya saja, akhir-akhir ini Mbak sering mendapat firasat buruk. Entah itu dari mimpi atau melihat perubahan sikap Mas-mu itu ke Mbak dan anak-anak," jelas ibuku.
"Sikap? sikapnya kenapa Mbak?" desak mbok Alis.
Ibu mengambil nafas lalu kembali menceritakan keluh kesahnya.
"Bapaknya anak-anak itu berubah sikapnya, kasar dan sedikit aneh. Dia tidak seperti Mas Slamet yang dulu, dia sering marah-marah tidak jelas dan yang paling parah, tadi pas baru nyampek sini Mas-mu kesurupan," jelas ibu.
"Apa?! kesurupan?" tanya mbok Alis.
Aku tidak tahan, lalu ikut nimbrung obrolan ibu dan mbok Alis.
"Iya Mbok! aku tadi yang bacain ayat kulsi," celotehku dengan mulut penuh.
Mbok Alis tidak begitu menanggapi ucapanku, bahkan terkesan mengabaikannya.
"Mbak, kenapa gak cari orang pintar saja? siapa tahu Mas Slamet 'dibuat' orang. Itu loh, kiyai yang dekat sini sepertinya dia bisa bantu Mbak," ucap mbok Alis memberi solusi.
"Kamu ngomong apa sih Lis! kamu tahu kan? kalau kita gak boleh ke dukun?! syirik! dosa besar!" tukas ibu kesal.
Mbok Alis juga menyanggah ucapan ibu, "Bukan dukun Mbak! tapi Kiyai, beda Mbak!" sanggah mbok Alis.
Ibu kembali menghela nafas, "Lis, mau yang namanya dukun, mau kiyai, mau yang katanya pakai ayat Alquran, tapi kalau dia bisa melihat perkara gaib. Mbak sudah bisa pastikan kalau itu dukun," tukas ibuku. "Menurut Mbak, bukan saingan bisnis Lis. Ah, tapi sudahlah, semoga saja pikiran Mbak salah," lanjut ibuku lagi. "Terimaksih Lis, sudah mau mendengarkan keluh kesahku. Tapi, maaf kalau harus dengan cara seperti itu aku tidak bisa," sambung ibu lagi.
"Ow gitu ya Mbak, ya sudah Mbak. Mbak yang sabar ya, Mbak banyak berdoa minta sama gusti Allah, supaya bisa kembali tentram lagi seperti dulu,"
"Iya Lis, terimakasih doanya," jawab ibu.
Mbok Alis mengangguk sembari tersenyum, mungkin tidak semuanya ibu ceritakan. Tapi setidaknya ada sedikit beban yang berkurang dalam hati dan pikirannya dengan berbagai cerita pada mbok Alis.
"Bu, aku udah!" seruku dengan mulut penuh dengan nasi.
"Tuh kan, Ana! dihabiskan Nak," ujar ibu.
Aku menggelengkan kepalaku lalu berlari ke tuang tamu.
"Ana! jangan lari-lari!" ucap ayah.
Aku hanya nyengir kuda lalu dengan sangat gemas kucium pipi Diyah yang gembul. Ada aroma khas yang keluar dari keringatnya, seperti aroma asam atau aroma asap bakaran, entahlah. Jiwa isengku mulai muncul, ketika ku lihat mbak Is ikut tertidur pulas di samping kedua adikku.
Ku pencet hidung kedua adikku, hingga mereka kesulitan bernafas lalu kulepaskan setelah mereka berdua menangis menjerit-jerit.
"Brindil!" seru ayah dan paman bersamaan karena melihat kenakalanku.
Aku segera berlari keluar rumah. Kebetulan mbak Sri sedang asik berbincang dengan teman masa kecilnya, akupun menyelinap masuk ke dalam rumah teman kecil mbak Sri itu tanpa sepengetahuan mereka lalu mencari tempat persembunyian.
Aku bersembunyi di bawah kursi, lalu meringkuk di sana sembari belajar menghitung menggunakan jari-jemariku. Sejak melihat sekolahan mbak Is, aku jadi ingin ikut sekolah. Aku berhitung dengan suara sangat pelan hingga nyaris tak terdengar. Hingga akhirnya, kantuk mulai menyerangku dan akupun tertidur pulas.
*
Di rumah mbok Alis.
Mbak Is tersentak dari tidurnya, karena jeritan kedua adikku. Sementara ibu dan mbok Alis juga langsung berlari ke ruang tamu.
Tanpa basa-basi, ibu langsung mengangkat Diyah dan mbok Alis menggendong Ahmad. Mbak Is masih difase setengah sadar dan tidak, dia benar-benar terkejut mendengar jerit tangis kedua adikku.
"Brindil ini ya! memang nakal!" seru bapak.
Sembari menenangkan Diyah, ibu bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kedua anaknya bisa menangis bersamaan.
"Siapa lagi, kalau bukan Brindil! anak kesayanganmu itu! lama-lama ngelunjak dia kalau dibiarkan terus!" oceh bapak.
"Sudah, sudah Pak. Namanya juga anak-anak," sanggah ibu membelaku.
"Ya! terus saja bela dia!" bentak bapak.
Sepertinya ibu sudah malas berdebat dengan bapak dan memilih diam.
"Biar aku cari kemana perginya anak itu!" ucap bapak ketus, lalu gegas keluar dari rumah dan mulai mencariku.
To be continued...