Chereads / PERJALANAN MENEMBUS KABUT / Chapter 2 - PATAH HATI

Chapter 2 - PATAH HATI

Aku berlari sambil tertawa cekikikan, ku biarkan wanita tua renta itu terus memanggilku. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di ladang ibuku dan memungut kopi yang berjatuhan karena dimakan kelelawar dan binatang lainnya.

Ladang ibuku ditanami kopi dan cengkih, aku pernah sekali diajak ayah dan mbok Lastri untuk memetik kopi. Sedang mereka berdua memetik kopi, aku memunguti kopi yang berjatuhan di bawah pohonnya. Hal itu membuatku sangat senang sekaligus penasaran, aku ingin melakukannya lagi. Menemukan sebutir kopi di bawah timbunan daunnya yang gugur, seperti menemukan sebuah harta karun yang mampu membuatku girang.

Aku berhenti sejenak, kaki kecilku rasanya sangat letih. Memang tidak seberapa jauh, tetapi jalanan pegunungan sangat berliku dan menanjak. Sesekali aku harus berhenti untuk mengambil nafas dan memang ada yang menggoda mataku, tumbuhan strawberry liar misalnya.

Di persimpangan jalan aku berhenti sejenak, memetik satu buah strawberry yang paling merah di antara yang lain. Aku membersihkannya menggunakan gaunku, lalu duduk di tanah sembari mulai menikmati asam manis rasa strawberry liar itu.

Setelah menghabiskan satu buah strawberry, aku merasa kurang puas, ku ambil lagi beberapa buah lalu ku kantongi yang sebagian dan sebagian yang lain ku makan sembari meneruskan perjalanan ke ladang.

Di persimpangan itu aku tidak terlalu kesulitan memilih jalan mana yang harus ku ambil, ingatanku cukup bagus untuk mengingat jalan yang harus dilalui, walaupun baru sekali ayah mengajakku ke ladang.

Aku mulai bernyanyi lagi sambil sedikit meloncat-loncat khas anak-anak. Di ujung jalan sebelum ladang ibuku, ada satu gubuk tua. Itu adalah gubuk milik mbok Lastri, tapi semenjak ibunya meninggal dan dia bekerja di rumah kami, gubuk itu kosong.

Hidung mengendus aroma masakan lezat saat lewat di depan rumah mbok Lastri. Aku yang masih kecil dan polos, tidak mempunyai pikiran buruk atau curiga ada hantu di tempat itu. Bahkan bisa dibilang aku tidak perduli, aku juga tidak perduli saat melihat gubuk itu dalam keadaan bersih. Tidak seperti gubuk kosong pada umumnya.

Aku kembali melanjutkan langkahku, melintas tepat di halaman gubuk kosong itu. Aroma masakan semakin menusuk hidungku, oh ya... aku lupa, bukankah aku belum makan sejak pagi? mencium aroma masakan yang wangi ini membuat perutku keroncongan.

Dengan segala keisengan dan kenakalanku, aku mendekat ke arah gubuk. Lalu samar-samar aku mendengar suara dua orang yang sedang mengobrol dan tertawa lepas. Ku tempelkan telingaku ke pintu gubuk itu, lalu semakin penasaran rasanya ingin melihat siapa yang sedang berada di dalam gubuk, aku mengintip lewat celah pintunya yang sudah sedikit lapuk. Bukan apa-apa, aku merasa sangat familiar dengan tawa itu, aku rasa aku mengenalnya dan ku kira,... ah, mana mungkin!.

Aku mengeriyitkan mataku, agar bisa melihat dengan jelas siapa kedua orang yang ada di dalam.

Dua orang, satu wanita dan satu pria sedang mengobrol. Sang wanita bersandar di dada pria yang tidak mengenakan baju, pria itu bertelanjang dada. Aku mengenali sesuatu dari pria itu.

Bulu di dada pria itu, dia adalah ayahku,-

Ayahku sedang tertawa lepas sembari mendekap mbok Lastri. Mereka tidak nampak seperti seorang majikan dan pembantu, tapi seperti sepasang suami istri. Mereka tertawa bersama, bermanja, dan sangat mesra.

Ada gemuruh di dalam dadaku, aku ingin marah, aku ingin berlari dan masuk ke dalam rumah itu lalu menyingkirkan mbok Lastri dari pelukan ayah. Tapi apalah dayaku, aku hanya anak kecil yang belum mengerti apapun.

Apa yang membuatku sakit? ayah selalu bersikap dingin pada ibuku, kasar dan pemarah. Tidak hanya pada ibuku, bahkan kami semua anak-anaknya, kecuali aku. Aku tidak pernah melihat ayah sebahagia itu.

Ayah terus membelai rambut lurus mbok Lastri yang sengaja dibiarkan tergerai bebas. Sedangkan mbok Lastri sibuk memainkan ujung rambutnya sendiri.

Tiba-tiba aku kehilangan semangatku untuk pergi ke ladang, aku tidak tahu mengapa, tapi ada rasa sakit yang begitu mendalam dalam dadaku. Aku belum terlalu mengerti, tapi aku yakin perbuatan ayah saat itu adalah sebuah kesalahan.

Aku berjalan menjauh dari rumah mbok Lastri, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tapi sebelumnya aku akan mampir ke rumah pamanku, di sana aku bisa lebih tenang. Paman sangat menyayangiku, beliau sangat memanjakanku dan tentunya aku akan diberi uang jika aku berkunjung ke sana.

*

Rumah paman tidak sebesar rumahku, tapi sangat bersih dan rapi. Belum lagi, di samping rumahnya ada surau kecil yang biasa digunakan untuk mengajar ngaji anak-anak kecil seusiaku, selain untuk melaksanakan ibadah salat. Aku sangat nyaman dan betah saat berada di sana, karena banyak teman sebaya yang mau bermain denganku.

Aku tidak langsung masuk, tapi duduk di teras rumah paman sambil mengayunkan kaki kecilku. Rumah paman nampak sepi, mungkin paman masih di ladang.

Mataku menyapu halaman rumah paman, lalu terfokus pada pohon rambutan yang berusia puluhan tahun, rimbun dan kebetulan sedang berbuah lebat.

"Lambutan," gumamku lirih.

Betapa bahagianya aku melihat buah rambutan yang sangat lebat dan sudah mulai matang. Sayangnya, tubuhku tidak sampai untuk memetiknya. Tidak ada bambu atau kayu yang bisa ku gunakan untuk memetik rambutan itu.

Akhirnya aku berinisiatif untuk melemparnya menggunakan batu. Mulai ku kumpulkan batu-batu kecil untuk melempari rambutan itu.

Di saat aku sedang mengumpulkan batu-batu kecil, aku melihat mbok Lastri melintas di jalan depan rumah paman. Mungkin dia hendak ke warung, atau kembali ke rumahku. Tapi ayah tidak ikut bersamanya, dia berjalan sendirian dengan wajah sangat cerah.

Aku yang belum terlalu mengerti apa-apa tentang artinya selingkuh, hanya bisa merasakan patah hati yang luar biasa. Tiba-tiba kepercayaanku dan rasa hormatku pada ayahku hilang, aku bahkan tidak ingin melihatnya lagi. Aku tidak ingin berbicara atau bermain dengannya lagi.

Aku bersembunyi di balik pohon rambutan besar itu, duduk di atas akarnya sembari mendekap lututku sendiri. Aku tidak mampu mengatakan apapun, aku juga sudah kehilangan semangatku untuk bernyanyi, aku hanya ingin duduk diam dan termenung.

Tanpa aku sadari, air mataku meleleh membasahi pipi chubbyku. Aku juga tidak mengerti, tapi rasanya ada yang sakit di dalam dadaku ini. Bahkan ketika para semut mulai keluar dari sarangnya dan mulai menggigiti kaki-ku, aku masih tidak bergeming.

Aku hanya terus menangis, merasakan sakit dalam hatiku sekaligus sakit karena digigit semut.

Tidak berselang lama pamanku pulang ke rumah, dia membawa cangkul dan beberapa peralatan berkebun lainnya.

Saat melewati pagar rumahnya, dia mendengar rintihan tangisku.

"Siapa itu? Brindil ya?" seru paman.

Aku masih menangis, tapi masih dengan volume kecil.

Paman meletakkan semua barang bawaannya, lalu berlari mencari sumber suaraku.

*

To be continued...