Kebiasaan burukku, setiap kali disuapi, pasti tidak langsung ku kunyah. Tapi, ku simpan di dalam mulutku, lalu jika ibu lengah, akan ku buang atau ku muntah-kan agar dimakan ayam.
Namun, sepertinya kali ini ibu sudah tahu tentang akal bulus-ku.
"Kunyah An, jangan dibuang-buang makanannya," ujar ibu dengan nada suara yang begitu lembut.
Aku memonyongkan bibirku, kesal. Mulutku penuh dengan nasi hingga tidak bisa dikunyah lagi dan hampir muntah karena kepenuhan.
Huekk... aku berlari menjauh dari ibu. Lalu setelah kurasa sedikit jauh, aku memuntahkan semua makanan yang ada di mulutku.
Dari kejauhan ku lihat ibu nampak menghela nafas panjang. Tapi, lagi-lagi ibu tidak marah padaku, dengan segala sifat buruk dan kenakalanku, menurutku ibu adalah yang terhebat dalam menahan amarah.
Setelah semua makanan dalam mulutku habis dan para ayam pun mulai berdatangan, aku memutuskan untuk kembali ke ayunan dan makan dengan benar, agar ibu tidak lagi kecewa padaku.
Ibu memanggilku agar aku segera kembali dan menghabiskan makananku.
"Ana! ayo sini, habiskan dulu makannya," seru ibu.
"Iya!" jawabku.
Aku berlari kecil ke arah ibu. Namun tiba-tiba langkahku terhenti, karena melihat ayah dan mbok Lastri yang sedang bercengkrama asik di gang antara dapur dan ruang tengah. Tidak terlalu jelas, hanya lewat jendela kayu, tapi aku yakin kalau sekarang mbok Lastri sedang duduk di pangkuan ayahku.
Aku segera mempercepat langkahku, ingin segera mengadukan apa yang aku lihat pada ibu.
"Bu!" pekikku.
Ibu tersenyum, "Jangan nakal ya An, makannya dihabiskan. Ayo, sekarang makan yang benar," ucap ibu.
"Bu, lihat Bapak!" teriakku. Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang salah sedang berlangsung. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menjadi semakin benci dengan mbok Lastri.
"Kenapa? Bapak kenapa An?" tanya ibu.
"Mbok Lastli, selalu minta pangku Bapak. Apa Mbok Lastli gak bisa duduk sendili? kalau aku yang minta dipangku, Bapak pasti gak mau," ocehku.
Ibu mengeriyitkan keningnya, mungkin sedang mencerna maksud ucapanku.
"Pangku? maksudnya?" tanya ibu.
"Dulu itu, Ana mau pergi ke ladang. Ana mau ambilin kopi, tapi gak jadi deh! Bapak sama Mbok Lastli di sana, di sana itu pokoknya," ucapku polos.
"Ana sayang," lirih ibu. "Mungkin Ana salah lihat, bisa jadi itu bukan Bapak. Dan ya, lain kali Ana gak boleh main sendirian, jauh lagi. Ana, kalau mau main wajib pamit ke Ibu dulu ya Nak? gak boleh main jauh-jauh, kayak kemarin itu lagi. Ana paham 'kan?" ucap ibu dengan lembut.
Aku mengangguk patuh.
"Nah gitu dong, Ana kan anak yang baik. Ana anak hebat, Sholehah. Jadi gak boleh bandel ya Nak?" lanjut ibu.
Aku kembali mengangguk, lalu menghabiskan suapan terakhir makananku.
Tepat saat ibu sudah selesai menyuapiku, terdengar dari dalam suara tangisan Diyah. Aku dan ibu segera berlari ke kamar untuk melihat apa yang terjadi pada Diyah.
*
"Huaa.....hua....huawaaaa....!". Diyah semakin mengencangkan tangisannya, tidak berselang lama Ahmad pun ikut menangis.
Mereka berdua tidak lagi berada di kamar, tapi sudah merangkak ke ruang tamu.
Dari arah belakang, mbok Lastri juga berjalan tergopoh-gopoh ikut menyusul ke ruang tamu. "Ada apa? ya ampun, Diyah! cup... cup..." ucap mbok Lastri, lalu menggendong Diyah.
Sedangkan ibu, langsung menggendong Ahmad.
"Kok bisa dua-duanya di sini?" tanya ibu sembari menenangkan Ahmad.
"Saya juga gak tahu Bu, saya lagi di belakang," sahut mbok Lastri.
Ibu berjalan ke arah kamar lalu diikuti mbok Lastri dan aku.
"Mbok, tadi 'kan saya sudah bilang, jangan di tinggal kemana-mana dulu, tunggu sampai mereka bangun. Toh, pekerjaan rumah juga sudah selesai," ucap ibu, terlihat dari suaranya ibu sangat kesal terhadap mbok Lastri. Tapi, ibu selalu bisa mengendalikan amarahnya.
"Saya tadi lagi bikinin minum buat Bapak Bu," sanggah mbok Lastri, dia masih berusaha membela diri. "Mau gimana lagi? istrinya gak pernah buatin minum, jadi ya saya yang buatkan minum lah," imbuhnya.
Ku lihat wajah ibu memerah, tapi lagi-lagi ibu hanya menghela nafas panjang, lalu menjawab, "Bukan gak pernah Mbok, saya kan lagi suapin Ana. Ow iya terimakasih sudah mengurus Bapak dengan baik ya Mbok," ucap ibuku.
"Halah Bu, alasan aja! punya suami harusnya diurus Bu. Nanti nyesel kalau diurus sama wanita lain," tukas mbok Lastri, suaranya terdengar tengah menyindir ibu.
Semakin lama, ucapan mbok Lastri semakin menyebalkan. Dia semakin tidak punya sopan santun terhadap ibu. Bahkan, beberapa kali ucapannya terdengar mencibir ibu.
"Mbok, sebaiknya Mbok Lastri kembali bekerja. Itu, belakang rumah rumputnya sudah tinggi-tinggi, tolong dibersihkan ya," ucap ibu.
Mbok Lastri dengan kasar meletakkan Diyah di tempat tidurnya, membuat Diyah kembali menangis dengan keras.
"Mbok!" teriak ibu, lalu meletakkan Ahmad dan gantian menggendong Diyah.
"Apa Bu?! saya salah lagi?!" sahut mbok Lastri.
"Sekarang keluar! cepat keluar dari kamar ini!" seru ibu. Ini pertama kalinya ku lihat ibu sangat marah.
"Iya, iya, gak usah membentak Bu! saya juga dengar!" gerutunya lalu keluar dari kamar ibu.
Hanya aku yang berada di rumah, ketiga kakakku pergi ke sekolah. Melihat kedua adikku menangis meraung, hatiku rasanya tersentuh dan ingin membantu ibu menenangkan adik-adikku.
Aku mendekat ke arah Diyah sembari membawa mainan miliknya.
Krincing.... krincing.... krincing.... bunyi mainan itu saat ku pukulkan ke lantai. Lalu dalam sekejap kedua adikku terdiam dari tangisnya dan melihat ke arah bunyi suara.
*
Kedua adikku sudah mulai tenang dan kami bertiga bermain bersama. Sedangkan ibu, ibu duduk di tepi ranjang sembari menatap kosong ke arah kami.
Tiba-tiba pintu didorong dengan cukup keras dari luar.
"Nah!" seru bapak, dari suaranya sepertinya bapak sedang marah.
"Iy, iya!" tukas ibu gugup. "Ada apa Pak?" tanya ibu.
"Ada apa, Ada apa! kamu apain Lastri? kenapa dia sampai nangis gitu?!" tanya ayahku dengan suara menggelegar.
Ibu langsung berdiri dan menghampiri ayahku lalu mengajaknya keluar.
"Kita bicara di dapur saja ya," pinta ibu sambil menarik lengan ayah.
Ayah hanya mendengus kesal, lalu menepis tangan ibu. Setelah ibu keluar, ayahpun mengekor di belakang.
Mungkin ini salah, tapi jiwa penasaranku meronta. Apalagi menyangkut tentang wanita itu, mbok Lastri, maksudku. Aku ingin tahu, apa yang sedang ayah permasalahkan tentang wanita itu. Apa mungkin karena kejadian tadi? tapi bukankah seharusnya mbok Lastri yang disalahkan? dia yang salah! dia tidak sopan pada ibuku.
Lalu, kenapa ayah begitu perduli padanya? apa hanya karena ayah begitu menghargainya? apa ayah kasihan, karena dia hidup sebatang kara? kenapa ayah memberikan perhatian yang berlebihan pada wanita itu?
*
Diam-diam, ku tinggalkan kedua adikku yang sedang asik bermain. Aku mengendap-endap di samping tembok, lalu bersembunyi di bawah meja dapur rumah kami. Dari sana aku bisa mendengar dengan jelas apa yang ayah dan ibuku bicarakan.
To be continued...