Chereads / MY FATE IS YOU / Chapter 3 - Vanilla

Chapter 3 - Vanilla

Gina terbangun dan menarik selimutnya lebih erat. Hujan sepanjang malam kemarin membuat udaranya menjadi lebih dingin.

Tiba – tiba sebuah benda lembek, basah dan dingin menyentuh punggung tanganya, kontras sekali dengan hangatnya kasur dan selimut Gina. Kaget, dia segera membuka matanya dan mendapati sheet mask tadi malam yang sudah terlepas dan menempel di punggung tangannya.

Gina menaruh sheet mask itu dengan malas ke bawah samping ranjang dan mulai berguling – guling dengan nyaman.

Seperti umat manusia modern pada umumnya, dia mulai mengulurkan tangannya dan mencari –cari sesuatu sampai ke bawah bantal. Ah itu dia! ponsel pintarnya.

Dahinya mengerut dan dia menyipitkan mata saat cahaya dari layar ponsel menyinari wajahnya yang mungil.

Ada 4 pesan dari Merry, banyak pesan pribadi, komen, like  dari instagram dan retweet di twitter. Gina menggunakan dua sosial media itu untuk mengunggah dan menyimpan hasil jepretan kamera ponselnya dan mengikuti tren topik terbaru.

Setelah puas mengecek sosial medianya, Gina kembali ke pesan Merry. Isi dari pesannya adalah ocehan- ocehan merry tentang kencan buta dan menanyakan Gina ukuran burgernya. 

"Double burger, spicy, more mayo please and thank you." Balas Gina tak lupa menambahkan emoji kiss dan tertawa.

Pukul 6.30, Gina baru beranjak bangun dari tempat tidurnya. Gina tidak terbiasa bangun siang, karena itulah walaupun ini hari Sabtu, libur weekend, dia tetap bangun pagi. 

Setelah selesai mandi dan beres – beres Gina membuat sandwich kesukaannya untuk sarapan pagi ini.

Pertama buat isianya.

Telur orak arik dengan sedikit taburan garam, timun diiris kecil berbentuk dadu begitu juga dengan tomatnya.

Campur ketiga bahan tersebut dengan mayonnaise.

Panggang dua roti tawar yang sudah diolesi mentega sebelumnya, lalu masukan isian tadi ditambah dengan saus pedas.

"Hmmmmm…."

Gina mengunyah sambil menutup matanya, merasakan kenikmatan campuran harmoni telur, timun, tomat yang segar, mayo yang manis berlemak, diapit oleh roti yang gurih dan rasa pedas yang menggugah selera.

Tak lupa susu full cream sebagai minuman pendamping.

Sambil menikmati 'sarapan nikmat bergizi ala Gina', dia memainkan ponselnya. Lalu teringat akan kencan buta hari ini.

"Jam 10 pagi? Wow baru tau ada kencan buta jam segini, biasanya bukannya malam atau sore gitu? Untung weekend. Apa Merry sengaja ya, jadi malam ini bergosip ria bersama hahaha…" Ocehnya dalam hati.

Dia tiba – tiba  menunduk melihat ke arah bajunya. Yah ada baju yang cocok gak ya? Ini restauran Jepang kan? Berpikir demikian ,Gina segera beranjak dari meja makan dan berlari kecil menuju lemari pakaian di kamarnya.

Setelah beberapa saat kemudian Gina sedang memegang dress Sabrina diatas lutut dengan motif peach floral yang lembut, rumbaian di lengan bajunya menambah kesan feminim.

"Hmmm…. Kayanya ini aja deh" Pikir nya sambil mencocokkan dress itu ke badannya di depan cermin.

Berdiri, berputar ke kanan dan ke kiri. Dia lalu meletakan dress cantik itu di gantungan coklat sebelah cermin itu dan mulai bersiap – siap.

9:45, Gina sudah berdiri di depan restaurant yang dimaksud. Menarik napas panjang, Gina memantapkan langkah kakinya dan masuk.

"Semoga orangnya normal-normal aja" Gumam Gina seraya di memasuki pintu restaurant itu.

Saat sebelum berangkat, teman kencannya menghubungi dan mengatakan ciri- ciri baju yang di pakainya.

Setelah berjalan beberapa langkah, Gina menolehkan kepalanya ke sekeliling dan mencari. Agak susah mencarinya memang, karena sandaran sofanya yang tinggi. Setelah maju beberapa langkah lagi, pipi nya memerah. Dia baru sadar kalau hampir semua mata yang terlihat kini sedang memandangnya, beberapa bahkan tidak sadar sedang menatapnya sambil tersenyum kagum.

Bagaimana tidak, seorang perempuan manis yang mungil dengan tinggi tidak lebih dari 155 cm, kulit yang putih merona, dress model Sabrina di atas lutut yang bermotif peach floral lembut menambah kesan indah kakinya yang mungil dan mulus. Dipadukan dengan sepatu T- Straps coklat muda berpita yang imut, membuatnya semakin terlihat seksi dan imut.

Rambut hitam panjang yang bergelombang indah terurai dengan lembut hingga hampir menyentuh pinggangnya.

Secara keseluruhan Gina terlihat seperti seorang bidadari yang sedang tersesat dan mencari seseorang. Gina menangkupkan tangan memegang pipinya yang merah merona karena malu. Dia hampir saja duduk di sofa terdekat saat dia melihat lambaian tangan seorang pria ke arahnya. Gina dengan ragu berjalan ke sana,

'kemeja panjang biru muda? Tapi dia bilang kaus kerah abu' pikirnya dalam hati.

Pria ini, astaga tampan sekali, itu yang terbesit dalam pikiran Gina dari awal pertama dia melihatnya.

"Hai, Gina.. Gina Hollen ya?" Senyumnya sangat menawan.

"Disini.." Tunjuk Pria itu ke arah sofa di depannya.

"Oh iya hai.." Sapa Gina dengan manis, dia terpesona dengan wajah itu sampai lupa balas menyebut namanya, dia segera duduk dan menaruh tas selempangnya kesamping, tersenyum gugup.

"Maaf udah lama ya?" Tanya nya.

"Oh enggak kok barusan aja." Jawab lelaki itu dan membalas senyumannya.

Gina melihat senyum itu lagi, senyum kotak yang menampilkan sedikit barisan gigi putih bersih yang rapi.

"Aku liatin kamu dari sana tadi celingak celinguk aja… mau pesan apa?" Ucap Lelaki itu mencoba mencairkan suasana.

"Eh, habisnya aku nyari orang pake kaus kerah abu sih, taunya kamu pakai kemeja biru muda." Tanpa sadar Gina sadar sambil memonyongkan bibirnya.

"Kalau kamu pesan apa?" Lanjutnya sambil melihat ke arah menu.

Lelaki itu kembali tersenyum menatap Gina, kali ini tatapannya berlangsung beberapa detik dan membuat Gina sadar sedang diperhatikan. Gina mendongakkan kepalanya dari menu langsung tersipu malu, pipinya langsung memerah lagi.

"Kok liatinnya gitu? Ah! Di muka ku ada yang aneh ya?" Gina buru-buru membuka tasnya, mencari cermin pink kecil.

Tiba-tiba tangan lelaki itu menahan tangan Gina dan menghentikannya, "Iya aneh, baru kali ini aku ketemu cewek semanis kamu."

Setelah berkata begitu, dia menarik tangannya dan memperlihatkan lagi senyum kotak yang manis itu. Gina segera menutupi pipinya lagi, menepuk – nepuknya dengan lembut agar ronanya mereda.

"Yeee.. gombal, kamu orang ke 100 sekian yang bilang begitu tau." Protesnya lagi masih menepuk-nepuk pipinya.

'Sial kenapa ada orang ganteng banget sih' ujarnya dalam hati. Mimpi apa dia semalam?

"Ah, hampir lupa, nama ku Verrill, Verrill Pierce." Lelaki itu memperkenalkan dirinya.

"Dan kayanya kita beda beberapa tahun deh, aku lebih tua." Lanjutnya lembut.

"Oh, jadi aku harus panggil kak Verrill dong?" Gina tersenyum nadanya sedikit meledek.

"Hahaha.. kayanya iya deh dek Gina." Verrill tertawa renyah.

"Ih gak asik banget dong kaya gitu, panggil nama aja deeh.. lagi pula enggak jauh-jauh amat kan? Emang kamu kelahiran tahun berapa?"

Tanya Gina sambil mengoceh, entah mengapa Gina merasakan sesuatu yang familiar tentang Verrill, jadi dia merasa semakin nyaman dan tidak sadar sudah tidak gugup lagi.

"88.. Kamu?" Verrill balik bertanya.

"Hah? Masa iya? Aku kira kamu kelahiran 95??!! Aku sih 96…. Bener juga ya, ya ampun kamu… eh kak Verril, kita beda 8 tahun!" Jawab Gina tercengang.

Dari penampilan dan wajahnya Verrill memang terlihat seperti anak muda yang baru menginjak usia dua puluhan, luar biasa tampan dan berkharisma.

Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa dia sudah berumur 27 tahun.

Rambut hitam yang rapi, poninya yang terbelah sedikit menampilkan keningnya menambah kesan seksi. Hidungnya mancung sempurna bibir tipis yang indah.

'Ah, ada tahi lalat di bibir bawah bagian kirinya.. Wah, aku benar-benar mimpi apa sih semalam?' pikir Gina mengedip-ngedipkan matanya agar sadar dari lamunan dan jebakan pesona visual pria di hadapannya.

"Tapi gak apa-apa kan?" Tanya Verrill tiba-tiba.

"Eh iya, gak apa-apa dong, kan kata orang umur cuma angka aja, gak bisa dipakai jadi tolak ukur sesuatu." Jawab Gina yang sepertinya memang sudah terkena jebakan pesona Verrill. Mendengar jawaban itu Verril tersenyum hangat.

"Ya betul, umur itu cuma angka." Ujarnya menimpali.

Setelah dua jam dengan obrolan yang menyenangkan, keduanya beranjak meninggalkan tempat itu. Saat berjalan berdampingan tinggi kedua nya sangat lah kontras. Kepala Gina hampir sebatas dada Verrill saja. Dada bidang, kaki yang panjang, menambah kesan seksi dan mengintimidasi.

Entah mengapa Gina merasa aman berada dekat dengannya. Sejak mereka beranjak hingga keluar dari tempat itu, mata semua orang yang ada di sana memandang dan berdecak kagum.

Lelaki tampan, maskulin dan wanita mungil imut, manis, cantik. Serasi sekali. Setelah berdebat diantar pulang atau naik taksi saja, akhirnya Verrill akhirnya setuju mengantar Gina ke halte bus terdekat.

"Makasih banyak loh kak Verrill, sebenarnya gak apa-apa kok kan jadi gak enak ngerepotin gini." Ucap Gina tersenyum manis dan masih mempermasalahkan Verrill yang masih memaksa mengantarnya.

"Ya gak masalah, yang jadi masalah itu kalau kamu kenapa-kenapa, padahal aku bawa mobil tapi gak ngantar, iya kan?" Jawab Verrill yang duduk di sebelah Gina, ikut menunggu bus yang akan datang selanjutnya. Mobilnya di parkirkan beberapa meter melalui halte bus. Gina hanya tersipu malu.

Sebenarnya bukannya tidak mau, tapi Gina tidak bisa mempercayai orang yang baru dikenal bukan? Dia tidak bisa sembarangan mengatakan alamat rumahnya. Tapi untungnya Verrill memahami hal tersebut dan menawarkan diri memanggilkan taksi. Gina menolak dengan halus karena tau pasti Verrill yang akan segera membayar taksinya, seperti yang terjadi sebelumnya di restauran.

Akhirnya dicapai kesepakatan Verrill mengantarkan Gina sampai Halte bus terdekat, ditambah dengan alasan Verrill: "Kita sambil jalan-jalan lagi aja gimana? Cuacanya lagi bagus loh."

Akhirnya Gina setuju.

10 menit kemudian Gina sudah duduk di bangku bus yang empuk.

Gina tersenyum sambil memandangi telapak tangan kirinya. Verrill menggenggamnya tadi.

Saat hendak naik ke bus, Verrill tiba-tiba ikut beranjak dan menggenggam tangan mungil Gina. Jari-jarinya yang panjang menggenggam penuh tangan Gina. Verrill meremasnya lembut.

"Jangan lupa hubungi aku kalau kamu sudah sampai rumah nanti, hati-hati ya." Verrill memberikan senyum kotak mempesona itu lagi.

"Y..aa..iya..iyaa.." tergagap karena terpesona dengan tatapan, senyum dan genggaman yang hangat itu Gina rasanya hampir tidak rela Verrill melepas tangannya.

Tapi Gina segera sadar dan membalas senyuman Verrill, melambaikan tangannya dan segera masuk ke dalam bus.

Masih memandangi tangannya, Gina meraba telapak tangannya itu.

"Untung sering pakai lotion dan body butter, jadi halus. Kalo kasar kan malu-maluin banget, bisa jera cowo megang tangan aku." Gumam Gina jadi geli sendiri.

Sambil menatap keluar jendela Gina masuk kedalam pikirannya tentang kencan buta yang ternyata diluar ekspektasinya. Apa dia salah orang? Ah tidak mungkin. Dia tau nama lengkap Gina dan yang memilih kencan buta pagi atau siang begini sangat jarang.

Tapi pria pria seperti itu terlalu sempurna untuk jadi kenyataan, pikir Gina. Tiba-tiba ponselnya bergetar ada satu pesan masuk,

Merry Cerewet: "Hey, gimana kencannya oke gak? Ingat malam ini persediaan ramen harus siap."

Gina bisa langsung mendengar ocehan Merry walaupun dia hanya membaca pesannya saja.

"Banyak yang bakal aku ceritain. Seru, tunggu aja nanti malam. Persiapan ramen oke jangan khawatir." Gina membalas pesannya. Dia sudah tidak sabar menceritakan sedetail mungkin untuk sahabatnya itu. Setelah membalas pesannya, Gina  kembali ke dalam lamunan, siku kirinya disanggahkan ke jendela bus dengan tangan menopang dagun. Tanpa sadar Gina mengendus telapak tangannya.

'Huh? Va..nilla..? Vanilla! Ini dia!' teriak Gina dalam hati, dia hampir tersentak. 

Aroma vanilla lembut yang samar. Detail ini yang sedari tadi Gina cari-cari. Entah karena merasa nyaman dan familiar dengan aroma itu Gina baru sadar bahwa aroma inilah yang diciumnya semenjak dia duduk bersama Verrill di restauran tadi.

"Vanilla.." gumamnya pelan. Wanginya terasa sangat tidak asing, membuatnya mengenang lagi kenangan yang samar, yang entah dia lupa atau sengaja dia lupakan.