Suasana di rumah saat Ahmad menangis meraung-raung, semua orang panik dan menghambur ke kamar ibu. Hanya aku dan Mbok Lastri yang tidak ada.
Setelah beberapa jam lamanya, akhirnya Ahmad bisa ditenangkan. Itupun semua orang silih berganti menimangnya.
Ibu mulai tersadar kalau sejak tadi tidak melihatku. Ibu sempat berpikir kalau aku lah yang menyebabkan Ahmad menangis, karena tidak mungkin orang lain yang melakukan keisengan seperti yang sering aku lakukan. Apalagi setelah menemukan tanda merah di lengan Ahmad, seperti bekas cubitan.
Ibu memanggil mbok Lastri, "Mbok! Mbok Lastri!" seru ibu.
Tidak ada sahutan dari mbok Lastri. Akhirnya kakakku yang tertua yang datang menghampiri ibu.
"Ada apa Bu?" tanya kakak.
"Mbok Lastri kemana?" tanya ibu.
"Sri tidak melihatnya sejak tadi," jawab kakakku.
"Apa adikmu bersamanya?" tanya ibu lagi.
"Sri tidak tahu Bu, tadi Sri sempat dengar Mbok Lastri memanggil Kirana untuk makan. Bisa jadi si Brindil lagi sama Mbok Lastri," tukas Mbak Sri menerka-nerka.
Ibuku sedikit khawatir, beliau sangat mengenalku, mengetahui segala sifat burukku dan pastinya juga tahu kalau aku yang membuat Ahmad menangis.
Tidak berselang lama, Mbok Lastri muncul dari pintu belakang. Dia datang sendirian, tanpa aku tentunya.
"Loh, Ana mana Mbok?" tanya ibuku saat melihat mbok Lastri melintas dengan membawa sapu. Sepertinya dia hendak menyapu lantai depan.
Mbok Lastri menoleh, "Maaf Bu, bukannya tadi Brindil masuk ke kamar ibu ya? soalnya tadi pas saya panggil untuk sarapan, dia malah masuk ke kamar ibu," dalih mbok Lastri.
Ibu-ku mulai panik, ibu mulai berlari kecil dan melihat ke setiap kamar. Dipanggilnya namaku berkali-kali. Setiap lemari, kolong tempat tidur, dan semua tempat tersembunyi, ibu periksa. Tidak ada satupun tempat yang terlewat.
Aku tidak hanya terkenal karena kejahilanku, tapi aku juga terkenal tidak mau menyahut jika dipanggil, tidak menurut jika diperintahkan ibu, dan kenakalanku lainnya.
"Ana!" panggil ibu, Ana adalah nama kesayangan ibu untukku.
Kakakku kembali berkumpul, semua orang mulai panik, mencariku ke setiap sudut rumah. Mbok Lastri juga ikut panik, karena aku adalah tanggung jawabnya pagi itu.
Mereka berteriak, dari mulai ibuku yang memanggil namaku Ana, hingga semua orang yang memanggilku Brindil.
Ibu sangat panik, semua orang berpencar untuk mencariku. Ibu berjalan ke arah rumah mbah Ijem, nenek tua yang menegurku saat tadi pagi.
"Assalamualaikum, Mbah, permisi," ucap ibu.
Dengan tergopoh-gopoh, Mbah Ijem keluar rumahnya menggunakan tongkat kayunya.
"Waalaikumusalam, Amanah? ada apa?" tanya mbah Ijem mengenali suara ibuku.
"Maaf Mbah, apa Ana main ke sini ya?" tanya ibuku dengan suara panik.
Mbah Ijem mengingat kejadian tadi pagi, dia yakin betul kalau anak kecil yang bernyanyi di pagar rumahnya itu aku.
"Sepertinya, si Brindil tadi pagi lewat sini. Tapi Mbah juga gak tahu dia mau kemana? pas Mbah tanya-tanya, dia sudah pergi," jelasmbah Ijem.
Ibuku semakin panik, "Ya Allah! sudah sejak pagi Mbah?" tanya ibuku dengan nada penuh kekhawatiran.
Mbah Ijem mengangguk, "Ada apa to Nah?" tanya mbah Ijem penasaran.
Ibuku tidak mengatakan yang sebenarnya ke mbah Ijem, ibu takut kalau mbah Ijem ikut khawatir karena memikirkanku.
"Enggak Mbah, tidak ada apa-apa. Hanya saja Ana belum makan siang, main terus kerjaannya mbah," ucap ibuku sambil tertawa kecil, menutupi kepanikannya.
"Owalah, ya namanya juga anak kecil Nah. Yang sabar, jangan dimarahi, coba dicari dulu, barangkali dia main ke tempat saudara atau temannya." Mbah Ijem memberi saran.
Gegas ibuku pergi meninggalkan rumah mbah Ijem setelah berpamitan dan mengucap salam. Ibu mendatangi satu persatu rumah warga, namun hasilnya tetap nihil. Aku tidak ditemukan di manapun dan tidak ada yang melihatku melintas di depan rumah mereka. Mungkin juga karena mereka sedang sibuk di ladang saat aku lewat tadi pagi.
Ibu sedikit putus asa, dia duduk di kursi bambu yang ada di depan rumah salah satu warga. Air matanya mulai meleleh, membasahi pipinya yang putih bersih. Kepanikan telah berubah menjadi rasa kalut, ibu sangat bingung kemana dia harus mencariku.
"Rumah Mul," gumam ibu. Terlintas dalam benak ibu kalau aku pasti berada di rumah adik kandungnya itu. Walaupun sepertinya tidak mungkin, perjalanan ke sana cukup jauh untuk anak seusiaku, belum lagi jalanan yang terjal dan berliku. Selain itu, tidak mungkin aku ke rumah paman atau bibiku yang lain, karena desa yang berbeda dan jarak yang sangat jauh.
Hanya rumah paman Mul yang menjadi satu-satunya harapan ibu. Tidak buang-buang waktu lagi, ibu segera mencariku ke rumah paman Mul.
*
Kakakku Sri dan Hadi, juga ikut sibuk mencariku. Mereka mencariku ke hutan yang tidak jauh dari rumah. Bersama Mbok Lastri dan juga kakakku Aisyah.
"Brindil!" teriak Mbak Sri.
Lalu disusul oleh teriakan Mas Hadi, "Brindil! kamu di mana?" pekiknya. Setelah itu mbok Lastri yang memanggil namaku.
Mbak Asiyah adalah yang paling panik di antara kutiga kakakku. Dia adalah kakak yang paling sayang padaku, menurut penilaianku sendiri. Dia tidak pernah membentakku atau membuatku menangis. Usianya memang paling muda diantara ketiga kakak, tapi pemikiran dan perilakunya jauh lebih dewasa.
Mbak Aisyah mulai menangis, dia mulai berpikir hal buruk telah terjadi padaku. Belum lagi di kampung kami sering ada mitos tentang wewe gombel yang suka nenculik anak, maklum desa terpencil.
"Apa jangan-jangan, Brindil dibawa sama Wewe ya Di?" cetus Mbak Sri tiba-tiba.
Mbak Aisyah terlihat kesal dengan ucapan Mbak Sri. Meskipun dia berpikiran yang sama.
"Mbak, jangan ngomong gitu. Mungkin Ana lagi main," sahut Mbak Aisyah.
Tapi sepertinya Mas Hadi dan Mbok Lastri lebih percaya dengan ucapan Mbak Sri. Mereka juga setuju kalau hilangnya diriku adalah sebab mahluk halus itu.
"Kita harus lapor sama Mbah Surip, biar nanti malam bisa dicari bareng-bareng. Ini sih udah bisa dipastikan kalau Brindil dibawa oleh Wewe," tukas Mas Hadi. Mbah Surip adalah tetua di kampung kami, bisa dibilang dukun. Banyak orang sakit atau mereka yang mempunyai suatu hajat, datang dan minta pertolongan kepadanya.
"Benar itu Di," sahut Mbok Lastri ikut nimbrung.
"Ya sudah, kita pulang yuk. Langsung ke rumah Mbah Surip," ucap Mbak Sri.
Mbak Aisyah mencoba untuk menghentikan mereka, "Sebaiknya kita tanya Ibu dulu, barangkali Ibu sudah lebih dulu menemukan Ana. Lagian, kedukun itu 'kan syirik, pasti Ibu gak setuju," ucap Mbak Aisyah.
Mbol Lastri tidak setuju dengan Mbak Aisyah, dia adalah orang yang paling suka menghubungkan semua masalahnya pada dukun.
"Ya jangan gitu Asiyah, kita harus secepatnya menemukan Brindil. Kalau telat sedikit bisa gawat, apalagi kalau di alam sana Brindil dikasih makanan enak terus dimakan, bisa-bisa dia gak pulang ke sini lagi!" tukas Mbok Lastri sok pintar.
Mbak Sri berdecak kesal, "Hemm," desisnya. "Bikin panik aja si Brindil! dasar nakal! dia itu memang paling nakal dan manja, bikin susah aja!" gerutu Mbak Sri.
Mereka gegas ke rumah Mbah Surip untuk menanyakan apakah benar Wewe gombel yang menculiknya.
*
To be continued...