Gina Hollen, berjalan dengan cepat menuju halte bus.
Langit sudah semakin menghitam dan sepertinya siap menumpahkan segala amarahnya ke bumi.
Jika terkena hujan ini, sepertinya tidak hanya basah kuyup tapi juga babak belur, pikir Gina.
Tapi high heels yang terlalu tinggi menghambat laju jalannya. Terasa tidak nyaman dan tumitnya seperti tertusuk ribuan jarum.
"Sial, besok bawa sandal ganti deh biar pulang kantor gak gini – gini amat." Umpat nya.
Tepat sebelum hujan mengguyur, Gina sampai di Halte bus dan berteduh disana. Hujan yang sangat lebat, titik airnya hampir sebesar bola kasti. Gila, kaya begini bakal ada bus yang datang gak sih? Pikir Gina sambil menatap jam tangannya yang sekarang sudah menunjukan pukul setengah 6 sore.
"Ck, gak akan pulang jam segini kalo gak dikerjain sama bos gila." Gerutu nya.
Tapi dia segera menggelengkan kepala.
"Gak, gak boleh ngeluh, sadar Gina kamu perlu pekerjaan ini. Kamu harus mandiri, harus bisa!"
Dia meletakkan kedua telapak tangannya ke pipi untuk menyadarkan diri.
Ya, dia sangat perlu pekerjaan ini, perusahaan tempatnya bekerja memang bukanlah perusahaan besar, tapi dia pun sudah sangat senang karena selain karena gajinya menggiurkan, pekerjaannya pun sesuai dengan bidang yang dia ambil saat sekolah dulu, seorang sekretaris.
Kini sudah satu tahun sejak dia bekerja di sana, tidak ada yang bisa melunturkan semangatnya walaupun atasannya sering menggoda dan menyuruhnya melakukan tugas–tugas yang di buat–buat agar Gina selalu dekat dengan atasan nya yang genit itu.
Seperti misalnya tadi siang, saat Gina diminta untuk memeriksa beberapa proposal, atasannya menyuruhnya duduk di meja yang sudah disiapkan tepat disebelah nya.
Padahal meja khusus sekretaris sudah disediakan tepat di depan ruangan.
Rekan kerja Gina hanya tersenyum iba saat Gina memasuki ruangan sang pimpinan dan keluar dengan wajah lelah beberapa jam kemudian.
Gina lelah bukan karena memeriksa proposal- proposal itu. Tapi dia Lelah karena menghindari tatapan dan ajakan tak senonoh sang direktur. Tapi Gina tidak menyerah, dia tidak memerdulikan hal itu. Yang ia pedulikan adalah bagaimana bertahan hidup di tengah hiruk pikuk kota ini sebagai sebatang kara.
Tidak ada yang peduli dengan kita selain diri kita sendiri, pikir Gina sambil menepuk nepuk dadanya menguatkan dirinya sendiri.
Setelah 15 menit menunggu, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu datang. Gina segera naik dan menutupi kepala dengan tas kerjanya karena hujan yang lebat. Setelah masuk ke dalam bus Gina segera memilih tempat duduk paling belakang. Bus ini hanya diisi oleh beberapa orang. Jam pulang kantor memang sudah lewat.
Sebenarnya begini bagus juga pikirnya, tidak seperti biasa yang harus berdesakan dan berdiri sepanjang perjalanan.
Seketika Gina duduk, bus pun mulai berjalan pelan dan stabil. Dia duduk dengan kepala menghadap ke jendela, di luar sudah gelap, hujan yang mengguyur dan kelap kelip lampu di sepanjang jalan menambah sendu suasana.
Toko, kedai, restauran, minimarket… semuanya berjalan di tatapan Gina dan satu persatu melewatinya.
Kota ini tidaklah sebesar kota-kota besar lainnya. Tetapi buatku sudah sangat besar dan nyaman disini, pikirnya. Sangat nyaman dibandingkan jika aku harus hidup bersama keluarga ku sendiri yang menganggap ku hanya beban dan babu saja. Sekarang tidak perlu lagi seperti itu, aku sudah bisa menjalani kehidupan ku sendiri, Gina tersenyum kecil. Pikiran yang positif selalu membuat moodnya lebih bagus.
40 menit kemudian, Gina sudah berada di apartemen nya, dia sedang mengeringkan rambut setelah selesai mandi air hangat dengan shampo dan sabun busa aroma mawar susu kesukaannya. Duduk di depan cermin rias nya Gina menatap pantulan dirinya cermin.
Wajah putih bersih mulus, hidung kecil mancung, tulang pipi yang tinggi dengan lesung pipi mungil dikedua belah pipinya.
"Hmmm.. Aku cantik juga ya hehehe... Gak apa apa kan? memuji diri sendiri memang bagus hahaha.."
Tawa Gina menghibur dirinya sendiri.
Dia memang senang menikmati waktu untuk dirinya sendiri. Apalagi semenjak tinggal sendiri di kota ini, dia punya waktu banyak untuk merawat diri.
Tidak seperti saat tinggal di rumah paman dan bibinya, setelah sekolah dia hanya mengurusi pekerjaan rumah dan mengurusi kebutuhan bibi dan dua sepupunya yang sangat manja.
Ya, Gina memang tinggal bersama paman dan bibinya setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Gina yang membuatnya sebatang kara dan tidak tau harus bagaimana, satu –satunya pilihan adalah tinggal di rumah bibi yang merupakan adik tiri ibunya. Saat itu Gina masih duduk di kelas dua SMP, kedua orang tuanya sedang dalam perjalanan pulang dari pesta ramah tamah perusahaan yang diadakan di puncak. Gina sedang mengerjakan PR di ruang keluarga bersama pengasuh yang bertugas menjaganya, saat dua orang dari petugas kepolisian datang dan menyampaikan kabar duka bahwa mobil orang tua Gina mengalami kecelakaan.
Sedih dan syok, Gina tidak tahu harus melakukan apa, dan akhirnya memilih pindah di kediaman paman dan bibinya. Setelah satu tahun tinggal bersama mereka, Gina bertekad akan meninggalkan rumah itu, tapi terhalang karena Gina yang masih muda harus menyelesaikan pendidikan dan membutuhkan wali. Orang tua Gina adalah orang yang berkecukupan bahkan bisa dibilang dari kalangan kelas atas. Tapi Gina yang masih muda tidak boleh hidup sendirian, dan bibinya yang licik dengan senang hati menampungnya dengan harapan warisan orang tua Gina sedikit demi sedikit mereka yang menguasai. Awalnya Gina tidak rela, warisan itu adalah harta hasil kerja keras orang tuanya dan itu adalah hak miliknya.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Gina menjadi semakin dewasa dan paham. Yang dia butuhkan adalah keluar dari keluarga penyiksa dan tidak waras ini. Biarlah kenangan kedua orang tuanya hidup dalam hati nya saja, itu sudah cukup.
Aku ingin menjalani hidupku dengan baik, dengan begitu papa dan mama pasti bangga pada ku, pikir Gina saat itu.
Gina sejak kecil memang dididik dan dilatih kedua orang tuanya agar menjadi wanita yang lembut tapi tegas, selalu positif dan mandiri.
Ajaran yang baik itu melekat padanya hingga dia dewasa.
Gina sangat bersyukur, walaupun dia bersama orang tuanya hanya selama 12 tahun hidupnya, tetapi banyak pelajaran dan nasihat dari papa dan mama nya yang sangat membantunya hingga saat ini.
Sambil menyisir rambutnya yang masih agak basah menggunakan jari, pikiran Gina melayang menyusuri kenangan – kenangan indah bersama orang tua nya. Tangannya terulur membelai ukiran bingkai foto keemasan di atas meja riasnya.
Dia mengambil bingkai foto itu, dan mengelus foto ketiga wajah yang ceria di sana. Papa nya dengan jambang tipis, hidung mancung, gaya rambut undercutnya yang hitam, mata biru, bibir tipisnya tersenyum menatap balik orang yang melihat foto itu.
Papa nya terlihat tampan sekali.
Mama, rambut bergelombang hitamnya, mata coklat, bibir manis yang tebal tersenyum menunjukan lesung pipi nya yang cantik.
Gina tersenyum menatap kedua orang tuanya, jari – jarinya mengelus foto itu.
"Hai kalian berdua, Gina kangen loh.. mampir ke mimpi Gina dong malam ini, ma.. pa…"
Matanya basah berkaca-kaca, lalu Gina melihat anak yang ada ditengah kedua orang tuanya. Dirinya saat itu terlihat sangat bahagia, sama sekali tidak akan tau apa yang akan dihadapinya dimasa mendatang.
"Gina… you are doing well, keep going, you are fine, you are so good at your job, take care of yourself, love yourself.."
Gina tersenyum dan air mata mengalir di pipinya. Gina tidak sedih lagi, dia hanya rindu, dan terbesit rasa haru atas apa yang sudah dia lalui untuk sampai ditahap kehidupannya saat ini.