Sore ini, paman berpamitan hendak pulang ke rumahnya. Masih belum puas rasanya bersua dengannya, rasa rinduku juga belum terbayar lunas. Walaupun rumah kami tidak terlalu jauh, tapi kami tidak bisa setiap hari bertemu.
"Pak Lek, besok aja ya pulangnya," rengekku.
Pamanku tersenyum ke arahku, lalu mengelus rambut kritingku, "Pak Lek besok harus ke ladang Ndil, masih banyak pekerjaan. Kapan-kapan lagi paman main ke sini ya?" ujar paman membujukku.
Aku masih bergelayut manja di lengan paman, seakan tidak ingin dia pergi secepat itu. Aku merasa nyaman dan tenang saat berada di dekat paman, apalagi setelah aku melihat ayah yang begitu kasar pada ibuku semalam.
"Paman, kalau begitu Bindil yang ikut sama Paman," rengekku lagi, ekor mataku ku lirikkan tajam ke arah ayah yang sedang berdiri di ambang pintu.
Paman mengerti maksudku, paman tahu kalau aku masih takut jika ayah akan memarahiku lagi. Lalu ku lihat paman memberi kode ke ayah dengan mengedipkan matanya.
Ayah mengerti maksud paman, dia segera turun dan berjalan santai ke arah kami.
Aku gemetaran, ada rasa takut dalam hatiku. Aku takut ayah akan menyeretku masuk ke dalam rumah lalu menghukumku dengan cambuknya. Semakin ku eratkan peganganku pada lengan paman.
"Ayo, besok kita jalan-jalan ke rumah Mbok Alis. Biarkan pamanmu pulang, kapan-kapan main lagi," ucap ayah membujukku. Nada suaranya sudah lebih ringan sekarang, aku yakin kemarahan ayah sudah reda.
Perlahan, ku lepaskan tanganku dari lengan paman. Lalu beralih merajuk ke ayah, aku meminta ayah untuk menggendongku dan langsung dituruti oleh ayah. Sekarang posisiku sudah berada dipelukan ayah, ku sandarkan kepalaku dengan manja di bahunya.
Ku lihat, mbok Lastri sedang sibuk berjalan keluar masuk rumah dengan membawa buah-buahan dan beberapa hasil kebun lainnya, untuk diberikan ke paman sebagai oleh-oleh.
Beberapa kali dia lewat tepat di hadapan kami, dan beberapa kali juga aku selalu menangkap tatapan aneh dari matanya. Dia seakan menatapku tajam dan tidak suka denganku. Meskipun aku masih kecil, tapi hatiku sangat sensitif dan berpikir layaknya orang dewasa.
Tiba-tiba aku jadi teringat kejadian kemarin, saat ayah dan Mbok Lastri sedang asik berduaan di gubuk tua milik mbok Lastri. Apa mbok Lastri tidak suka melihatku bersama ayah? tapi kenapa? kenapa dia menatapku dengan sinis dan aneh. Atau jangan-jangan, dia sudah menyadari kalau aku sudah mengambil boneka miliknya. Tapi, boneka itu juga sudah sangat usang dan jelek, sepertinya dia sudah tidak menginginkannya lagi. Lagian juga, dia tidak akan tahu kalau aku yang mengambilnya.
Ibu keluar dari dalam rumah, lalu ikut bergabung dengan kami. Matanya lebam, mungkin karena kurang tidur, atau entahlah. Ibu mendekat ke arah paman lalu memeluk paman, "Makasih ya sudah menjaga Ana," lirihnya.
Paman nampak sedikit bingung, tidak biasanya ibu memeluknya. Paman merasakan ada beban berat yang tengah ibuku rasakan, namun ibu tidak akan pernah menceritakan apapun pada paman, ibu tidak akan pernah membagi semua kesulitannya pada siapapun.
Aku melihat paman membisikkan sesuatu di telinga ibu, "Sabar," samar namun pendengaranku masih mampu menangkapnya. Setelah paman berbisik seperti itu, aku melihat cairan bening yang berbentuk butiran itu, mulai keluar dari telaga mata ibu. Lalu secepatnya ibu berusaha menyekanya agar tidak seorangpun yang tahu kalau dia sedang menangis.
"Iya, Brindil sudah seperti anak kandungku sendiri. Dia memang anak yang sangat aktif, dia cerdas, mungkin butuh pengawasan ektra," jawab paman, kali ini suaranya lebih lantang.
"Benar Mul, sepertinya aku harus lebih perhatian lagi pada anakku yang satu ini," tukas ibu dengan suara yang berusaha dibuat tegar, lalu diiringi dengan senyum manisnya.
Setelah berpamitan dengan semua keluargaku, lalu terakhir aku, tidak lupa paman mencium keningku dan menasehatiku agar tidak keluyuran jauh-jauh lagi. Paman beranjak pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki dan terakhir melambaikan tangannya ke arah kami.
*
Kami semua segera masuk ke dalam rumah, ayah juga segera menurunkan aku dari gendongannya.
"Na, kamu makan sana disuapin sama Mbok Lastri," ujar ayah.
Aku menggelengkan kepalaku dengan cukup keras, "Gak mau!" ketusku.
"Sama Mbak Is juga itu," rayu ayah.
Aku tetap bersikeras menggeleng, "Gak mau! aku mau makan disuapin Ibu!" ucapku masih dengan nada ketus.
"Ana," ucap ayah.
Aku berlari kecil ke arah kamar ibu, tanpa menghiraukan ucapan ayah. Namun, aku tidak menemukan ibu di dalam kamar, hanya ada Diah dan Ahmad yang sedang bermain bersama Mbak Sri.
Setelah itu, aku langsung berlari ke arah dapur sembari terus berteriak memanggil ibu.
"Bu! Ibu! Ibu!" seruku.
Bluk... bluk... bluk... suara langkah kakiku saat menginjak lantai yang masih terbuat dari papan.
"Brindil!" seru seseorang yang tidak lain adalah mbok Lastri.
Aku menghentikan langkahku serta seru-anku.
"Apa?!" tukasku sengak.
"Brindil, tidak sopan berbicara seperti itu pada orang tua," tukas mbok Lastri, tidak terima dengan sikapku. "Jangan teriak-teriak, jangan lari-lari juga. Nanti ambruk ini rumahnya," ujar mbok Lastri.
Sekarang aku yang tidak terima, kenapa mbok Lastri seakan mengatur hidupku. Padahal 'kan ini rumah ayah dan ibuku.
"Biarin aja! ini rumahku! kamu gak usah celewet!" teriakku kesal.
Sepertinya kesabaran mbok Lastri semakin habis, ku lihat wajahnya memerah dan matanya melotot hendak keluar.
"Dasar anak nakal!" geramnya. Dia mengangkat salah satu tangannya ke atas, hendak menamparku. "Ayo ngomong lagi! tak tampar mulutmu itu!" gertak mbok Lastri.
"Kamu orang jahat!" teriakku. "Aku gak takut sama kamu!" seruku lagi.
Tiba-tiba ibu datang dari arah belakang, "Ada apa An?" tanya ibu.
Sebelum ibu melihat, mbok Lastri sudah terlebih dahulu menurunkan tangannya. Dia langsung menjawab pertanyaan ibu seolah, dia adalah manusia paling sabar di muka bumi.
"Oh, tidak ada apa-apa kok Bu, ini lo si Brindil, gak mau makan. Maunya disuapin Ibu," dalih mbok Lastri.
Aku langsung berlari memeluk ibu, sambil terus melirik tajam ke arah mbok Lastri.
"Owh, ya udah Mbok. Mbok Lastri kerjakan pekerjaan yang lain aja ya, biar Ana saya yang suapin," titah ibu.
Mbok Lastri mengangguk patuh, tapi sekilas ku tangkap wajah sinis itu. Dia melengos, dan sedikit memincingkan sebelah bibirnya, seperti mengejek.
Ibu segera mencuci tangannya, mengambil piring, nasi, dan segala lauk pauknya untuk menyuapiku.
Aku merengek meminta agar ibu menyuapiku di ayunan samping rumah. Karena di sana udara jauh lebih sejuk dan nyaman.
Ibu menuruti kemauanku, lalu aku segera duduk di atas ayunan yang terbuat dari papan kayu jati dan digantungkan di bawah pohon asam besar berusia puluhan tahun mungkin hampir ratusan, aku juga tidak tahu pasti.
To be continued...