Kami melaksanakan salat berjamaah dari salat maghrib hingga salat isya, kecuali mbok Lastri, dia beralasan sedang datang bulan. Selesai salat, ibu langsung mengajakku untuk tidur. Sebenarnya aku belum ingin tidur, aku masih ingin bermain bersama paman. Jarang sekali paman menginap di rumah kami, tapi ibu tidak mengizinkan aku.
Akhirnya aku menuruti perintah ibu, aku masuk ke kamar dan bersiap untuk tidur. Aku, mbak Is, dan mbak Sri tidur di kamar yang sama, hanya beda ranjang. Sedangkan mas Hadi, dia diberi kamar sendiri oleh ibu dan bapak.
Aku benar-benar belum bisa tidur, tapi aku tidak sampai hati membantah perintah ibu. Ku pejamkan mataku dengan sangat terpaksa, walaupun sesekali aku melirik ke arah ibu.
Ibu terlihat sangat lelah, mungkin karena semalaman beliau tidak bisa tidur dan lagi, seharian ini harus mencariku.
Suara mbak Is dan mbak Sri yang sedang bermain petak umpet membuatku semakin sulit memejamkan mata, aku ingin ikut bermain dan tertawa lepas bersama mereka. Untuk itu, aku harus pura-pura tertidur agar ibu bisa segera kembali ke kamarnya dan beristirahat di sana, lalu aku bisa segera bergabung dengan kedua kakakku.
*
Beberapa jam kemudian, ibu terbangun dan melongok ke arah wajahku. Mungkin memastikan apakah aku sudah tidur atau belum. Setelah dirasa aku sudah terlelap, ibu segera menyelimuti-ku lalu bergegas keluar dari kamar.
"Yes!" gumamku, ibu sudah keluar dari kamar, ini saatnya aku bergabung, ikut bermain dengan kedua kakakku.
Aku beringsut dari ranjangku, lalu berjalan dengan mengendap-endap ke arah pintu, membukanya lalu keluar dari kamar. Sangat pelan aku berjalan, karena memang melewati pintu kamar ibu, aku takut ibu tahu kalau aku belum tidur.
Pintu kamar ibu terbuka sedikit, mungkin ibu lupa menguncinya. Iseng, aku mengintip sebentar ke dalam kamar ibu. Diyah sedang tertidur pulas di ranjang ayunannya, sedangkan Ahmad, dia juga tertidur pulas di pelukan ibu. Ku tutup pintu kamar ibu, lalu melanjutkan langkahku ke ruang tamu, ikut bermain bersama kedua kakakku.
Mbak Sri terkejut karena tiba-tiba aku berada di belakangnya, "Loh! Brindil! kamu 'kan harusnya tidur, kok malah di sini? nanti dimarah sama Ibu! biar aku laporkan ke ibu!" ucap mbak Sri mengancamku.
"Jangan Mbak, jangan ya?" pintaku. "Ya udah deh, besok uang jajanku buat Mbak, tapi janji ya! jangan bilang ke Ibu," pintaku lagi, aku membuat perjanjian kecil dengan mbak Sri. Hal yang selalu aku lakukan untuk menutup mulut mbak Sri, membuat kesepakatan yang artinya besok aku tidak akan bisa jajan.
"Boleh, janji ya?" tukas mbak Sri menyetujui, lalu kami pun bersalaman. Mbak Sri dan mbak Is mempunyai karakter yang berbanding terbalik, mbak Is sangat baik dan mengayomi, sedangkan mbak Sri hanya baik saat ada kesepakatan di antara kami.
Aku mengangguk patuh, "Janji!" jawabku. Aku tidak begitu khawatir, toh masih ada mbak Is yang siap membagi uang jajannya denganku.
"Ana, gak boleh seperti itu. Dosa, namanya suap itu," ucap mbak Is mengingatkan.
"Udah gak apa-apa Ndil, sama mbak sendiri kok!" sahut mbak Sri, dia takut kalau aku berubah pikiran dan dia gagal mendapatkan jatah uang saku dobel besok.
Aku memonyongkan bibirku, mempertimbangkan ucapan mbak Is, tapi aku juga tidak ingin mbak Sri mengadukanku pada ibu. Akhirnya, keburukan yang bertahta dan akad suap pun terjadi di antara aku dan mbak Sri.
*
Setelah negosiasi dengan mbak Sri selesai, kami segera bermain bersama, tertawa lepas bersama, lalu bermain kejar-kejaran dan dilanjutkan dengan permainan petak umpet.
Mbak Is mendapat bagian jaga lebih awal, dia harus menutup kedua matanya dengan menempel pada dinding kayu rumah kami, lalu aku dan mbak Sri bersembunyi. Sedangkan dalam hitungan ke sepuluh, mbak Is harus mulai mencari dimana kami bersembunyi.
Aku mengendap-endap saat melewati depan pintu kamar ibu. Aku berniat bersembunyi di dalam kamar mbok Lastri, aku yakin, mbak Is tidak akan menemukanku di sana. Aku sangat yakin karena sebelumnya, aku pernah bersembunyi di sana dan tidak tertangkap.
Kebetulan mbok Lastri juga sedang sibuk di dapur, setelah itu dia pasti akan menyiapkan camilan dan kopi untuk paman dan ayahku. Lalu, dia akan memeriksa Ahmad dan Diyah, barangkali ngompol atau minta dibuatkan susu. Jadi, aku punya kesempatan untuk mencari tempat paling aman di kamar mbok Lastri.
Ku buka dengan perlahan kamar mbok Lastri, entan kenapa, rasanya setiap kali kakiku masuk ke dalam kamar itu, suasananya sangat mencekam. Apalagi penerangnya hanya lampu kecil yang berbahan bakar minyak tanah. Aku merasa sedikit takut dan membayangkan ada hantu yang sedang bersemayam di dalam kamar mbok Lastri. Tapi perasaan itu segera aku buang jauh-jauh dari pikiranku, aku harus mencari tempat yang aman untuk bersembunyi, agar mbak Is tidak bisa menemukan aku.
Ada meja kecil di samping ranjang mbok Lastri, mungkin dia gunakan untuk berhias atau digunakan untuk meletakkan alat riasnya.
Aku celingukan, melihat ke kanan dan kiri. Jika aku bersembunyi di tempat yang sama seperti tempo hari, maka mbak Is akan menemukanku. Aku segera menunduk, berjongkok, lalu masuk ke dalam kolong tempat tidur mbok Lastri.
Huh... tempatnya sangat kotor dan pengap. Banyak sarang laba-laba bergelayut di bawah ranjang. Apakah mbok Lastri tidak pernah membersihkannya? Bahkan beberapa di antaranya sampai ada yang menyangkut di rambutku, maklum rambutku 'kan memang tidak lurus.
Samar-samar, ku dengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku segera bergeser ke samping, lebih masuk ke dalam kolong, ke tempat yang jauh lebih gelap agar tidak seorang pun yang melihatku.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang masuk ke dalam kamar itu. Pikirku mbak Is, tapi ternyata mbok Lastri yang masuk.
"Haduh!" desisku kesal. Bisa-bisa aku tidur semalaman di bawah sini, jika mbok Lastri tidak segera keluar dari kamarnya. Hanya ada dua pilihan, aku keluar dari persembunyian dan mbok Lastri pasti mengadukanku pada ibu, atau terus berada di tempat kotor itu sepanjang malam.
Aku mengintip sekaligus menguping semua ucapan mbok Lastri. Dia bergumam seorang diri, seperti sedang mengumpat, atau mencela seseorang yang tidak dia sukai.
"Aku harap dia segera mati! agar aku bisa naik tahta! hahaha." Mbok Lastri terus bergumam tidak jelas, lalu tertawa jahat layaknya seorang penyihir.
Beberapa menit kemudian, sepertinya dia hendak keluar kamar. Terdengar langkah kakinya yang semakin menjauh ke arah pintu. Namun, dia lagi-lagi berhenti di ambang pintu, terlihat kakinya berbalik arah dan menuju ke arah persembunyianku. Mungkinkah dia curiga? atau merasa kalau ada yang sedang bersembunyi di dalam kamarnya? aku yang biasanya sangat pemberani tiba-tiba menjadi sangat gugup dan takut. Aku meringkuk ketakutan, aku merasa mbok Lastri telah berubah menjadi monster yang menyeramkan, yang sewaktu-waktu akan memangsaku.
Dia semakin mendekat, jari-jari kakinya yang lentik dengan kutek merah menghiasi kukunya, terlihat menyembul di depan mataku. Lalu perlahan lututnya mulai terlihat, sepertinya dia tengah membungkuk untuk melihat ke bawah ranjang.
Aku semakin gemetaran, keringat dingin mulai bercucuran membasahi kening dan tubuh mungilku. Ada apa? kenapa aku begitu ketakutan? mungkin aku takut jika mbok Lastri akan melaporkan aku ke ibu.
Dia nyaris melihatku meringkuk di bawah ranjangnya, sebelum akhirnya suara ayahku menggema memanggilnya.
"Las! cepat buatkan kopi lagi, ada Lek Tumiran!" teriak bapak.
Mbok Lastri langsung berdiri dan gegas keluar dari kamarnya.
Aku mampu bernafas lega, lalu memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku ini. Namun aku menemukan sesuatu di bawah ranjang mbok Lastri yang gelap, benda itu terantuk kakiku. Ku ambil benda itu, ternyata sebuah boneka.
Boneka itu usang dan sangat jelek, matanya sudah lepas, dan banyak jarum menusuk di tubuhnya. Apakah boneka usang itu sengaja digunakan mbok Lastri untuk menyimpan jarumnya? tapi aneh sekali, bukankah malah karatan jika ditancapkan pada boneka seperti itu.
Jiwa isengku mulai berkelana, aku mengambil boneka aneh itu, lalu menyimpan-nya di dalam bajuku.
***
To be continued...